Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Terorisme dan Radikalisasi Ideologi yang Tak Berujung di Indonesia
30 Maret 2021 7:39 WIB
Tulisan dari Jan Mealino Ekklesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Praktik terorisme yang terjadi pada Minggu (28/03/2021) di Gereja Katedral, Makassar, menggores kembali luka yang mau pulih. Pelakunya adalah sepasang suami-istri yang berafiliasi dengan kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD), salah satu organisasi teroris yang melancarkan aksi pemboman di 3 gereja Surabaya. Apakah terorisme dapat benar-benar hilang? atau sebaliknya? Peristiwa yang bisa dibilang berulang-kali dirasakan sebagai bayangan gelap radikalisme yang mengakar di Indonesia. Entah berapa korban jiwa bergelimpangan oleh karena ulah para teroris.
ADVERTISEMENT
Praktik terorisme dinilai sulit dibasmi. Hal tersebut dikarenakan nilai terorisme telah menjangkit dimensi kultur atau budaya. Dimensi ini menurut Parsons (1951) menjadi inti dari pembentukan nilai dan norma dalam suatu kelompok dalam masyarakat. Itulah sebabnya mengapa kasus terorisme sangat dikaitkan dengan isu agama tertentu yang boleh jadi merupakan internalisasi kuat untuk mengonstruksi ideologi berbasis nilai. Sebagai contoh konstruksi terorisme dengan nilai-nilai Islam sehingga menimbulkan islamophobia di negara-negara barat.
Walaupun terorisme dianggap sebagai aktivitas subkultur, dampak terorisme dirasakan seluruh lapisan masyarakat negara (civil society) bahkan dunia. Dunia mengecam tindakan terorisme dan radikalisme dan bersatu-padu melawannya. Tetapi, tetap saja praktik terorisme sangat sulit dibasmi layaknya ilalang di antara gandum. Berbagai perspektif digunakan oleh para ahli untuk menganalisa terorisme, alih-alih mencari suatu rumusan solutif untuk menekan praktik yang biadab tersebut. Akankah kajian tersebut efektif dan benar-benar mencabut akar-akar praktik radikalisme dan terorisme? Bagi Peter L Berger (1963) dalam bukunya Invitation to Sociology: A Humanistic Perspective menyatakan :
ADVERTISEMENT
Analisa beberapa ahli seringkali tidak begitu mendarat kepada permasalahan terorisme. Sebab, permasalahan terorisme tidak terlepas dari unsur cross cutting loyalities atau cross cutting affiliation dalam kelompoknya. singkatnya, terorisme mengedepankan keloyalan mutlak dari pengikutnya yang digiring oleh hegemoni nilai spiritual. Oleh sebab itu, analisa terorisme secara multidisiplin dan kajian secara struktural maupun kultural harus terus menerus dikembangkan.
Vertigans (2011) menyatakan proses sosial menjadi teroris terdiri dari syarat rekruitmen, jaringan sosial, peristiwa pemicu, dan peer dynamic. Keikutsertaan oknum dalam jaringan teroris tidak terjadi secara kebetulan (deterministik) atau proses yang kaku, tetapi karena interseksi (titik potong) oleh banyak faktor sosialisasi dan agen yang beragam. Pilihan untuk masuk ke dalam grup teroris merupakan hasil dari pergeseran pilihan rasional (rational choice) dan emosional. Sifat-sifat yang ditanamkan untuk menjadi oknum teroris dipelajari dan internalisasi oleh kelompok sosial seperti keluarga, pendidikan, institusi keagamaan, media, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Target operasi dari teroris juga dipengaruhi oleh banyak sekali faktor emosional, sejarah, tendensi terhadap nilai tertentu, dan ekspresi yang keluar. Pergerakan teroris dalam melancarkan aksinya sangat sistematis, tidak terlihat, dan menggunakan oknum yang tidak lazim seperti anak-anak. Ditambah arus globalisasi telah mempertemukan berbagai ide dan paham terorisme di seluruh dunia serta dapat secara mudah mengutus oknum-oknum tersebut untuk melancarkan aksi terorisme.
Tipologi terorisme menurut Lodge antara lain :
Konflik terorisme yang berasal dari radikalisasi ideologi di Indonesia dapat meruntuhkan keutuhan negara. Pemberantasan tindak pidana terorisme bukan hanya ditinjau dari aspek hukum, tetapi aspek sosial, budaya, dan ekonomi yang berimplikasi pada ketahanan negara. Karena terorisme bersifat separatis dan soliter, dibutuhkan suatu konstruksi budaya yang mengedepankan integrasi dan harmonisasi antar kelompok yang diinternalisasi dalam nasionalisme sosio-kultural bangsa.
ADVERTISEMENT
Perlu diingat bahwa sasaran radikalisasi ideologi lebih efektif menyerang individu. Oleh sebab itu, dibutuhkan pertahanan nilai kultur yang mampu melawan ideologi radikal tersebut. Apabila tidak demikian, maka narasi besar mengenai negara yang bebas dari terorisme dan radikalisme hanya angan-angan semata.