Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Spiral Keheningan di Tengah Keramaian
19 Oktober 2020 18:40 WIB
Tulisan dari Jasmine Rahmanizahra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Wawancara kursi kosong yang dilakukan oleh Najwa Shihab pada tanggal 28 September lalu ramai diperbincangkan di sosial media. Kursi kosong yang direpresentasikan sebagai Terawan Agus Putranto, Menteri Kesehatan Republik Indonesia menjadi sorotan utama publik. Komentar positif banyak dilontarkan di kolom komentar untuk Najwa Shihab atau akrab disapa Mbak Nana ketika video tersebut diunggah di akun instagram pribadi miliknya.
ADVERTISEMENT
Ia secara jelas menampilkan “narasumber” yang seharusnya menjadi orang paling bertanggung jawab menangani situasi krisis seperti pandemi saat ini. Model wawancara kursi kosong memang baru pertama kali ditayangkan di Indonesia. Wajar saja jika hal ini membuat banyak orang terkejut dengan model wawancara yang dilakukan oleh Najwa Shihab. Namun, strategi wawancara kursi kosong sebetulnya bukanlah sesuatu yang baru dilakukan. Model wawancara ini sempat dilakukan oleh presenter televisi Sky News, Kay Burley lantaran narasumber, James Cleverly, Ketua Partai Konservatif Inggris membatalkan jadwal wawancara yang telah dijadwalkan sebelumnya.
Pertanyaan beruntun seputar masalah pandemi covid-19 yang terjadi di Indonesia dilontarkan Najwa Shihab dihadapan kursi kosong itu. Selain komentar dukungan yang memenuhi kolom komentar Najwa, komentar berupa kritik mengenai bagaimana ia terkesan “mem-bully” menteri kesehatan dan yang menyebutkan bahwa videonya tidak etis juga terlihat di kolom komentarnya. Diskusi mengenai hal ini menjadi ramai dibahas dan diperdebatkan di media sosial.
ADVERTISEMENT
Namun, tulisan ini tidak akan membahas apakah langkah yang dilakukan Najwa Shihab “memanggil” Menteri Kesehatan RI, Terawan Agus Putranto untuk diwawancarai adalah langkah yang benar, salah, pantas atau tidak pantas. Tulisan ini akan membahas mereka yang memiliki perbedaan pendapat dari komentar dukungan untuk Najwa terutama mereka yang memilih untuk diam, tidak bersuara, seolah-olah mengikuti pendapat dominan yang sebenarnya berbeda dengan pendapat pribadinya.
Sumber Kepercayaan Publik
Najwa Shihab memiliki karakter berani, lugas, dan cerdas di mata publik yang secara tidak langsung membangun citra sebagai sumber kepercayaan masyarakat. Rasa percaya yang tinggi dari publik terhadap Najwa juga disebabkan karena ia merupakan komunikator yang ahli di bidangnya sehingga hal ini mampu menaikkan tingkat kepercayaan pada Najwa Shihab. Meskipun tidak semua masyarakat menjadikan Najwa sebagai sumber kepercayaannya, mereka yang kontra dengan konten Najwa untuk “memanggil” Terawan agar dapat diwawancarai pun menerima komentar “pedas” yang yang sesungguhnya membuat seseorang jadi malas untuk beropini.
ADVERTISEMENT
Padahal, Indonesia adalah negara demokrasi menurut dasar konstitusi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Tetapi komentar “pedas” yang lebih mengarah kepada hujatan dilontarkan oleh pendukung Najwa terkadang membuat mereka yang kontra malas dan takut untuk mengutarakan pendapatnya. Di instagram, komentar kritik selalu diikuti dengan komentar cacian yang ditujukan pada si kontra. Memang banyak yang tetap fokus pada argumennya, tetapi tak sedikit pula yang menghujat personal si kontra ataupun menuliskan kata-kata keji. Hal ini membuat saya menyadari mengapa mereka yang memiliki opini berbeda atau yang kini sering disebut dengan unpopular opinion terkadang merasa malas atau takut untuk berpendapat di dunia maya.
Spiral of Silence
Spiral of Silence atau spiral keheningan merupakan teori yang diperkenalkan oleh Elisabeth Noelle Neumann (1973). Teori ini mengungkapkan bagaimana mereka yang memiliki pendapat berbeda cenderung diam atau tidak berani untuk menyampaikan pendapat karena takut terisolasi dari lingkungannya. Rasa takut ini akhirnya membuat kelompok dengan pendapat berbeda tenggelam dalam kebungkamannya terhadap pendapat kaum dominan. Pada intinya, dalam teori ini seseorang berusaha menghindari isolasi, pengucilan, atau keterasingan dari komunitasnya ketika ia memiliki keyakinan yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Kasus ini pun menghampiri beberapa orang (termasuk saya) untuk memilih diam dan tidak bersuara atas peristiwa yang ramai diperbincangkan ini. Kami meyakini bahwa dengan mengkritisi orang yang menjadi “bintang” di program talkshow salah satu stasiun televisi sambil melontarkan pertanyaannya yang “bombastis” justru malah mendatangkan komentar buruk yang saya yakini akan membuat kami merasa tertekan. Pemikiran yang telah sampai pada tahap konsekuensi apa yang akan kami terima nantinya jika melontarkan komentar penuh kritik di tengah derasnya komentar positif membuat kami akhirnya diam dan kembali men-scroll layar handphone.
Diam itu Emas
Peribahasa “Diam itu Emas” saya rasa mewakili mereka yang berada dalam spiral keheningan. Karena pada dasarnya mereka malas atau takut untuk menerima komentar dari para pendukung yang merasa opininya lah paling benar sehingga dengan penuh ego dapat seenaknya mengomentari, mendikte, dan menghakimi mereka yang tidak sependapat.
ADVERTISEMENT
Padahal menurut UU 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan untuk mengutarakan pendapat di muka umum; Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apa pun juga dan dengan tidak memandang batas-batas.
Adanya undang-undang ini saya rasa cukup dapat menjadi pedoman bagi netizen untuk saling menghargai pendapat satu sama lain. Adanya kebebasan berpendapat itu bukan berarti kita dapat mengutarakan segala pendapat tanpa melihat norma dan aturan, melainkan harus memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan ketika berpendapat. Karena pada akhirnya, tak selamanya pendapat setiap orang selalu sama, pastinya selalu ada pihak yang setuju ataupun sebaliknya. Toh dengan adanya perbedaan pendapat pun membuat kita dapat melihat berbagai perspektif mengenai sebuah isu yang menurut saya ini adalah sebuah keuntungan.
ADVERTISEMENT