Kilas Balik: Mencermati Skandal Bank Century dari Kacamata Prinsip Administrasi

Jason Perdhana
Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara, Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
26 Desember 2020 16:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jason Perdhana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Analisis singkat dengan menggunakan pendekatan ilmu administrasi negara, niaga, dan fiskal.

Gubernur BI dan Menkeu RI 2008, Boediono & Sri Mulyani. Sumber: CNN Indonesia dan ANTARA / Foto: Andry Novelino dan Dhemas Reviyanto
zoom-in-whitePerbesar
Gubernur BI dan Menkeu RI 2008, Boediono & Sri Mulyani. Sumber: CNN Indonesia dan ANTARA / Foto: Andry Novelino dan Dhemas Reviyanto
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di pengujung tahun 2008, publik dikejutkan oleh terkuaknya skandal Bank Century. Skala kasus ini demikian besar hingga pemberitaan tindak lanjut persoalannya tidak selesai-selesai hingga lima tahun berikutnya. Sampai saat ini, kasus tersebut masih kerap disebut-sebut sebagai skandal politik ekonomi nasional yang paling sarat kontroversi dan spekulasi. Bagaimana tidak, kasus ini menyeret nama-nama besar seperti Boediono dan Sri Mulyani. Di satu sisi, Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengklaim bahwa tindakan yang mereka putuskan untuk lakukan saat itu sangat penting dalam rangka menyelamatkan Indonesia dari dampak terburuk krisis ekonomi yang sedang terjadi (BBC, 2014). Di sisi lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merasa penggelontoran dana sedikitnya Rp6,7 triliun untuk sebuah bank yang sejatinya telah berada di ambang kebangkrutan terlampau besar dan menjadikan alasan ‘upaya penyelamatan negara’ tidak masuk akal (Tempo, 2009). Publik terjepit di antara kedua kubu sembari bertanya-tanya: pihak mana yang dapat dipercaya?
ADVERTISEMENT
Menjaga Asa Kehidupan Bank Century
Bank Century merupakan hasil merger dari tiga bank pada tahun 2004: Bank CIC, Bank Danpac, dan Bank Pikko. BI menyarankan tindakan tersebut sebab Bank CIC berulang kali gagal dalam melakukan penawaran umum terbatas. Pada tahun 2008, kesulitan likuiditas menyerang Bank Century. Boediono selaku Gubernur BI berembuk dengan Sri Mulyani (Menteri Keuangan) mengenai tindakan yang perlu diambil mengenai hal tersebut. Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) kemudian menetapkan Bank Century sebagai Bank Gagal Berdampak Sistemik. Langkah penyelamatan via Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pun diusulkan. Rangkaian suntikan dana dilakukan pasca akuisisi LPS atas Bank Century. Suntikan pertama berjumlah Rp632 miliar (capital adequacy ratio (CAR) 8%). Suntikan kedua berjumlah Rp2,776 triliun (CAR 10%). Suntikan ketiga berjumlah Rp2,2 triliun (pemenuhan tingkat kesehatan bank). Walaupun pada akhir Desember 2008 Bank Century resmi lumpuh dengan catatan kerugian sebesar Rp7,8 triliun, suntikan keempat tetap masuk pada Februari 2009 sejumlah Rp1,55 triliun. KPK menaruh curiga terhadap perlakuan spesial ini dan mulai melakukan penyelidikan. Bekerja sama dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), hasil audit menunjukkan adanya berbagai masalah dan kejanggalan serius dalam proses penyelamatan Bank Century. Berdasarkan hasil audit tersebut, DPR juga ikut terlibat dengan mengusulkan hak angket untuk melakukan pengkajian lebih lanjut terhadap kasus tersebut. Penyelidikan masif ini kemudian berbuah hasil daftar nama tersangka kasus bailout Bank Century. Beberapa di antaranya adalah Robert Tantular (Shareholder Bank Century), Siti Fadjriah (Deputi Gubernur Bank Indonesia), dan Hermanus H. Muslim (Direktur Utama Bank Century).
ADVERTISEMENT
Etika Administrasi Terapan
Ketika kita berbicara mengenai kasus Bank Century, maka topik yang seharusnya turut dibawa dalam bahasan adalah implementasi etika terapan oleh para pihak yang terlibat. Etika terapan sendiri membahas mengenai etika-etika teoritis seperti utilitarianisme, teori kontrak sosial, deontologi, dan lainnya. Teori ini secara konkret diterapkan guna mengatasi pertimbangan moral pengambilan tindakan dalam dunia nyata, baik dalam kehidupan pribadi maupun publik, yang mencakup pula kehidupan profesi, kesehatan, teknologi, hukum, dan kepemimpinan (Oxford Bibliographies). Konsep etika terapan dapat dibagi menjadi menjadi beberapa cabang, di antaranya etika bisnis, etika publik, dan etika hukum; dan setiap cabang ini memiliki tolak ukurnya tersendiri dalam menentukan tindakan apa yang mencerminkan baik buruknya sebuah perilaku. Dalam proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan dalam lingkup privat ataupun publik, sudah sepatutnya kepatuhan akan kode etik yang berlaku dijadikan sebagai norma utama. Prinsip yang sama juga harus diterapkan untuk kegiatan usaha yang dilakukan oleh pihak manajemen Bank Century maupun pemerintah sebagai aktor yang turut terlibat dalam penyelidikan kasus tersebut.
ADVERTISEMENT
Gagal Mengimplementasikan Prinsip Etika Administrasi: Terbukanya Celah Korupsi?
Keadaan dan persoalan yang meliputi Bank Century adalah ladang korupsi potensial yang amat menarik perhatian oknum yang tergiur untuk mengemukkan pundi-pundinya. Namun, apa yang sesungguhnya menyebabkan hal ini terjadi? Bagaimana kaitannya dengan prinsip etika administrasi? Dari perspektif administrasi negara, dan utamanya hukum administrasi negara, keterlibatan pemerintah dalam kasus Bank Century dengan model penyelesaian kebijakan krisis sistem keuangan menggunakan tindakan akuisisi LPS saja sudah layak dipertanyakan. Lily Evelina Sitorus yang mempertahankan disertasinya di hadapan sidang promosi doktor di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2017) berpendapat bahwa kebijakan dana talangan (bailout) pemerintah dalam menangani kasus Bank Century dapat dikategorikan sebagai diskresi yang dilakukan demi tujuan bersama dan dapat diuji. Berdasarkan konsep kewenangan, pemerintah yang dalam hal ini terwakili oleh KSSK berwenang mengeluarkan Keputusan Nomor 04/KSSK 03/2008 tentang Penetapan PT Bank Century Tbk sebagai Bank Gagal Berdampak Sistemik. Namun, kebijakan bailout ini sejatinya bermasalah; utamanya berkaitan dengan kewenangan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan, juga tentang akuntabilitas dan modelnya sebagai protokol penanganan krisis sistem keuangan. Panitia Khusus DPR juga menyimpulkan melalui penyelidikannya bahwa terjadi berbagai penyimpangan dan pelanggaran hukum dalam tindakan penyelamatan Bank Century. Akan tetapi, kebijakan BI dalam memberikan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan pengucuran dana oleh pemerintah sejumlah Rp6,7 triliun nyatanya terbukti sebagai tindakan yang sah secara hukum. Kasus ditutup dengan menyatakan bahwa pengelolaan buruk internal Bank Century dan lemahnya fungsi pengawasan dari BI sebagai dalang di balik lengahnya lembaga legislatif negara dalam menanggapi kasus tersebut. Melalui kasus ini, menjadi nyata bahwa harmonisasi peraturan perundang-undangan masih merupakan pekerjaan penting pemerintah dalam upaya penerapan good governance. Karena kurang kuatnya bangunan administrasi secara sistem dan perundang-undangan, peluang terjadinya tindakan korupsi transaktif akhirnya terbuka lebar (Alatas, 1990).
ADVERTISEMENT
Beralih ke perspektif administrasi niaga, permasalahan yang menjerat Bank Century 12 tahun silam terjadi akibat buruknya pelaksanaan tata kelola perusahaan, utamanya dikarenakan manajemen Bank Century gagal menerapkan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas yang telah diuraikan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Pelanggaran atas prinsip transparansi dapat dilihat dari bagaimana pihak manajemen Bank Century tidak mengungkapkan kondisi aktual kesehatan perusahaannya kepada publik, sehingga menyebabkan publik sebagai salah satu stakeholder tidak tahu-menahu akan permasalahan yang menimpa bank tersebut. Selain itu, hasil audit yang dilakukan oleh BPK juga menunjukkan adanya rekayasa akuntansi yang dilakukan oleh manajemen Bank Century dengan tujuan menutupi permasalahan keuangan internal perusahaan menggunakan laporan keuangan yang menunjukkan kecukupan modal. Sementara itu, pelanggaran prinsip akuntabilitas tercermin dari tindakan mantan direktur utama Bank Century, Robert Tantular, yang dituding memengaruhi kebijakan direksi agar tidak melakukan langkah-langkah yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian bank dalam UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Akibatnya, Bank Century mengalami gagal kliring. Rekayasa akuntansi yang telah disebutkan sebelumnya juga termasuk dalam pelanggaran prinsip akuntabilitas. Selain itu, terdapat juga berbagai macam kecurangan yang berdampak terhadap kerugian negara sebesar Rp6,7 triliun atas suntikan-suntikan modal yang diberikan oleh LPS kepada Bank Century guna menutupi rasio kecukupan modal bank tersebut.
ADVERTISEMENT
Berikut adalah tinjauan dari sudut pandang fiskal. Fiskal sendiri berbicara mengenai aktivitas negara dalam mengupayakan penerimaan lalu membelanjakan penerimaan tersebut (Mankiw, 2002). Skandal Bank Century membuktikan bahwa Indonesia sangat rentan terhadap isu perekonomian domestik. Berdasarkan artikel yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (2009), otoritas keuangan di Indonesia, baik otoritas moneter maupun otoritas fiskal, berhasil meredam tensi krisis ekonomi pada saat itu dan berhasil memulihkan perekonomian negara akibat krisis finansial tahun 2008. Kebijakan fiskal adalah salah satu instrumen untuk mengarahkan kesimbangan makro ekonomi dengan tujuan agar stabilitas ekonomi negara terjaga. Mengingat kasus Bank Century terbukti merugikan negara secara ekonomi, maka ada beberapa langkah yang dapat negara lakukan untuk mengurangi biaya krisis yang akan ditanggung, yaitu dengan pemberian Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD); memberikan modal tambahan kepada bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) dan pemberian insentif fiskal. Ketika negara dinyatakan rugi sebesar Rp689,394 miliar karena pemberian FPJP dan rugi sebesar Rp6,742 triliun karena Bank Century berdampak sistemik, maka otoritas fiskal berguna untuk mencari penerimaan negara sebanyak-banyaknya demi menutup kerugian yang diakibatkan oleh Bank Century. Berdasarkan laporan keuangan pemerintah pusat tahun 2008, realisasi pendapatan negara Indonesia tahun 2008 mencapai Rp981,61 triliun, 9,68% di atas target APBN tahun 2008. Mengacu pada kondisi tersebut, maka otoritas fiskal sebenarnya terhitung berhasil mengumpulkan penerimaan negara, bahkan melebihi target yang sudah ditetapkan. Pada akhir tahun 2008, Indonesia memiliki Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) sebesar Rp79,95 triliun (detikfinance, 2010). Sisa anggaran tersebut kemudian dapat dialokasikan untuk menutup biaya-biaya lain seperti kasus Bank Century, tetapi penutupan kerugian ini memerlukan kajian lebih lanjut.
ADVERTISEMENT
Akhir kata, skandal Bank Century tidak serta-merta dapat dihakimi sebagai kasus korupsi terstruktur, sistematis, dan masif yang sengaja dilakukan oleh para pejabat negara kita demi keuntungan mereka masing-masing; setidaknya bukan itulah modus operandi yang terbukti melalui penyelidikan dan penelusuran yang telah dilakukan berkali-kali. Namun, penyematan kata ‘skandal’ pada kasus tersebut masih cocok digunakan karena memang terbukti adanya tindakan maladministrasi yang cukup fatal. Berkaca dari kasus tersebut, nilai transparansi dan prinsip akuntabilitas harus senantiasa diingat dan dipraktikkan sedemikian rupa oleh setiap institusi dan lembaga pemerintah, agar masyarakat tidak perlu mengalami dan mengulangi kecewa serta patah hati tiap kali pemerintah bertindak.
Penulis: Jason Perdhana, Seth Hosea, dan Zhehida Chamelia (Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia)
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
Abimanyu, Anggito. (2010). Perlu (Segera) UU JPSK. http://portal.fiskal.kemenkeu.go.id/pustaka/index.php?p=research&id=20100629083337174791776
BBC Indonesia. (2014). Kilas Balik Kasus Bank Century. https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2014/07/140716_bankcentury_101
Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI). (2001). Seri Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance): Peranan Dewan Komisaris dan Komite Audit dalam Pelaksanaan Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan). Jilid 2. Jakarta: FCGI.
Indriastuti, Ratih. (2009). Penyertaan Modal Sementara Oleh Lembaga Penjamin Simpanan Sebagai Upaya Penyelamatan Bank Gagal (Studi Kasus: PT Bank Century Tbk.). http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-9/20325861-S25099-Ratih%20Indriastuti.pdf
Sitorus, Lily. (2017). Diskresi dalam Kebijakan Bailout Bank Century. Depok: FH UI. https://law.ui.ac.id/v3/diskresi-dalam-kebijakan-bailout-bank-century/
Surjaningsih, Ndari. G. A. Diah Utari., dan Budi Trisnanto. (2012). Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Output dan Inflasi. https://www.bi.go.id/id/publikasi/jurnal-ekonomi/documents/259779accf9e4b709a9b933ceffbc3e3ndarisurjaningsihgadiahutaribuditrisnanto.pdf
Tempo. (2009). Kronologi Aliran Rp 6,7 Triliun ke Bank Century. Jakarta: Tempo.co. https://nasional.tempo.co/read/208353/kronologi-aliran-rp-67-triliun-ke-bank-century
ADVERTISEMENT
Wijaya, Krisna. (2007). Penanganan Bank Gagal. https://lps.go.id/artikel/-/asset_publisher/0S8e/content/penanganan-bank-gagal
Zen, Suparman. Syahrir Ika., dan Mutaqin. (2016). Good Financial Safety Net Governance. https://fiskal.kemenkeu.go.id/data/document/2016/kajian/Governance%20JPSK.pdf