Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Pesona Masjid Nurul Huda Peninggalan Kerajaan Mataram di Bojonegoro
14 Mei 2019 13:06 WIB
Tulisan dari JatimNow tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Meskipun menjadi masjid tertua namun bangunan yang modern mengesankan jika tempat ibadah umat Islam ini bukanlah tempat yang kuno. Didominasi tembok bercat putih di bangunan inti masjid dan pagar berwarna hijau kian mengesankan masjid ini bukan masjid tertua.
Begitu juga bangunan inti masjid dengan luas 15 x 15 meter, lantainya berbahan keramik berwarna putih.
Kesan kuno masjid baru terlihat pada daun pintu berbahan kayu jati kuno bertuliskan sebuah huruf Arab dan huruf Aksara Jawa di teras depan.
Pada pintu ini tertulis dua kalimat bertuliskan 'Laa Ilaha Illallah' di kanan dan 'Muhammad Rasulullah' di kiri dengan huruf arab gundul. Di bawahnya terdapat tulisan 1262 H menggunakan angka Arab yang menandakan tahun dibuatnya.
Sedangkan di dalam terdapat 4 pilar berbahan kayu jati kuno di ruangan ibadah utama menunjukkan tempat ibadah ini bukan masjid baru yang dibangun.
ADVERTISEMENT
"Memang masjid ini tertua di Bojonegoro usianya lebih dari 1847 M atau 1262 H. Jadi tulisan 1262 H di daun pintu merupakan renovasi ketiga dari waktu berdiri awalnya masjid. Itu yang hingga sekarang masih kita pertahankan," kata Ketua Takmir Masjid Jami' Nurul Huda Cangaan, Abdul Hakim, Selasa (14/5/2019).
Ia melanjutkan, Masjid Jami Nurul Huda didirikan oleh salah satu keluarga Kerajaan Mataram Islam asal Solo yakni Ki Ageng Wiroyudo. Ki Wiroyudo kabur dari Kerajaan Mataram karena wilayah kerajaan diserang Belanda.
Ki Wiroyudo yang melarikan diri, menelusuri Sungai Bengawan Solo dan terdampar di Desa Piyak, Kecamatan Kanor, Bojonegoro.
"Jadi dari cerita nenek moyang dahulu, Mbah Buyut Wiroyudo dengan nama Ki Ageng Wiroyudo ini kabur dari Mataram karena dikejar Belanda. Naik perahu bersama pasukan lainnya dan terdampar di Desa Piyak. Lalu setahun di Piyak, pindah ke sini (Cangaan)," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Di Desa Cangaan inilah, Ki Wiroyudo mendirikan masjid pada tahun 1775 M untuk tempat ibadah dan menyebarkan ajaran agama islam.
Awalnya bangunan Masjid Jami Nurul Huda hanya berkonstruksikan kayu dengan atapnya berasal dari alang - alang dan daun jati.
"Dulu sebelum dipugar, masjid tersebut atapnya terbuat dari alang-alang dan daun jati," katanya.
Sejak berdiri tahun 1775 M hingga saat ini, masjid telah direnovasi 5 kali. Sedangkan daun pintu dan 4 pilar di masjid yang masih dipertahankan merupakan hasil renovasi ketiga tahun 1262 H atau 1847 M.
"Jadi daun pintu menunjukkan renovasi ketiga itu tahun 1262 H. Sebelumnya masjid ini sudah ada lama dan digunakan sebagai tempat penyebaran Islam di Cangaan dan sekitarnya," ujarnya.
Hakim melanjutkan, terdapat sejumlah peninggalan kuno yang masih tersimpan di masjid ini. Mulai dari karpet merah, keris, dan tombak milik Ki Wiroyudo tersimpan dalam peti kayu jati yang diperkirakan berusia 342 tahun.
ADVERTISEMENT
"Itu semua barang dari Ki Wiroyudo. Bahkan karpet merah itu pernah dipakai pemerintah Bojonegoro menyambut kedatangan Bung Karno waktu berkunjung ke Bojonegoro," jelasnya.
Selain itu juga terdapat sebuah jam matahari atau sundusial peninggalan Ki Wiroyudo juga masih terlihat dan ditempatkan di halaman masjid. Sundusial ini digunakan untuk menunjukkan waktu salat sebelum adanya jam digital, dengan cara melihat arah datangnya bayang-bayang matahari.
Kerap Diterjang Banjir Sungai Bengawan Solo
Selama masjid ini berdiri dari awal sudah mendapat renovasi 5 kali, renovasi terakhir terjadi pada April 2014 - 2015 lantaran masjid ini kerap diterjang banjir akibat luapan Sungai Bengawan Solo.
"Kami sengaja meninggikan 1 meter karena kalau banjir ini setiap Salat Jumat tidak bisa digunakan. La masak kalau lagi banjir, sebulan bisa 2 kali kebanjiran, terus gak Salat Jumat," kata Hakim.
ADVERTISEMENT
Maka faktor itulah yang akhirnya membuat konstruksi sebagian besar masjid diperbarui dan terkesan lebih modern.
"Sebenarnya sayang kalau dipugar dari bangunan aslinya. Tapi mau bagaimana lagi harus ditinggikan, tapi tidak mengubah gaya arsitek lama masjid hanya ditinggikan dan terlihat lebih modern saja," ujarnya.
Renovasi beberapa konstruksi masjid seperti marmer kuno yang ada di bagian depan masjid sebagian rusak dan disusun ulang diletakkan di bagian samping kiri masjid.
Banjir juga menyebabkan kitab - kitab tulisan huruf Arab kuno karya Ki Ageng Wiroyudo yang bertuliskan tangan di sebuah kertas berusia ratusan tahun akhirnya ikut rusak.
"Ada kitab tulisan Arab gundul peninggalan Mbah Buyut Wiroyudo, dari tulis tangan berbahan kertas, sekarang rusak terkena banjir," keluhnya.
ADVERTISEMENT
Perubahan konstruksi masjid sebenarnya juga disayangkan jamaah yang singgah, Febri Yudha. Ia menyebut sebagai bangunan cagar budaya dan sejarah maka disayangkan bila harus berubah konstruksinya.
"Kalau itu bangunan sejarah tentu disayangkan. Tapi mau bagaimana lagi ini faktor alam, daripada tidak bisa salat karena kebanjiran," katanya.