Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Tak Punya Uang, Tak Punya Pilihan: Anak Miskin Terancam Putus Sekolah
7 Mei 2025 13:44 WIB
ยท
waktu baca 3 menitTulisan dari Jannatul Ma'wa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di negara ini, pemerintah sering menyebut bahwa anggaran pendidikan kita adalah yang terbesar. Namun, kenyataannya masih ada jutaan anak yang tidak bisa bersekolah. Bukan karena mereka tidak ingin belajar, tetapi karena kemiskinan yang membuat mereka tidak punya pilihan.
Di berbagai pelosok negeri, setiap pagi ribuan anak melangkah ke sekolah dengan penuh semangat. Namun di balik pemandangan itu, di desa-desa terpencil dan gang-gang sempit, ada anak-anak yang hanya bisa melihat dari kejauhan. Mereka tidak pergi ke sekolah. Bukan karena malas, tapi karena keadaan memaksa. Keluarga mereka hidup dalam keterbatasan, dan mereka harus tinggal di rumah atau ikut bekerja. Bagi mereka, sekolah itu bukan bagian dari keseharian. Tetapi sekolah adalah kemewahan yang belum bisa mereka rasakan.
Dari berbagai lembaga menunjukkan data bahwa angka putus sekolah di Indonesia itu masih tinggi, terutama di kalangan keluarga miskin. Masalah beban biaya pendidikan bukan hanya soal SPP yang katanya sudah gratis, tetapi juga seragam, buku, transportasi, sampai uang jajan. Belum juga tekanan ekonomi yang membuat anak wajib membantu orang tuanya bekerja sejak kecil. Dengan itu, Pendidikan pun menjadi korban pertama didalam lingkaran kemiskinan yang tidak pernah putus.
Kemiskinan menjadi sebab terebutnya hak anak untuk mengejar mimpi.
Walaupun pemerintah sudah meluncurkan berbagai program seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP), Dana BOS, atau bahkan bantuan sosial, tetapi nyatanya masih banyak keluarga dalam kategori kurang mampu yang tidak dapat dijangkau oleh sistem. Hal ini membuat banyaknya anak yang tidak terdata sebagai penerima bantuan disebabkan rumitnya administrasi, data yang kurang akurat, hingga ketidaktahuan cara mengurus.
Lalu, apa solusi terbaik supaya anak yang tidak mampu dapat bersekolah tanpa terhalang biaya?
Dimulai dari pemerintah yang harus menyederhanakan akses bantuan pendidikan. Jangan sampai bantuan hanya didasarkan pada data administratif yang selalu bermasalah. Pentingnya pendekatan berlandaskan pada komunitas, yaitu melibatkan RT/RW, guru, hingga tokoh masyarakat agar anak-anak dapat menerima bantuan yang layak dan tidak terabaikan.
Selanjutnya ialah perlunya pengembangan dan penguatan program sekolah gratis yang harus menyertakan dukungan logistik, seperti: subsidi transportasi, makan siang gratis, dan bantuan perlengkapan sekolah. Karena sekolah gratis tetap tidak cukup jika hanya menghapus biaya SPP.
Langkah berikutnya yaitu diperlukan penekanan terhadap pendekatan sosial dan kemanusiaan. Guru, sekolah, dan dinas pendidikan harus dibina agar lebih memahami keadaan siswa. Dibanding mengeluarkan siswa akibat tunggakan, lebih baik mereka mencari cara untuk membantunya.
Dan yang tidak kalah penting, komitmen politik harus bersungguh-sungguh. Bukan hanya sekadar janji yang ramai diucapkan saat kampanye, lalu setelah itu hilang saat pemilu telah usai. Jadi, Komitmen itu harus terlihat dalam kebijakan nyata, yang benar-benar berpihak pada anak-anak yang paling membutuhkan. Pendidikan itu adalah hak untuk setiap anak, bukan hanya hak istimewa bagi mereka yang mampu. Dan negara juga punya tanggung jawab untuk menanggung semua beban itu sesuai apa yang sudah diamanatkan oleh konstitusi.
Sebab jika anak-anak dari keluarga miskin terus-menerus dibiarkan terpinggirkan dari dunia pendidikan, artinya kita sedang membiarkan masa depan berjalan pincang. Kita seolah membiarkan kesenjangan itu semakin lebar, di mana hanya sebagian anak yang punya kesempatan untuk bermimpi, sementara yang lain hanya bisa melihat dari luar jendela kelas, menunggu kesempatan yang tak kunjung datang.
ADVERTISEMENT