Konten dari Pengguna

Strategi Penguatan BPR: Mencegah Kebangkrutan dan Meningkatkan Stabilitas

Januariansyah Arfaizar
Dosen STAI Yogyakarta - Peneliti PS2PM Yogyakarta - Mahasiswa Doktor FIAI UII
18 September 2024 10:53 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Januariansyah Arfaizar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto Kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto Kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Berita mengenai penutupan 15 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan BPR Syariah oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sepanjang Januari hingga September 2024 yang dirilis oleh www.msn.com (Senin, 16 September 2024) dapat memunculkan kekhawatiran mengenai stabilitas sektor perbankan, terutama di tingkat lokal. Penutupan ini mencerminkan adanya masalah struktural yang mendalam pada beberapa bank kecil di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Berikut ini daftar 15 Bank Bangkrut yang dirilis oleh www.msn.com yang telah dicabut izinnya oleh OJK: 1) Bank Perkreditan Rakyat Wijaya Kusuma, 2) Bank Perkreditan Rakyat Syariah Mojo Artho Kota Mojokerto, 3) Bank Perkreditan Rakyat Usaha Madani Karya Mulia, 4) Bank Perkreditan Rakyat Pasar Bhakti Sidoarjo, 5) Bank Perkreditan Rakyat Purworejo, 6) Bank Perkreditan Rakyat EDC Cash, 7) Bank Perkreditan Rakyat Aceh Utara, 8) Bank Perkreditan Rakyat Sembilan Mutiara, 9) Bank Perkreditan Rakyat Bali Artha Anugrah, 10) Bank Perkreditan Rakyat Syariah Saka Dana Mulia, 11) Bank Perkreditan Rakyat Dananta, 12) Bank Perkreditan Rakyat Bank Jepara Artha, 13) Bank Perkreditan Rakyat Lubuk Raya Mandiri, 14) BPR Sumber Artha Waru Agung, dan 15) BPR Nature Primadana Capital.
ADVERTISEMENT
Menurut Januariansyah Arfaizar, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Yogyakarta, langkah yang diambil OJK dalam menutup 15 BPR ini menunjukkan bahwa masalah tata kelola (governance) masih menjadi tantangan utama. Hal ini dikonfirmasi oleh pernyataan Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK yang menyebut bahwa kegagalan dalam penerapan tata kelola yang baik seringkali menjadi penyebab utama kegagalan BPR dan BPR Syariah. Ini mengindikasikan adanya masalah manajemen risiko dan kepatuhan terhadap regulasi yang masih lemah di kalangan bank-bank ini. Ketergantungan pada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk menutup simpanan nasabah juga memperlihatkan kelemahan dalam pengelolaan likuiditas.
Penutupan bank dalam jumlah yang signifikan menunjukkan bahwa upaya penyehatan di sektor BPR dan BPRS masih belum optimal. OJK seharusnya lebih proaktif dalam melakukan pembinaan sebelum masalah menjadi kritis, bukan hanya ketika bank-bank ini sudah berada di ambang kebangkrutan. Mekanisme pengawasan yang dilakukan OJK juga bisa ditingkatkan dengan melibatkan intervensi yang lebih dini serta mendorong penguatan modal dan likuiditas BPR sebelum terjadi kegagalan sistemik, ungkap Januariansyah yang juga aktif sebagai Sekretaris Pusat Studi Siyasah dan Pemberdayaan Masyarakat (PS2PM) Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Januariansyah juga mengatakan, bahwa Peraturan OJK Nomor 9 Tahun 2024 mengenai tata kelola bank memang merupakan langkah positif. Namun, tantangan utama adalah implementasi di lapangan. Ada kecenderungan bahwa bank-bank kecil seperti BPR kesulitan mengikuti standar tata kelola yang diterapkan untuk bank-bank besar, sehingga perlu adanya pendekatan yang lebih sesuai dengan karakteristik dan kapasitas mereka.
Januariansyah memberikan beberapa saran penting untuk menjaga keberlanjutan yang dapat dilakukan terhadap BPR dan BPRS, Pertama, Peningkatan Pengawasan dan Deteksi Dini: OJK perlu mengembangkan sistem deteksi dini yang lebih efektif terhadap bank-bank yang memiliki potensi masalah. Audit berkala dan pelatihan intensif bagi pengurus bank harus menjadi prioritas. Hal ini bisa mencakup perbaikan teknologi pengawasan yang memudahkan pelacakan kesehatan keuangan bank secara real-time.
ADVERTISEMENT
Kedua, Penguatan Modal dan Likuiditas: Bank-bank kecil seperti BPR memerlukan dukungan untuk memperkuat modal dan likuiditas. Pemerintah dan OJK bisa memberikan akses terhadap dana murah atau subsidi modal bagi BPR yang menunjukkan potensi tetapi sedang mengalami kesulitan likuiditas sementara. Hal ini juga mendorong sinergi antara BPR dengan lembaga keuangan yang lebih besar.
Ketiga, Kolaborasi dan Konsolidasi: Untuk mengurangi risiko penutupan massal di masa mendatang, OJK dapat mendorong konsolidasi BPR yang lemah menjadi entitas yang lebih kuat. Hal ini dapat dilakukan melalui merger antar BPR atau kolaborasi dalam bentuk kemitraan strategis dengan lembaga keuangan yang lebih besar.
Keempat, Peningkatan Kapasitas SDM: Pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia di sektor BPR sangat penting. Pengelola BPR sering kali tidak memiliki akses yang memadai terhadap pelatihan dalam manajemen risiko, teknologi keuangan, dan kepatuhan regulasi. Pemerintah dan OJK perlu menciptakan program pelatihan berkelanjutan untuk meningkatkan keterampilan SDM di sektor ini.
ADVERTISEMENT
Dengan mengimplementasikan langkah-langkah ini, BPR dan BPRS diharapkan dapat tumbuh dan berkembang menjadi lembaga keuangan yang lebih kuat, berintegritas, dan mampu menghadapi tantangan di masa depan tanpa harus mengalami kebangkrutan massal.