Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Misteri Dibalik Donor Internasional: Apa Motif Sebenarnya dari NGO asal Barat?
7 November 2024 13:10 WIB
·
waktu baca 17 menitTulisan dari Jason Fernando tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Misteri menjadi sebuah keyword utama selama Abad ke-21 ini, terkait peran dan efektivitas Non-Governmental Organization (NGO) telah ikut andil dalam memberikan bantuan atas pembangunan internasional di berbagai negara berkembang. NGO ini menjadi tonggak baru dalam donor internasional yang sebagai 'peluru ajaib' untuk mengentaskan kemiskinan global, serta sumber penting bagi ide-ide baru terkait alternatif pembangunan.
ADVERTISEMENT
NGO didefinisikan sebagai 'perkumpulan orang-orang yang independen dan sukarela dalam bertindak bersama secara terus-menerus untuk tujuan bersama; selain mencapai jabatan pemerintah, menghasilkan uang, atau melakukan kegiatan ilegal'.
NGO yang bergerak di bidang pembangunan internasional beroperasi di lebih dari satu negara berkembang yang tujuan utamanya adalah meringankan penderitaan manusia, menyediakan layanan sosial dasar atau mendorong pembangunan sosial dan ekonomi. Organisasi-organisasi tersebut merupakan salah satu badan masyarakat sipil global terbesar dalam hal anggaran dan jumlah staf.
Namun NGO ini memiliki sisi gelap, dimana mereka dikritik karena dianggap sebagai 'Lilliputians' yang tidak dipilih, misionaris 'sekuler kontemporer; karena melanggengkan sistem dan struktur yang tidak adil sebagai bagian dari hegemoni Barat. NGO di satu sisi dipandang menjadi juruselamat karena efektivitasnya dan ditantang untuk ‘membuktikan bahwa mereka berbuat baik’; sebab mereka terlihat tidak terikat oleh badan pemerintahan manapun.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, NGO ini sebagai perpanjang tangan negara-negara maju untuk influence negara yang masih berkembang secara belakang layar; sehingga pembangunan internasional masih terhambat sepanjang sejarah. NGO inilah ibarat sebagai ‘sendok untuk dapur umum global’, serta sesuai sebagaimana pepatah Afrika yang menyatakan bahwa ‘jika tangan Anda ada di saku orang lain, Anda harus bergerak ketika dia bergerak’.
1. Perkembangan Non-Governmental Organization dalam Pembangunan Internasional
Dominasi realisme dalam hubungan internasional selama Perang Dingin menunjukkan sedikit ruang bagi aktor non-negara seperti NGO internasional. Bahkan beberapa NGO tidak dianggap serius oleh sebagian besar lembaga pemerintah dan diabaikan sama sekali oleh lembaga multilateral seperti Bank Dunia dan PBB. Namun situasi ini telah berubah secara radikal selama dua dekade terakhir, dimana NGO bergerak di bidang bantuan pembangunan internasional memainkan peranan penting dalam struktur bantuan dan pembangunan global.
ADVERTISEMENT
Jumlah NGO terus meningkat setiap tahunnya sejak arus globalisasi yang bergerak menembus batas ruang dan waktu. Adanya globalisasi inilah yang memfasilitasi pertumbuhan perdagangan internasional, komunikasi dan transportasi global yang lebih murah, peningkatan kesadaran masyarakat akan bencana alam, serta peningkatan keterbukaan terhadap masyarakat sipil juga mendukung perluasan NGO internasional.
Damien Kingsbury menggambarkan bahwa enam NGO yang berfokus pembangunan internasional pada tahun 2008 memiliki total pendapatan lebih dari US$7 miliar dan mempekerjakan lebih dari 110.000 orang. NGO tersebut menguasai sumber daya yang sebanding dengan bantuan pembangunan resmi (ODA) di banyak negara OECD. Bahkan terdapat bukti lain bahwa pendapatan NGO seperti World Vision melebihi ODA Italia atau Australia pada tahun 2005.
Berakhirnya Perang Dingin juga menandai fase baru dalam wacana NGO ketika lembaga donor mulai menerapkan apa yang disebut Agenda Kebijakan Baru. Agenda ini menekankan pada pengembangan tata pemerintahan yang baik, demokrasi, dan masyarakat sipil dan penyediaan layanan.
ADVERTISEMENT
Sebagai hasil dari agenda ini, pendanaan NGO dari donor pemerintah meningkat pesat, dengan keyakinan bahwa NGO tersebut akan mampu mencapai tujuan agenda tersebut. Hal ini didasarkan pada dua asumsi. Pertama, diasumsikan bahwa NGO mendorong demokrasi melalui penguatan masyarakat sipil. Peranan NGO ini dalam pelaksanaan proyek-proyek demokrasi tersebut yang didanai oleh Pemerintah, Bank Dunia, dan IMF. Kedua, NGO diasumsikan sebagai ‘penyedia layanan yang lebih efisien dan hemat biaya dibandingkan pemerintah’.
Namun statistik pendanaan NGO yang terperinci dan dapat diandalkan sulit ditemukan karena sifatnya yang beragam dan berbeda. Komite Bantuan Pembangunan dalam OECD terdiri dari 24 negara menerbitkan rincian angka terkait pendanaan.
Negara-negara tersebut menyalurkan bantuan sebesar US$103,5 miliar pada tahun 2007, dimana 6,5% diantaranya disalurkan melalui NGO. Namun rincian ini tidak memberikan gambaran lengkap, karena tidak mencakup persentase yang diberikan kepada lembaga multilateral yang kemudian menyalurkan dana bantuan ke NGO. Secara keseluruhan, diperkirakan 15 – 20 persen dari total bantuan pembangunan disalurkan melalui NGO.
ADVERTISEMENT
Terdapat dua konsekuensi dari meningkatnya pendistribusian dana melalui NGO. Pertama, terdapat peningkatan jumlah NGO; dimana sekitar seperlima dari seluruh NGO didirikan pada tahun 1990an. Kedua, ketergantungan NGO pada pendanaan pemerintah meningkat; seperti, di Inggris, Oxfam bergantung pada pemerintah sebesar 15% pendapatannya pada tahun 1984, serta 24% pada tahun 1993.
Meskipun begitu, NGO tetap menjadi jenis organisasi yang relatif baru secara perkembangannya. Dimotivasi oleh tujuan pelayanan dan sebagian besar bersifat sukarela, hal ini sering kali NGO hadir untuk mengurangi ketegangan sosial dan mendorong pembangunan.
NGO sebagai bentuk dari kebutuhan untuk menanggapi krisis yang disebabkan oleh rusaknya struktur tradisional, dari konflik dengan pihak yang berkuasa dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan internasional, atau dari kesadaran bahwa baik pemerintah maupun sektor swasta yang tidak memiliki kemauan, sarana atau kapasitas untuk menangani masalah-masalah sosial yang mendesak dan berkepanjangan.
ADVERTISEMENT
2. Non-Governmental Organization sebagai Perpanjang Tangan dari Hegemoni Barat dalam Memberikan Donor Internasional ke Negara-Negara Berkembang
Apabila dilihat dari penjelasan sebelumnya bahwa NGO menjadi aktor problem solving atas ketegangan sosial dan pembangunan internasional, namun dibalik itu NGO ini diindikasikan sebagai kontrol oleh negara-negara maju secara tersembunyi untuk mendikte negara-negara masih berkembang, sehingga kemiskinan hingga kurangnya akses layanan dasar terus bertahan sepanjang kontemporer ini.
Agenda Kebijakan Baru yang diadopsi oleh Sebagian besar NGO mencerminkan paradigma pembangunan sosio-ekonomi yang dominan dari Barat dengan didasarkan pada neoliberalisme. Negara-negara donor Barat menekankan peran NGO dalam demokratisasi dan penyediaan layanan. Bahkan banyak NGO ini menerima dana dalam jumlah besar dalam agenda tersebut, serta mereka tidak berkomitmen untuk mengakhiri kemiskinan dan ketimpangan agar mempermudah penyebaran hegemoni Barat secara tidak langsung.
ADVERTISEMENT
Ketika NGO menerima lebih banyak funding dari donor, ketergantungan mereka pada donor tersebut meningkat, sementara independensi mereka dari kepentingan pemerintah menurun. Donor telah memperoleh kekuasaan untuk menetapkan agenda pembangunan dan NGO perlahan-lahan menjadi kuda troya bagi neoliberalisme global itu sendiri.
Mungkin konsekuensi yang paling jelas dari meningkatnya ketergantungan pada pendanaan dari pemerintah Barat adalah melemahnya legitimasi NGO. Jika sebuah NGO menerima dana dalam jumlah besar dari donor pemerintah, maka NGO tersebut mungkin dianggap kurang autentik atau asli; sehingga mengakibatkan partisipasi lokal mungkin akan melemah karena adanya kontrol birokrasi.
Legitimasi juga terkait dengan gagasan independensi, dimana apabila sebuah NGO tunduk pada kemauan donor dari Barat, maka mereka juga tunduk pada perubahan fokus kebijakan donor tersebut. Oleh karena itu, legitimasi tidak hanya penting secara konseptual, namun juga memiliki konsekuensi nyata bagi pembangunan dalam praktiknya karena perubahan mode di negara-negara donor Barat dapat dengan cepat mengalihkan pendanaan dari proyek-proyek yang sangat dibutuhkan di negara- negara penerima utama, khususnya negara-negara miskin.
ADVERTISEMENT
Pelemahan legitimasi yang paling langsung terjadi ketika sebuah NGO tidak hanya mengambil keuntungan dari pihak lain; namun realitanya dikendalikan oleh kepentingan pemerintah, MNCs, atau politik dari Barat, yang dapat memanfaatkan dugaan legitimasi dan independensi LSM sebagai kedoknya.
Contohnya seperti NGO dari Amerika Serikat, yaitu National Endowment for Democracy yang dikirim untuk memberikan pelatihan kepada partai- partai politik di Amerika Latin termasuk National Democrat Institute dan International Republican Institute, yang berafiliasi dengan dua partai besar Amerika dan sangat bias terhadap partai yang berkuasa di Amerika Latin. NGO tersebut dibiayai langsung oleh Kongres AS serta merupakan kunci dalam memajukan instrumen kebijakan dan preferensi Barat.
Sejak tahun 1980an, Amerika Serikat telah mengadopsi pendekatan yang lebih canggih untuk memajukan agendanya melalui NGO; dimana contoh lainnya adalah keterlibatan salah satu NGO yaitu Open Society Institute (OSI) dalam peristiwa “Revolusi Mawar” di Georgia yang membawa pemerintah yang sangat pro-AS ke tampuk kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Alih-alih terlibat secara langsung, pemerintah AS tetap berada di belakang dengan menggunakan individu seperti George Soros, serta pemodal dari kelompok miliader yang mendanai OSI. NGO seperti OSI diberikan ruang politik dan ekonomi untuk beroperasi secara independen selama pekerjaan mereka tidak menghambat rancangan global AS pada tingkat strategis.
Hal ini memberikan AS cara untuk menerapkan kebijakan tertentu tanpa mengambil tanggung jawab resmi dan oleh karena itu tidak dapat dianggap bertanggung jawab secara langsung secara politik, sosial, ekonomi dan hukum dalam beberapa kasus.
NGO-NGO yang dibiayai oleh pemerintah AS merupakan bagian penting dari alat kebijakan luar negeri AS dan biasanya terampil mengeksploitasi ketidakpopuleran rezim yang korup untuk mencapai tujuan hegemoniknya.
ADVERTISEMENT
Cara operasional LSM yang didukung Barat, khususnya Amerika Serikat cukup sederhana. Mereka membiayai apa yang disebut sebagai proyek dan program di banyak negara miskin dimana sistem pemerintahannya tidak memberikan banyak manfaat bagi peningkatan taraf hidup warganya.
Rezim yang brutal dan korup di negara berkembang dipertahankan oleh Amerika Serikat itu sendiri. Dalam kasus seperti ini, tujuannya adalah memudahkan bagi NGO Barat untuk menarik penduduk lokal agar ingin bekerja sama, dan apabila menolak maka mereka terancam menjadi pengangguran dan mengalami kelaparan.
Beberapa NGO yang didukung Amerika Serikat selalu memproyeksikan diri mereka sebagai pemberi manfaat bagi masyarakat, sehingga menjadi ketertarikan dari negara-negara berkembang. Karena NGO dari Barat memiliki dana untuk melaksanakan proyek-proyek penting, maka banyak NGO lokal yang menjadi rentan terhadap manipulasi dengan menerima hibah dari pihak luar. Akibatnya NGO lokal menyerahkan integritas dan kehilangan identitas mereka, karena menjadi perpanjangan tangan pemerintahan hegemonik Barat.
ADVERTISEMENT
Beberapa NGO juga terlibat dalam pembuatan norma-norma baru yang muncul dan menjadi bagian dari agenda internasional. Misalnya, NGO berperan sebagai sumber informasi dan komentar utama bagi media, sehingga aktivitas komunikasi publik mereka yang luas dan akan mempengaruhi opini publik.
‘Soft power’ yang dimiliki oleh NGO internasional semakin diakui oleh para pembuat kebijakan, bahkan di negara Barat yang paling kuat secara militer dan ekonomi di dunia. Sebuah Komisi bipartisan yang berpengaruh mengenai cara-cara Presiden Amerika Serikat dapat menerapkan ‘strategi kekuatan cerdas’ mengidentifikasi kontribusi penting kegiatan beberapa NGO terhadap citra internasional dan pengaruh Amerika Serikat. Untuk menekankan hal ini, Komisi, yang diketuai oleh Richard Armitage dan Joseph Nye, beranggotakan CEO CARE US dan perwakilan dari Bill and Melinda Gates Foundation.
ADVERTISEMENT
Tentu saja, peningkatan pengaruh NGO internasional yang berasal dari negara-negara Barat tidak disambut baik secara universal. Kingsbury mempertanyakan legitimasi NGO untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan internasional, dengan menyatakan bahwa NGO tersebut kurang mewakili dibandingkan banyak IGO dan dapat mengesampingkan suara pemerintah negara berkembang.
Aktivitas keterlibatan politik oleh NGO internasional mengkompromikan nilai-nilai kemanusiaan mereka dan mengalihkan perhatian mereka dari pelaksanaan program. Akuntabilitas utama sebuah NGO seharusnya berada pada penerima manfaatnya, yaitu orang-orang yang kehidupannya terkena dampak dari aktivitas mereka; namun Agenda Kebijakan Baru telah mendistorsi akuntabilitas ini, karena dana yang diberikan pemerintahan dari Barat kepada NGO harus dipertanggungjawabkan.
Akibatnya program- program bantuan dana internasional tidak bertanggung jawab kepada masyarakat lokal tetapi kepada donor negara-negara Barat yang “meninjau” dan “mengawasi” kinerja NGO sesuai dengan kriteria dan kepentingan mereka. Pergeseran akuntabilitas ini mengubah fokus praktik NGO; dimana harus memperhitungkan dana tersebut berdasarkan standar Barat yang menekankan angka, statistik, dan efisiensi dibandingkan aspek kualitatif pembangunan.
ADVERTISEMENT
Misalnya apabila tujuan yang dinyatakan oleh sebuah NGO adalah pemberdayaan masyarakat miskin, maka hal ini sangat sulit diukur secara terpisah dan NGO tersebut mungkin akan beralih ke program spesifik yang dapat diukur dengan mengorbankan pendekatan yang lebih holistik.
Adanya risiko juga bahwa akuntabilitas ini memungkinkan NGO dikooptasi oleh donor dari Barat itu sendiri. Contohnya seperti NGO yang ingin memberdayakan penduduk miskin di suatu negara berkembang, namun didanai oleh Bank Dunia. NGO tersebut mungkin memutuskan untuk melakukan pemberdayaan melalui program literasi, sementara Bank Dunia, yang tujuannya adalah menciptakan dan menstabilkan pasar, memandang literasi sebagai sarana untuk menggerakkan masyarakat menuju perekonomian berbasis pasar.
NGO mungkin memandang pemberdayaan sebagai sesuatu yang melibatkan sensitisasi politik dan pengorganisasian masyarakat miskin demi hak-hak sosial dan ekonomi mereka, sedangkan Bank Dunia berfokus pada kapasitas masyarakat miskin untuk menjadi “klien” yang mampu menuntut dan membayar barang dan jasa. Dan bahkan diketahui bahwa Bank Dunia itu sendiri sebagian besar dikendalikan oleh negara-negara maju dari Barat, yakni Amerika Serikat (Washington Consensus).
ADVERTISEMENT
Dalam konteks tersebut, ketika kedua aktor menggunakan cara yang sama namun dengan tujuan yang sangat berbeda, tujuan NGO biasanya disubordinasikan serta mengakibatkan mereka mengabaikan misinya yang berorientasi pada keadilan sosial dan tidak murni membantu pembangunan di negara berkembang; melainkan menjadi kaki tangan pelaksana agenda kebijakan pemerintah Barat.
Sejumlah proses seperti birokratisasi, homogenisasi, dan korporatisasi, yang dapat mengubah NGO menjadi penyebar hegemoni Barat. Fokus pada manajemen teknis dan birokrasi telah menghomogenisasi pendekatan pembangunan, sehingga tidak memberikan ruang bagi beragam ide dan pendekatan yang heterogen serta muncul dari konteks local wisdom.
Namun konteks dan keberagaman tersebut dihilangkan dengan pemaksaan dalam perspektif Barat. NGO mendukung kepemimpinan negara-negara Barat di garis depan untuk mendorong gerakan imperialis terselubung dalam Agenda Kebijakan Baru, dengan maksud mengejar tujuan neoliberal untuk membawa seluruh negara berkembang di dunia ke dalam satu jalan menuju kemajuan terpadu oleh kapitalisme.
ADVERTISEMENT
Kemudian NGO ini mengadopsi neoliberalisme dalam meneruskan rencana pembangunannya sebagai ladang bisnis dan tidak melibatkan partisipasi maupun legitimasi akar rumput kepada masyarakat lokal yang berada di lapisan terbawah rantai tersebut.
Pembangunan top-down yang dilakukan oleh NGO korporat ibarat dengan praktik salah perusahaan minuman soda bermerek dalam memasarkan produknya. Namun, karena NGO bergantung pada pendanaan donor ketika pihak pendonor menginginkan efisiensi dan hasil statistik, maka NGO terdorong untuk melakukan korporatisasi, sehingga kehilangan sebagian dari nilai-nilai penting mereka sebagai exchange for continued existence and funding.
Di negara-negara berkembang pun, NGO yang berasal dari Barat dalam beberapa kondisi telah menjadi bisnis yang mungkin mewakili salah satu dari sedikit sektor dimana mereka merekrut pekerja yang akan diberikan upah dan profesional masih tersedia, sehingga menarik elit lokal yang hanya bekerja di sektor swasta menjadi elit NGO.
ADVERTISEMENT
Para elit NGO ini menjalani kehidupan yang istimewa dan nyaman, serta semakin jauh dari kehidupan yang penuh perjuangan. Tentu para elit NGO ini tidak lagi peduli terhadap perkembangan pembangunan di negara berkembang, serta kondisi hak-hak dan kesejahteraan masyarakat yang termarjinalkan.
Pergeseran untuk menggunakan NGO sebagai penyedia layanan di bawah Agenda Kebijakan Baru juga telah menggusur pemerintah di negara-negara berkembang. Alih-alih membantu negara berkembang membangun kapasitas kelembagaan, negara-negara donor dari Barat justru mendanai NGO untuk menjalankan layanan dasar.
Kasus ini mengakibatkan negara berkembang menjadi ketergantungan terhadap penyediaan dana dari NGO tersebut, sehingga munculnya negara-negara waralaba dimana pemerintah tidak lagi bertanggung jawab kepada warganya, karena tidak lagi memberikan pelayanan kepada warganya.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, pemerintahan di negara berkembang memberikan kemudahan terhadap layanan yang dijalankan oleh NGO tersebut. Salah satu kasusnya adalah NGO pemberi bantuan menyediakan hampir 80% layanan dasar di Ghana pada tahun 2004, dimana mengakibatkan pemerintah tersebut bergantung pada NGO dari Barat.
NGO mempunyai pandangan yang fatalistis terhadap dunia bahwa neoliberalisme tidak dapat dihindari, sehingga satu-satunya pilihan adalah membantu mereka yang tertinggal. Dengan cara ini, dominasi neoliberalisme semakin menguat. Namun di sisi lain begitu kuatnya hubungan antara NGO dan fasilitasi mereka terhadap proyek neoliberal, maka menjadikan NGO sebagai spesies indikator (semakin besar kehancuran yang disebabkan oleh neoliberalisme, maka semakin besar pecahnya NGO).
Masalah ini disebabkan oleh meningkatnya bantuan di wilayah-wilayah yang penyesuaian strukturalnya paling terpukul, sehingga masuknya bantuan sebagian besar dari negara-negara kapitalis inti dan lembaga-lembaga keuangan internasional yang mengalir ke negara-negara berkembang; dengan NGO dari Barat inilah memainkan peran yang semakin penting dalam pengendalian dan pencairan “bantuan” tersebut. Oleh karena itu, negara-negara Barat secara aktif mengeksploitasi NGO untuk mencapai agenda mereka sendiri, dan NGO ini ibarat buruh yang tentunya ingin berbuat baik dengan bersedia menuruti majikannya (pemerintahan Barat).
ADVERTISEMENT
NGO Barat juga memasuki masyarakat sipil di negara berkembang dan kemudian menjamin kendali atas mobilisasi kerakyatan dan gerakan massa dari dalam. Ketika gerakan-gerakan Dunia Ketiga bangkit dan bersatu dalam tuntutan hak-hak dan demokrasi, sejumlah besar NGO telah muncul untuk memprogram era baru.
Pemrograman tersebut melibatkan pemilihan suara-suara yang sah dan menyalurkan suara-suara tersebut melalui jalur yang dapat diterima oleh dunia Barat. Karena aktivitas gerakan sosial tidak sesuai dengan cara kerja NGO yang bersifat teknis, maka NGO jarang menerima dukungan yang mereka perlukan untuk berkembang.
Sehingga, gerakan-gerakan sosial menjadi lumpuh atau mengalami deradikalisasi, dengan meninggalkan program pendidikan dan pemberdayaan yang berupaya mempertahankan dinamika kekuasaan dan kesenjangan, karena NGO-NGO dari Barat tidak melihat kasus ini sebagai hal yang sah, dan malah mengadopsi solusi manajerial teknis terhadap isu-isu sosial seperti kemiskinan dan penindasan yang dapat dibingkai dan diukur.
ADVERTISEMENT
Selain itu, terdapat fakta menarik bahwa kehadiran NGO dari Barat menyebabkan pembangunan internasional menjadi lebih terpolitisasi. Semenjak di deklarasikan perang melawan teror, Barat (khususnya Amerika Serikat) menciptakan lingkungan di mana tindakan internasional melalui NGO untuk membantu dan melindungi kelompok yang paling rentan di tempat-tempat seperti Afghanistan.
Tindakan tersebut hanya sekedar untuk memenuhi agenda keamanan dan politik Amerika Serikat beserta sekutunya. Ancaman transnasional yang berasal dari negara-negara rapuh dan gagal juga menyebabkan negara-negara maju semakin memandang bantuan luar negeri sebagai instrumen utama untuk meningkatkan keamanan nasional; selain diplomasi, perdagangan, dan keamanan-pertahanan.
Di negara-negara rentan akan zona konflik dan bencana kemanusiaan, personel militer sering kali dilibatkan dalam penyaluran bantuan kemanusiaan bersama NGO, sehingga mengaburkan perbedaan antara mereka dan pekerja bantuan dari NGO tersebut. Hal ini menyebabkan hampir mustahil bagi penduduk setempat untuk membedakan peran dan aktivitas aktor lokal maupun internasional; termasuk tentara, aktor politik, kontraktor nirlaba, NGO internasional, dan NGO lokal.
ADVERTISEMENT
3. Tindakan Alternatif Non-Governmental Organization untuk Meninggalkan Ketergantungan dari Hegemoni Barat dalam Pembangunan Internasional
Negara-negara Barat telah mengarahkan wacana pembangunan dengan menggunakan Agenda Kebijakan Baru, dimana mereka mungkin tidak ingin melepaskan kendali yang mereka miliki saat ini terhadap NGO dan aktor-aktor lain yang menerima dana mereka. Alternatifnya adalah NGO harus lebih sadar diri; dimana mereka sendiri harus menyadari intervensi Barat, daripada tersesat dalam teknisisasi dan birokratisasi terhadap organisasi mereka.
Apabila NGO dapat menegaskan kembali komitmen mereka terhadap masyarakat di negara berkembang yang ingin mereka bantu dibandingkan dengan mereka yang memberikan pendanaan, maka NGO dapat memperoleh kembali independensi dan akuntabilitas yang penting bagi legitimasi mereka.
Apabila kesadaran ini telah ditingkatkan, salah satu cara NGO untuk keluar dari batasan Agenda Kebijakan Baru dari Barat adalah mencapai kemandirian finansial. Meskipun hal ini terdengar sederhana, namun dalam praktiknya menghadirkan tantangan yang cukup besar. Ketika pendanaan pemerintah meningkat, maka ketergantungan NGO juga meningkat; sehingga mengalami kesulitan untuk menghindari pendanaan dari pemerintah.
ADVERTISEMENT
Akuntabilitas juga dapat ditingkatkan oleh NGO, seperti menerapkan struktur demokrasi dari bawah ke atas untuk memastikan bahwa pendapat di tingkat lokal didengarkan. Kemudian, NGO dapat menggunakan audit sosial untuk memastikan bahwa pemangku kepentingan menetapkan indikator kinerja. Dengan cara ini, penerima manfaat yang dituju menetapkan tujuan yang harus dipertahankan oleh NGO dan NGO tersebut dapat memenuhi kebutuhan penerima manfaat dengan lebih baik, daripada menjadikan mereka tunduk pada rencana pembangunan yang bersifat top-down.
Mengenai perpindahan pemerintah, akan bermanfaat bagi NGO untuk mempertimbangkan apakah strategi mereka akan memberikan pembangunan jangka panjang. NGO perlu mengakui bahwa pendanaan mereka mungkin tidak terjamin dan berhati-hati dalam mendorong ketergantungan pada layanan yang dikelola.
Oleh karena itu, program pembangunan jangka panjang dari NGO mungkin lebih bermanfaat untuk membantu masyarakat dalam membangun layanan mereka sendiri atau membantu pemerintah membangun kapasitas kelembagaan, daripada mengambil alih peran mereka sebagai penyedia layanan.
4. Kesimpulan
ADVERTISEMENT
NGO yang bergerak di bidang bantuan dan pembangunan internasional telah menjadi aktor penting dalam politik global selama dua dekade terakhir. Terlepas dari kekurangan dan kegagalannya, mereka tetap menjadi salah satu suara paling kuat di dunia untuk mengatasi ketidakadilan dan permasalahan transnasional seperti kemiskinan global, perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan kesenjangan pendapatan.
Oleh karena itu, NGO tidak selamanya buruk seperti dijelaskan sebelumnya, karena mereka dapat berkontribusi pada 'transformasi planet bumi yang berkelanjutan, adil dan adil demi kepentingan seluruh umat manusia', dibandingkan transformasi yang mengkonsolidasikan hegemoni Barat dan penegasan neoliberalisme sebagai sebuah keniscayaan.
Tantangan terbesar dalam proses ini adalah perlunya setiap NGO dari Barat dan pihak-pihak yang bergerak di sektor pembangunan untuk terlibat dalam dialog yang jujur dan terbuka mengenai sifat organisasi mereka serta pekerjaan yang mereka lakukan di masing-masing negara penerima manfaat di wilayah Dunia Ketiga. Hanya dengan pengakuan dan keterlibatan pihak-pihak yang berada di garis depan dalam mengatasi pembangunan bersifat non-hegemonik, maka perubahan nyata dalam praktik NGO akan terlihat.
ADVERTISEMENT
NGO juga perlu melakukan refleksi, memprioritaskan kembali sumber daya, dan berkomitmen kembali pada tujuan yang sifatnya independen dalam pemberian bantuan donor internasional untuk pembangunan di negara-negara berkembang.
Dengan demikian, NGO perlu melibatkan gagasan-gagasan lokal untuk pembangunan dan perubahan sosial di negara-negara berkembang. Menekankan people-centered and basic need-approach menjadi prinsip penting bagi NGO untuk berkontribusi dalam mewujudkan pembangunan internasional. NGO tidak harus sekedar menjadi saluran bagi agenda neoliberal Barat, namun dapat menjadi saluran bagi gagasan, suara, dan perubahan sosial yang nyata bagi stabilitas global, khususnya kesejahteraan negara-negara yang masih berkembang.
Referensi
Duval, A. M., & Gendron, Y. (2020). Creating Space for an Alternative Discourse in the Context of Neoliberal Hegemony: The Case of a Long-Standing NGO. Administrative Theory & Praxis, Vol. 42, No. 1, 62-89.
ADVERTISEMENT
Ismail, F., & Kamat, S. (2018). NGOs, Social movements, and The Neoliberal State: Incorporation, Reinvention, Critique. Critical Sociology, Vol. 44, No. 4-5, 569-577.
Katz, H. (2006). Gramsci, Hegemony, and Global Civil Society Networks. Voluntas: International Journal of Voluntary and Nonprofit Organizations, Vol. 17, 332-347.
Kingsbury, D. (2013). Critical Reflections on Development. Melbourne: Deakin College of AUS.
Mahmoud, T. (2010, Mei 1). NGOs: the West’s Soft Instrument for Hegemonic Policies. Diakses dari Crescent International: https://crescent.icit- digital.org/articles/ngos-the-west-s-soft-instrument-for-hegemonic-policies
Shivji, I. G. (2006). The Silences in the NGO Discourse: The Role and Future of NGOs in Africa. Africa Development, Vol. 31, No. 4, 22-51.