Konten dari Pengguna

Kelompok Bermain Bakat: Wadah Mengekspresikan Kebebasan dan Menuangkan Perasaan

Jasmine Aura Arinda
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret
25 November 2023 14:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jasmine Aura Arinda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pementasan teater “Bung Sastra Bung” oleh Kelompok Bermain Bakat di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah (17/11/2023). Foto: Jasmine Aura Arinda
zoom-in-whitePerbesar
Pementasan teater “Bung Sastra Bung” oleh Kelompok Bermain Bakat di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah (17/11/2023). Foto: Jasmine Aura Arinda
ADVERTISEMENT
Tubuh Bung Guru diikatkan ke sebuah kursi. Terduduk tak berdaya. Tiga murid sekolah sastra melayangkan protes kepadanya. Mereka bersahutan-sahutan, saling menimpali satu dan yang lain. Meneriakkan penentangan, kekesalan, pertanyaan, sekaligus kebingungan. Perihal esensi sastra lama di era sekarang, terkait keterlibatan mesin dalam proses kreatif penciptaan karya, hingga pengadaan revolusi atas nilai-nilai lama. Sorot lampu kemudian berubah warna. Musik latar dimainkan. Di tengah panggung, sosoknya menghela napas berat sambil menandaskan satu kalimat:
ADVERTISEMENT
Mula Pembentukan Ruang Bermain Peran
Pukul sepuluh malam, tapi semangat mereka seolah tidak kenal kata padam. Ada yang masih asik bercakap-cakap dengan sesama pemain, menyambut kawan lama yang datang menyaksikan, atau tertawa atas topik obrolan tertentu. Aku memilih baris tribun paling bawah untuk duduk dan berbincang dengan seorang pria berkacamata itu. Namanya Dimas Suro Aji. Lulusan Sastra Jawa UNS yang selama dua tahun ini tengah berproses bersama Kelompok Bermain Bakat. Kadang menyibukkan diri dengan menulis, kadang mencoba berlakon tipis-tipis.
Di tahun 2021 lalu, kala pandemi masih menjadi momok yang menghantui masyarakat, ia kerap nongkrong di angkringan depan Rumah Sakit dr. Oen dan bertemu dengan banyak sekali teman dari berbagai kalangan. Mereka sama-sama tidak memiliki kesibukan dan tidak tahu harus melakukan apa. Suatu celetukan untuk memainkan teater tiba-tiba terdengar. Inilah yang kemudian menjadi pemantik awal lahirnya Kelompok Bermain Bakat.
ADVERTISEMENT
“Waktu itu gabut, nganggur, nggak ngapa-ngapain. Terus ada yang nyeletuk: mau proses teater aja po? Aku punya cerpen berbahasa Jawa ini, kalo dijadiin pentas monolog kayaknya menarik. Lalu itu jadi pentas pertama KB Bakat,” terangnya. Ia pun mengaku bahwa anggota lain tidak pernah membicarakan soal founder ataupun hal sejenis karena sifat kelompok ini yang memang sudah kolektif sejak awal.
Kata ‘Bakat’ yang melekat di belakang nama kelompok turut menyimpan cerita yang menarik. Itu bukanlah kata di kamus besar yang bermakna kemampuan atau kepandaian, melainkan sebuah nama dari pemilik angkringan tempat Suro dan kawan-kawannya mendapatkan ide awal. Entah kebetulan atau beginilah garis takdir Tuhan, ternyata Pak Bakat dulunya juga seorang seniman Ketoprak yang pernah menjadi kru dari pelawak terkenal asal Jogja, Basiyo.
ADVERTISEMENT
“Ketika teman-teman udah sepakat mau pakai nama Pak Bakat, saya langsung matur ke beliau. Saya tanya ‘sesuk buka ora, arep ngobrol.’ Malah dijawab ‘lha ameh ditutup piye, wong ora enek pintune.’ Maksudnya, mau ditutup gimana, angkringan kan nggak ada pintu.”
Suro lantas mengakhiri kalimatnya dengan kelakar ringan. Sebuah tawa yang mampu menggambarkan betapa jenaka sosok Pak Bakat beserta macam-macam candaannya. Selamanya, hal itu akan terpatri di dalam memori dan tidak akan terganti.
Memasak Berbagai Seni di Dapur Coba-Coba
Tidak ada sesuatu yang sama persis di dunia ini. Pasti tersua hal-hal khusus yang membuatnya berbeda bila dibandingkan dengan yang serupa. Begitu pula Kelompok Bermain Bakat. Ia bukan hanya sebatas sebuah perkumpulan orang dengan hobi yang sama atau kemampuan diri yang selaras. Lebih dari itu. Bagi mereka, kelompok ini adalah ruang yang bebas. Bebas untuk mencoba, bebas untuk berkarya, bebas untuk mengungkapkan rasa. Pun keanggotaan di sini tidak memiliki peraturan tertentu yang mengikat mereka, apalagi sampai memaksa untuk harus begini dan begitu. Semua dibiarkan mengalir layaknya arus sungai.
ADVERTISEMENT
“Kalau misal ada yang punya rutinitas lain, misal lagi kerja, skripsian, atau harus balik (kampung), ya nggak apa-apa. Tapi kalau masih mau di sini berproses bersama, ya ayo. Kita di sini bersenang-senang aja pokoknya. Berkesenian itu nggak usah mumet-mumet. Kan namanya kelompok bermain.”
Terdapat sekitar tiga puluh orang yang terdaftar menjadi anggota dari kelompok ini sekarang. Namun, sekali lagi, Suro menekankan bahwa tidak semua mampu hadir dan menjadi aktor di dalam setiap pementasan. Ada yang memang sedang vakum, ada juga yang masih berada di luar Solo karena kesibukan lain. Meski begitu, komunikasi antaranggota tetap terjalin dengan baik. Kelompok Bermain Bakat juga memiliki jadwal tersendiri untuk pertemuan rutin mereka. Biasanya digunakan untuk sekadar kumpul-kumpul sederhana ataupun membahas isu yang nantinya bisa dijadikan sebagai bahan dalam pembuatan naskah.
ADVERTISEMENT
“Ide awal itu datangnya keroyokan. Kita kumpul, terus berdiskusi. Misal, aku punya kegelisahan tentang dunia sastra, oh aku punya kegelisahan tentang dunia pendidikan, dalam kuliah tuh dosenku begini begini begini, ada juga teman di suatu kampus bilang bahwa rektornya kolot, dan lain-lain.”
Banyaknya isi kepala yang tertuang dalam suatu meja obrolan adalah hasil dari kondisi para anggota yang beragam. Ada yang masih duduk sebagai mahasiswa, ada yang berstatus sebagai buruh, ada yang sudah bekerja di suatu lembaga, bahkan kelompok ini turut menerima mereka yang tidak bersekolah, putus sekolah, maupun pengangguran. Pun jika dilihat dari konteks seni, sebenarnya hanya sedikit yang berlatarbelakangkan teater, sehingga tidak heran bahwa Kelompok Bermain Bakat benar-benar mereka jadikan sebagai dapur eksperimen. Mulai dari monolog berbahasa Jawa, parade puisi, geguritan, pementasan teater, hingga musik yang ikut disertakan sebagai tempat bersenang-senang.
ADVERTISEMENT
Arti Sastra Menurut Mereka
Elemen selanjutnya yang tidak boleh ketinggalan untuk dibahas adalah sastra. Ia merupakan salah satu aspek penting dalam penciptaan suatu seni peran. Ketika seorang penonton mengaku telah memberikan apresiasi yang tinggi kepada pementasan teater, maka ia turut memufakati bahwa sastra adalah sesuatu yang memukau dan berkontribusi penting di dalam kehidupan. Seperti makna dari naskah yang berhasil dibawakan oleh Kelompok Bermain Bakat tepat di Hari Pelajar Internasional tanggal 17 November kemarin berjudul “Bung Sastra Bung”.
“Sampai saat ini sastra masih menjadi wujud aktualisasi perasan yang paling gampang dijangkau oleh manusia. Sedih, senang, sastra paling dekat dengan kita,” ujar salah seorang anggota Kelompok Bermain Bakat, Afifa Enggar. Perempuan berbaju merah itu juga mengaku bila dirinya sangat menyayangkan anggapan mayoritas masyarakat tentang sastra yang harus ‘suci’. Padahal seni tersebutlah yang paling mudah dalam merengkuh isi hati.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan Suro, pria itu menjadikan sastra sebagai mata untuk melihat banyak peristiwa beserta dinamikanya.
“Semua unsur kesenian, babonnya itu tetap sastra. Naskah juga rujukannya pasti sastra. Tidak bisa tidak,” ia mengambil jeda sejenak, kemudian melanjutkan, “Sastra itu merekam gejolak, merekam banyak peristiwa. Dan satu keunggulannya menurutku adalah lewat sastra kita jadi bisa tau banyak peristiwa lebih dari yang kita alami.”
Di era yang sudah semakin maju seperti hari ini, Suro merasa bahwa keberadaan teknologi tidak akan mampu membelenggu sastra, tidak akan mampu menghilangkan esensi dari sastra itu sendiri yang dilahirkan dari jiwa bebas manusia merdeka. Sebab di setiap perkembangan zaman, sastra seolah berdiri sebagai saksi. Sastra sudah ada ketika kertas belum ditemukan, sastra ada ketika teknologi-teknologi baru ditemukan, sastra juga ada saat internet muncul, dan sastra akan terus hadir di era-era setelahnya.
ADVERTISEMENT
Derap Harap Untuk Kelompok Bakat
Para anggota Kelompok Bermain Bakat berfoto bersama setelah selesai mementaskan pertunjukan “Bung Sastra Bung”, Sabtu (17/11/2023). Foto: Jasmine Aura Arinda
Berangkat dari dirinya yang memang pernah terjun ke dalam dunia seni peran ketika masih berstatus sebagai mahasiswa dulu, Afifa menaruh asa yang tinggi pada keberadaan Kelompok Bermain Bakat. Ia sangat berharap tempat seperti ini terus ada untuk menampung orang-orang yang haus belajar. Sebab dirinya percaya bahwa ada banyak orang di luar sana yang sudah tidak memiliki ‘status’ apapun, tapi masih ingin bergabung dan bermain di kelompok-kelompok seperti ini. Mungkin juga ingin mencari ruang untuk sekadar refreshing kala sedang lelah menghadapi rutinitas. Sayang saja mereka tidak tahu harus melangkahkan kaki kemana.
“Ruang-ruang alternatif untuk banyak latar belakang orang seperti ini harus tetap ada biar mereka yang udah nggak lagi di kampus, di sekolah, ataupun di komunitas, bisa punya alternatif lain. Yang sifatnya tidak mengikat, yang siapapun bisa masuk.”
ADVERTISEMENT
Suro ikut mengamini hal tersebut. Dirinya melayangkan harap kepada Kelompok Bermain Bakat—entah besok bentuknya akan seperti apa— tetap menjadi ruang yang menyenangkan seperti namanya yang selama ini digaungkan. Jangan sampai berubah kaku dan terkesan membatasi fleksibilitas para anggota.
Menutup pembicaraan malam ini, Dimas Suro Aji membawa sebuah kalimat milik seorang sastrawan Jawa bernama Suparto Brata yang diucapkan kala Suro ingin mendirikan komunitas sastra di fakultas sastra yang tidak memperhatikan sastra (pada saat itu). Sampai hari ini, kutipan itu terus ia genggam dan dijadikannya sebagai suatu pegangan: