Bahaya COVID-19 dan Kewaspadaan Nasional

Jazilul Fawaid
Wakil Ketua MPR RI (Periode 2019-2024)
Konten dari Pengguna
3 Agustus 2020 6:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jazilul Fawaid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jazilul Fawaid, Wakil Ketua MPR 2019-2024
zoom-in-whitePerbesar
Jazilul Fawaid, Wakil Ketua MPR 2019-2024
ADVERTISEMENT
Situasi pandemi COVID-19 saat ini masih sangat mengkhawatirkan. Pernyataan tersebut tidak terlalu berlebihan apabila merujuk pada data dan fakta yang ada saat ini. Mengacu pada data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, pada pekan keempat Juli, terdapat 440 pegawai atau karyawan di sejumlah kementerian, lembaga, dan perusahaan swasta yang tersebar di DKI Jakarta yang terinfeksi Covid-19. Sejak munculnya temuan kasus positif Covid-19 pertama kali pada awal Maret lalu, terjadi lonjakan kasus secara tajam hingga menyentuh angka 2.657 kasus pada 9 Juli lalu yang tercatat sebagai kasus harian tertinggi hingga saat ini. Kondisi tersebut berpotensi menjadi lebih buruk mengingat masyarakat belum sepenuhnya sadar dan patuh terhadap protokol kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Mispersepsi dan ketidakcermatan
Ilustrasi New Normal. Foto: Dok: Indra Fauzi/kumparan.
Kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan seperti penggunaan penutup hidung dan mulut (masker), sabun pencuci tangan, menjaga jarak, serta menghindari kerumunan, tidak dimungkiri memang masih sangat rendah. Penerapan pelonggaran PSBB melalui skema PSBB Transisi justru dimaknai berbeda oleh masyarakat. Sebagian orang menganggap bahwa geliat aktivitas sosial dan perekonomian di masyarakat merupakan tanda berakhirnya pandemi. Mereka tak takut lagi untuk berkerumun dan berinteraksi satu sama lain tanpa menggunakan masker. Hal ini tentu saja sangat keliru. Di satu sisi, pemerintah di masing-masing daerah tampaknya belum terlalu persisten dalam menyosialisasikan kebijakan Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) yang berbeda dari kehidupan normal. Sedangkan di sisi lain, masyarakat sangat lengah dan tidak waspada terhadap bahaya Covid-19 di masa PSBB Transisi tersebut.
ADVERTISEMENT
Kita semua, baik pemerintah maupun masyarakat, seyogyanya bersikap cermat dan tetap berlaku waspada terhadap bahaya pandemi. Ada baiknya untuk menengok sejenak dinamika yang terjadi di negara-negara lain sebagai pembanding. Sejumlah negara di kawasan Asia Timur baru saja menghadapi gelombang kedua penularan Covid-19 setelah mereka mengklaim telah berhasil menghentikan penularan. Di Jepang, ditemukan 34 kasus baru di Tokyo setelah pemerintah mencabut status darurat pada akhir Mei lalu. Di Korea Selatan, juga ditemukan kasus-kasus baru yang terjadi di pusat-pusat kerumunan setelah dilakukan pelonggaran pada awal Mei. Tiongkok sebagai negara asal virus juga kembali berlaku siaga setelah menemukan kasus baru pasca penerapan lockdown parsial untuk menggantikan kebijakan lockdown menyeluruh yang ditempuh sebelumnya.
Fenomena yang terjadi di negara-negara Asia Timur tersebut selaiknya menjadi pelajaran dan pembelajaran bersama di dalam negeri. Implementasi kebijakan pembatasan sosial transisi dan AKB harus dievaluasi kembali, baik tahapan implementasinya maupun relevansi penetapannya. Jika memang terjadi permasalahan pada tahapan implementasi, maka langkah-langkah korektif harus segera dilakukan. Demikian pula halnya jika terdapat ketidakcermatan dalam formulasi kebijakan, sehingga berdampak pada naiknya angka kasus, maka telaah atau tinjau ulang kebijakan merupakan hal yang memiliki urgensi tinggi untuk dilakukan. Bukan suatu hal yang ditabukan untuk kembali kepada kebijakan PSBB atau karantina apabila data dan fakta memang menunjang untuk menempuh kebijakan tersebut. Sekali lagi, evaluasi menjadi kata kunci.
ADVERTISEMENT
Pemerintah juga dituntut berlaku cermat dalam memaknai fenomena yang sedang berlangsung. Jangan gegabah untuk mengatakan bahwa Indonesia akan memasuki gelombang kedua penularan Covid-19. Merujuk pada analisa beberapa pakar epidemiologi tanah air, alih-alih gelombang kedua, Indonesia belum mencapai puncak penularan hingga saat ini. Gelombang kedua akan terjadi ketika gelombang pertama sudah mencapai puncak penyebaran. Hal ini secara eksplisit berarti bahwa Indonesia masih harus berjibaku sangat keras untuk memitigasi penyebaran virus dan mengatasi temuan kasus-kasus positif yang sudah ada. Secara lugas, pola mitigasi dan penanganan yang dilakukan oleh pemerintah tetap harus berada pada level waspada tinggi seperti ketika kasus positif pertama kali ditemukan. Sikap lengah, apalagi pilihan kebijakan yang salah, akan membuat situasi menjadi jauh lebih buruk.
ADVERTISEMENT
Harus waspada
Dalam merespons kompleksitas yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 ini, serta dilema penerapan AKB yang mana sering terjadi pembenturan antara pendekatan kesehatan (health security approach) dan pendekatan ekonomi (economic approach), pemerintah disarankan untuk mengedepankan prinsip-prinsip kewaspadaan nasional. Artinya, pemerintah dan masyarakat harus berlaku siaga terhadap segala ancaman yang sudah dan akan ditimbulkan oleh Covid-19 tersebut. Sikap waspada bukan berarti ketakutan berlebihan atau pesimis terhadap situasi yang sedang terjadi, melainkan bersikap tidak lengah dan memberlakukan ancaman sebagai suatu hal yang dapat terjadi kapanpun dan dalam kondisi apa pun. Pandemi Covid-19 ini merupakan kejadian yang sangat luar biasa dengan dampak yang jauh lebih buruk dari krisis politik dan moneter 1998 yang pernah dihadapi oleh Indonesia sebelumnya. Pandemi ini juga memiliki postur ancaman tersendiri yang jauh lebih destruktif terhadap sendi-sendi kehidupan bangsa. Oleh sebab itu, kewaspadaan nasional mutlak untuk dijadikan pijakan.
ADVERTISEMENT
Yang menjadi tantangan selanjutnya adalah bagaimana mengoperasionalisasikan prinsip kewaspadaan nasional tersebut, baik sebagai kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah pusat dan daerah maupun sebagai kebiasaan dan laku hidup sehari-hari masyarakat. Pada hemat penulis, ada dua hal yang dapat ditempuh, yakni pemerintah dan masyarakat yang waspada. Pemerintah yang waspada yang dimaksud di sini adalah pemerintah yang selalu sigap dan tanggap dalam melakukan mitigasi dan penanganan melalui kebijakan yang konkret untuk melindungi masyarakat. Kata kuncinya adalah kebijakan. Dalam konteks kebijakan, hal yang pertama dan utama yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan tes secara kontinyu dan sesuai dengan standard internasional untuk memetakan sebaran Covid-19. Tes yang dilakukan harus presisi. Apabila rapid test dianggap kurang presisi, pemerintah jangan sungkan untuk menggalakkan polymerase chain reaction (PCR) yang dirasa jauh lebih akurat.
ADVERTISEMENT
Tes PCR yang dilakukanpun harus sesuai dengan standard WHO, yakni 10.645 orang per satu juta penduduk dan rasio tes per pekan 1.000 orang per satu juta penduduk. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merupakan salah satu pihak yang patut dieparesiasi karena menerapkan tes yang sesuai dengan standar WHO. Diharapkan hal ini dapat ditempuh juga oleh pemerintah daerah lainnya. Tanpa pemetaan secara komprehensif dan menyeluruh, kita semua tidak akan tahu seberapa besar bahaya Covid-19 yang mengintai. Kebijakan krusial lainnya yang harus segera dilakukan adalah penegakan hukum terhadap para pelanggar Covid-19. Tidak dimungkiri bahwa selama pelonggaran PSBB di beberapa wilayah, kinerja aparat penegak hukum mengendur dalam mengawasi dan menindak para pelanggar. Baru ketika angka kasus melonjak tajam, pengawasan dan penindakan kembali digiatkan. Pemerintah juga seharusnya melakukan penegakan hukum melalui mekanisme sanksi yang tegas, tidak lagi memakai pendekatan fakultatif melalui imbauan-imbauan. Sanksi yang dikenakan akan merefleksikan kedaruratan serta memicu kewaspadaan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks masyarakat yang waspada, tanggung jawab dalam memitigasi dan menangani dampak pandemi ada pada elemen-elemen kunci dalam masyarakat beserta pranata-pranata tempat elemen kunci tersebut berada. Hal ini akan terkait erat, baik langsung maupun tidak, dengan kesadaran masyarakat terhadap bahaya Covid-19 dan kepatuhan terhadap kebijakan dan protokol kesehatan yang ditetapkan. Sebagai contoh, tingginya angka kasus positif di klaster permukiman dan perkantoran di wilayah DKI Jakarta misalnya, tidak akan terjadi apabila elemen kunci pada kedua klaster tersebut, yakni Ketua RT/RW dan pimpinan unit kerja, memiliki komitmen dan kepemimpinan yang kuat. Ketua RT/RW harus turun ke lapangan langsung untuk mengecek kepatuhan warganya terhadap protokol kesehatan. Begitu juga pimpinan unit kerja, harus mampu menyeimbangkan objektif organisasi dengan kesehatan para pegawai atau karyawannya. Kepatuhan pada protokol kesehatan menjadi kunci. Melalui pendekatan kewaspadaan nasional yang dipraktikkan oleh segenap komponen bangsa, yakinlah bahwa kita bisa secara bersama-sama mengatasi pandemi ini.
ADVERTISEMENT