Nama Baik Kampus: Mencegah Kekerasan Seksual dalam Universitas

Jihad Javier Jaafar
Seorang mahasiswa psikologi Universitas Pendidikan Indonesia
Konten dari Pengguna
15 Juni 2021 12:34 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jihad Javier Jaafar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: https://pixabay.com/images/search/sexual%20violence/
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: https://pixabay.com/images/search/sexual%20violence/
ADVERTISEMENT
Ketika saya pertama kali masuk kampus, jujur saya tidak pernah berpikir tentang kekerasan seksual. Saya pikir kekerasan seksual itu kejadian-kejadian yang hanya terjadi di gang gelap pada malam hari. Seperti itulah pikiran saya pada waktu itu.
ADVERTISEMENT
Sampai tiba suatu hari. Hari itu biasa-biasa saja, saya baru ke kampus menjelang jam masuk kelas. Biasa, namanya murid "teladan". Saya duduk bersama teman-teman dan menunggu dosen. Nah, ketika dosen masuk, saat itulah terasa ada yang berbeda.
Dosen saya masuk dan berdiri di depan kelas, dari cara beliau memanggil perhatian sudah aneh. Rasanya ada ketegangan di udara kelas di hari itu. Kata-kata yang keluar dari mulut dosen saya pun memecah ketegangan itu.
Salah satu teman saya ternyata menjadi korban tindakan tidak senonoh. Ya, dia terkena pelecehan seksual. Saya tidak akan cerita detailnya cerita dosen saya, pokoknya modusnya berkedok penelitian. Diajak ke tempat sepi, terbayanglah kelakuan bejat pelakunya.
Momen itu membuat saya merasa seakan-akan saya keluar dari sebuah gua. Kampus yang semula tampak aman kini tidak sesuci dulu. Kenaifan saya luntur.
ADVERTISEMENT
Kampus sepertinya tidak langsung terpikir oleh orang-orang saat memikirkan kekerasan seksual. Kalau angkutan umum mungkin sudah biasa ya dengar beritanya. Tapi kampus? Tempat orang-orang terpelajar? Ah, rasanya tidak mungkin.
Tapi faktanya kampus merupakan tempat di mana kekerasan seksual bisa saja terjadi. Dilansir dari Kompas, sumber terbesar laporan kekerasan seksual yang diterima Komnas Perempuan berasal dari lingkungan kampus (27%). Pelakunya pun bukan tipe-tipe preman. Menurut survei Nama Baik Kampus, pelaku terbanyak adalah sesama mahasiswa, diikuti dosen. Kurang berpendidikan bagaimana pelaku-pelaku ini?
Awalnya saya pikir ini cuma satu kasus saja. Tapi ternyata hal ini hanya ujung dari sebuah gunung es raksasa. Kenyataannya Pusat Kajian Krisis UPI menerima 43 laporan kekerasan seksual per Januari 2021. Itu juga hanya yang melapor. Mirisnya, hasil survei Nama Baik Kampus menemukan bahwa setengah penyintas kekerasan seksual tidak melaporkan kasus mereka.
ADVERTISEMENT
Lantas kenapa orang-orang tidak melapor? Alasannya banyak, ada yang malu, takut, tidak sedikit juga yang tidak percaya bahwa laporan mereka akan memiliki dampak. Untuk menanggulangi hal ini, diperlukan pengubahan sistem pelaporan di kampus, harusnya ada sebuah lembaga yang bisa mendampingi korban ketika melapor.
Laporan dari korban pun seharusnya ditindak dengan cepat. Bagaimana orang mau percaya untuk melapor ketika laporan mereka jatuh di kuping batu? Ketika kampus mulai menindaklanjuti kasus kekerasan seksual secara serius, kepercayaan terhadap lembaga bisa terwujudkan.
Selain itu psikolog dapat dilibatkan dalam penanganan kasus. Tentunya setelah mendapat perlakuan tidak menyenangkan korban bisa mengalami trauma, sehingga dibutuhkan bantuan konseling untuk membantu korban.
Hal yang sama pentingnya dengan penanganan kasus adalah pencegahan. Mungkin terdengar sepele, akan tetapi dengan merancang workshop berisi penyuluhan tentang kekerasan seksual, kesadaran mengenai kekerasan seksual bisa ditingkatkan.
ADVERTISEMENT
Pengelola kampus dapat bekerja sama dengan psikolog untuk merancang workshop seperti ini. Psikolog dapat memberikan penyuluhan mengenai tindakan apa saja yang termasuk ke dalam bentuk kekerasan seksual, sehingga orang-orang bisa memahami perilaku seperti apa yang harus mereka hindari. Selain itu penting juga untuk mengajarkan langkah-langkah untuk melapor. Mungkin saja orang-orang tidak melapor karena tidak tahu caranya.
Kembali ke cerita saya tadi. Pada akhirnya saya mengetahui siapa pelakunya. Dia anak yang agamis, jauh dari bayangan tipikal seseorang yang bejat. Ternyata ada benarnya juga ungkapan orang inggris, sebuah buku tidak bisa dinilai hanya dari sampulnya.
Akhir kata, mungkin kampus bukanlah tempat yang aman. Kekerasan seksual memang sangat mungkin untuk terjadi di tempat manapun, termasuk kampus. Namun fakta kelam ini tidak menutup peluang untuk berusaha membuat kampus lebih aman.
ADVERTISEMENT
Sumber:
Kompas. (2020) Puluhan Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Dilaporkan ke Komnas https://nasional.kompas.com/read/2020/10/30/10043991/puluhan-kekerasan-seksual-di-lembaga-pendidikan-dilaporkan-ke-komnas?page=all Retrieved from URL. Accessed on June 4, 2021
Pusat Kajian Pendampingan Krisis UPI (2021)
Tirto (2019) https://tirto.id/kekerasan-seksual-di-kampus-djiR Retrieved from URL. Accessed on June 4, 2021
Sumber Foto: Domestic Violence Intervention. https://pixabay.com/images/search/sexual%20violence/ Retrieved from URL. Accessed on June 11, 2021
Data tentang kekerasan seksual di Universitas Pendidikan Indonesia diperoleh dengan izin dari Pusat Kajian Pendampingan Krisis UPI.