Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Memitigasi Bencana Pendidikan
13 Agustus 2020 18:33 WIB
Tulisan dari Jazilul Fawaid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pandemi COVID-19 tidak hanya menghantam sektor perekonomian dan kesehatan saja, tapi juga telah melumpuhkan sektor pendidikan. Sejak diumumkan pertama kali pada awal Maret 2020, diikuti dengan pemberlakukan kebijakan physical distancing dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah, kegiatan belajar mengajar praktis ditempuh melalui skema pendidikan jarak jauh. Pendidikan jarak jauh sendiri merupakan sebuah mode pendidikan yang sangat bertumpu pada penggunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk menjembatani keterbatasan dalam hal jarak (distance). Dalam konteks pandemi COVID-19 saat ini, pendidikan jarak jauh dianggap sebagai solusi untuk melanjutkan proses belajar mengajar dengan meminimalkan sekecil mungkin risiko tertular penyakit.
ADVERTISEMENT
Kerentanan Kelompok Miskin
Meskipun pemilihan mekanisme ini didasari niat baik untuk tetap menjaga keberlangsungan proses belajar mengajar, namun tidak dimungkiri bahwa mekanisme ini bukanlah mekanisme yang sempurna. Penerapannya selama sekian bulan sejak Maret 2020 seakan membuka mata kita bersama bahwa masih banyak lubang-lubang kelemahan dalam proses pendidikan di tanah air. Penerapan kebijakan pendidikan jarak jauh suka tidak suka telah meminggirkan siswa keluarga miskin dari pendidikan karena keterbatasan dalam mengakses teknologi digital dan internet. Mereka yang miskin dan yang bermukim di wilayah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T) yang masih minim akses internet dan terbatas jumlah gurunya merupakan kelompok yang paling terdampak (affected group).
Singkat kata, pandemi COVID-19 telah mendorong siswa keluarga miskin tersebut tidak dapat menikmati pendidikan selama sekian bulan lamanya, apabila dikonversi ke kalender akademik, mereka telah “tercerabut” dari pendidikan selama kurang lebih satu semester lamanya. Situasi ini mengakibatkan mereka kehilangan pembelajaran (potential lost). Mereka yang tidak tersentuh limpahan ilmu dan pengetahuan dalam jangka waktu sekian lama tersebut akan tergerus motivasi dan kapasitas kognitifnya. Semangat untuk mengenyam pendidikan menjadi patah, otakpun menjadi tumpul karena tidak diasah. Hal ini dapat bergerak pada titik yang paling krusial, yakni rusaknya satu generasi anak bangsa. Dalam konteks membangun Indonesia untuk jangka panjang, situasi dan kondisi seperti ini benar-benar sangat mengkhawatirkan.
ADVERTISEMENT
Urgensi Pendidikan Moral dan Keteladanan
Terlepas dari kelompok siswa keluarga miskin yang tidak dapat menikmati pendidikan karena keterbatasan dalam mengakses internet dan teknologi tersebut, mereka yang masih bisa melangsungkan proses belajar mengajar melalui mekanisme daring juga dihadapkan pada persoalan yang tak mudah. Memang secara prosedural, guru sebagai tenaga pendidik tetap dapat mendistribusikan materi pelajaran serta memberikan tugas-tugas sebagai tolok ukur penilaian dalam proses belajar mengajar yang dijalankan. Namun demikian, hal ini menimbulkan ketidakoptimalan apabila mengacu pada objektif utama dari pendidikan, yakni anak didik yang cakap ilmu pengetahuannya, juga baik akhlak dan budi pekertinya. Pendidikan jarak jauh sangat minim interaksi, sehingga penanaman nilai-nilai dan keteladanan yang sifatnya intangible menjadi ternegasikan. Mendidik tidak hanya mendistribusikan ilmu pengetahuan saja, tapi juga membentuk akhlak dan moral yang baik agar kualitas anak didik menjadi paripurna.
ADVERTISEMENT
Kendala Pranata Pendidikan
Persoalan pendidikan juga merupakan persoalan ketahanan pranata pendidikan untuk tetap survive selama pandemi. Ada persinggungan antara turbulensi di sektor ekonomi dengan kapasitas bertahan hidup untuk tetap melanjutkan tanggung jawab dalam menjalankan proses belajar mengajar. Hal ini dialami oleh sekolah-sekolah partikelir level menengah ke bawah yang tidak mendapat kucuran dana dari pemerintah. Sekolah-sekolah swasta tersebut akhirnya terpaksa ditutup oleh pemiliknya karena keterbatasan dalam hal biaya operasional, apalagi mereka tiba-tiba harus menghadapi tuntutan untuk menyediakan akses internet gratis untuk siswanya. Sedangkan di sisi lain, pranata pendidikan yang dana operasionalnya ditopang dengan APBN harus menghadapi kendala dalam hal relaksasi dana BOS untuk subsidi pembelian kuota internet untuk siswa dan guru. Dananya kurang memadai.
ADVERTISEMENT
Saat ini, berbagai pranata pendidikan di dalam negeri terjebak kegamangan dalam bersikap. Pembukaan sekolah di zona-zona hijau dan kuning memang akan memberikan angin segar kepada siswa, khususnya siswa keluarga miskin untuk dapat mengenyam kembali pendidikan. Namun mereka berada pada kerentanan yang tinggi untuk terpapar COVID-19 yang sampai saat ini belum ditemukan penawarnya. Ini menjadi dilema tersendiri bagi pranata-pranata pendidikan tersebut. Belum lagi apabila menimbang kompleksitas lainnya seperti penggunaan transportasi umum untuk menuju dan pulang sekolah. Hal ini akan menambah level fragilitas mereka dalam melaksanakan proses belajar di sekolah. Mereka yang bersekolah di sekolah-sekolah di wilayah pinggiran jauh lebih sulit. Sekolah-sekolah di wilayah tersebut tentunya memiliki keterbatasan dalam melaksanakan protokol kesehatan, khususnya menjamin ketersediaan fasilitas pendidikan yang steril.
ADVERTISEMENT
Rumuskan Solusi Komprehensif
Ada fakta lain yang menarik apabila kita menilik secara saksama. Pandemi seakan menjadi sebuab driven untuk memperbaiki sektor pendidikan secara komprehensif. Sebelum pandemi melanda, keterbatasan-keterbatasan dalam pelaksanaan operasional pendidikan sudah ada, dan keterbatasan ini semakin tajam ketika pandemi datang. Sebagai contoh, 70 persen siswa usia 15 tahun di Indonesia tidak mencapai kecakapan minimum dalam membaca dan berhitung. Penutupan-penutupan sekolah dan ketidakberlanjutan proses belajar mengajar di wilayah 3T akibat berbagai limitasi yang menghimpit berpotensi besar membuat persentase angka tersebut menjadi semakin besar. Bank Dunia malah memprediksi bahwa pandemi akan meningkatkan jumlah siswa yang mengalami kemiskinan belajar (learning poverty).
Kita semua tentu tak hendak Indonesia berada di tubir jurang bencana pendidikan. Penulis tegaskan, jangan sampai kondisi itu terjadi. Oleh sebab itu, langkah-langkah konkret dari pemerintah untuk merumuskan sebuah kebijakan menjadi hal yang mutlak dibutuhkan. Butuh afirmasi aktif dari pemerintah agar kelompok siswa keluarga miskin dan bermukim di wilayah yang minim akses teknologinya tetap dapat melanjutkan pendidikan. Dalam perumusan kebijakan, pemerintah seyogianya membuat peta pembelajaran jarak jauh terlebih dahulu, mana saja wilayah-wilayah yang memiliki limitasi dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar, baik dalam hal dukungan operasional pendidikan, kapasitas menjalankan protokol kesehatan, hingga aksesibilitas terhadap teknologi informasi.
ADVERTISEMENT
Inilah yang harus dijadikan objektif utama kebijakan. Sinergi dan koordinasi antarsektor juga menjadi sebuah keniscayaan. Terakhir, peran serta masyarakat sipil peduli harus menjadi komponen pendukung yang solid. Munculnya Gerakan Bangkit Belajar (GBB) dengan mendirikan posko belajar di 2.156 titik yang dilengkapi dengan fasilitas wifi, telepon pintar, serta relawan pendamping yang tersebar di 34 provinsi untuk mengatasi kendala pendidikan jarak jauh, merupakan alternatif solusi yang harus diapresiasi. Munculnya gerakan ini diharapkan menjadi pioneer dan pemicu munculnya gerakan-gerakan lainnya untuk kembali menggeliatkan pendidikan di era pandemi saat ini. Sekali lagi, persoalan pendidikan hari ini suka tidak suka harus direspons dengan saksama dan segera. Keterlambatan dalam merespons kendala yang ada, akan berakibat fatal bagi munculnya bencana pendidikan. Penulis berharap ini tidak akan pernah terjadi.
ADVERTISEMENT
Live Update