Konten dari Pengguna

Pembelajaran dari Negeri Paman Sam

Jazilul Fawaid
Wakil Ketua MPR RI (Periode 2019-2024)
5 Juni 2020 18:21 WIB
clock
Diperbarui 17 Juni 2020 18:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jazilul Fawaid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pembelajaran dari Negeri Paman Sam
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Amerika Serikat (AS) sedang bergejolak. Setidaknya itulah kalimat yang paling pas untuk mendeskripsikan situasi terkini negeri Paman Sam tersebut. Selama enam hari terakhir, terjadi protes besar-besaran di sejumlah kota besar di AS seperti di Denver, Colorado, dan Phoenix. Di Minneapolis, tidak hanya protes besar saja yang terjadi, warga kota juga terlibat aksi penjarahan, perusakan, serta pembakaran kantor polisi. Kerusuhan yang semakin tereskalasi dan meluas di seantero AS ini membuat Presiden Donald Trump berencana untuk mengerahkan pasukan militer apabila pemerintah kota dan negara bagian gagal memadamkan kerusuhan dan kekacauan sosial tersebut.
ADVERTISEMENT
Gejolak di AS dalam seminggu terakhir ini dipicu oleh kasus tewasnya seorang warga kulit hitam bernama George Floyd. Aksi koboi seorang oknum polisi bernama Derek Chauvin yang menekan leher Floyd dengan lutut dalam kondisi tak berdaya menyebabkan Floyd dinyatakan meninggal dunia ketika sampai di rumah sakit Hennepin County Medical Center. Hasil autopsi resmi yang dilakukan pemerintah menyebutkan bahwa Floyd tewas karena pembunuhan. Meskipun pemerintah AS telah mengambil langkah hukum cepat dengan memecat Chauvin dan ketiga rekannya dari dinas kepolisian, tak ayal kemarahan publik AS, khususnya warga kulit hitam, pecah menjadi kerusuhan sosial terbesar dalam beberapa dekade terakhir.
Kerusuhan sosial ini tidak hanya membawa dampak buruk bagi stabilitas politik dan keamanan domestik AS saja, tapi juga telah berkembang menjadi sentimen dunia internasional sebagai wujud simpati terhadap warga minoritas kulit hitam AS yang kerap mengalami diskriminasi rasial. Setidaknya protes juga terjadi di 14 kota besar dunia seperti London, Paris, Berlin, Copenhagen, Milan, Dublin, Krakow, Perth, Sydney, Auckland, Christchurch, Vancouver, Toronto, hingga Rio de Janeiro. Situasi tersebut tentu saja kurang menguntungkan bagi AS yang selama ini dikenal sebagai poros demokrasi dan penegakan HAM dunia. Terlebih lagi bagi Trump yang akan terjun kembali ke gelanggang Pilpres lima bulan mendatang.
ADVERTISEMENT
Akar masalah
Apa yang sebenarnya terjadi di AS? Inilah yang menjadi pertanyaan dari banyak pihak termasuk kami yang hendak mengambil pembelajaran (lesson learned) dari kasus AS saat ini. Untuk menyimpulkan apa yang terjadi di AS saat ini, pada hemat kami, perlu dilakukan pencermatan terhadap situasi sosial politik AS dalam beberapa bulan terakhir. Sebagai negara yang acapkali disebut sebagai kekuatan adidaya (major state) dengan sistem pertahanan terbaik, skala ekonomi dan perdagangan terbesar, sistem pemilu yang terkenal demokratis dan menjadi standar seluruh dunia, serta sistem pelayanan kesehatan yang prima, AS ternyata tak luput dari guncangan pandemi COVID-19 seperti halnya negara-negara lain di dunia.
Per tanggal 3 Juni, AS menjadi negara dengan total kasus COVID-19 terbanyak di dunia dengan 1,87 juta kasus dan total kematian mencapai lebih dari 108.000 orang. Situasi buruk ini tentu saja mengundang keheranan banyak pihak mengingat selama ini AS dikenal memiliki sistem intelijen dan cegah-tangkal penyakit yang mumpuni, sistem kesehatan yang prima, serta tenaga medis yang sangat teruji keterampilannya. Jika kita cermati lebih dalam terhadap sirkumstansi domestik AS dengan menelusuri berbagai pemberitaan tentang AS selama beberapa bulan terakhir, terlihat jelas kekecewaan publik AS terhadap manajemen bencana yang dilakukan oleh pemerintahan AS di bawah Donald Trump, khususnya mekanisme pencegahan penyebarluasan wabah.
ADVERTISEMENT
Publik AS menilai bahwa Presiden Trump dan jajarannya lengah dalam merespons COVID-19 sejak awal dengan menganggap COVID-19 sebagai sesuatu yang tidak perlu ditakutkan, padahal kasus mulai muncul satu per satu di berbagai wilayah AS. Paradigma yang dipakai Trump dan jajarannya juga dianggap terlalu menyederhanakan persoalan dengan memandang COVID-19 sebagai ancaman dari luar yang hanya cukup ditanggulangi dengan menutup perbatasan negara saja. Selain itu, Trump dan jajarannya dinilai publik bertanggungjawab atas pelemahan sistem kesehatan masyarakat dengan membubarkan unit penanganan pandemi dari Dewan Keamanan Nasional AS pada 2018, serta melakukan pemangkasan anggaran tim Center for Disease Control and Prevention (CDC) di 39 negara, termasuk Tiongkok yang menjadi sumber penyebaran wabah.
Permasalahan lainnya yang menyebabkan penyebaran COVID-19 makin masif di AS adalah proses pemeriksaan penyakit yang terlalu dipusatkan di CDC, sementara laboratorium independen tidak diperkenankan untuk melakukan tes sendiri. Laboratorium independen yang hendak melakukan tes COVID-19 secara mandiri harus menempuh proses birokrasi yang rumit. Laboratorium independen harus mendapatkan izin dari Badan Administrasi Makanan dan Obat-Obatan (FDA) dan Badan Pelayanan Medis (CMS) terlebih dahulu yang bisa memakan waktu berbulan-bulan. Selain itu, pemeriksaan COVID-19 terlalu dititikberatkan pada warga AS yang memiliki riwayat perjalanan dari Tiongkok saja, sedangkan mereka yang memiliki riwayat dari negara lain yang juga terpapar seperti Italia, Iran, dan Korea Selatan cenderung diabaikan.
ADVERTISEMENT
Faktor-faktor tersebutlah yang menimbulkan ledakan penyebaran COVID-19 di negeri Paman Sam ini. Pada taraf lebih lanjut, penyebaran wabah yang makin meluas dan tak terkendali berdampak langsung terhadap pelemahan ekonomi AS. Menurut data yang dilansir Departemen Tenaga Kerja AS, tingkat pengangguran melonjak tajam 14,7 persen pada April lalu. Angka tersebut memecahkan rekor sebelumnya, yakni 10,8 persen yang terjadi pada 1982 pasca perang dunia. Sekitar 20,5 juta pekerjaan hilang selama penyebaran COVID-19. Hal ini merupakan kemunduran terburuk sejak terjadinya Great Depression 1933. Selama Triwulan I 2020, Produk Domestik Bruto (PDB) AS terkontraksi 4,8 persen, penurunan terbesar dalam 12 tahun terakhir atau sejak krisis finansial global.
Pemetaan dampak ekonomi COVID-19 tersebut di AS setidaknya menuntun pemahaman kita mengapa tragedi George Floyd menimbulkan atensi yang luar biasa dan menjadi sumbu kerusuhan sosial skala nasional. Kesulitan hidup karena kehilangan pekerjaan dan pendapatan, tekanan psikologis karena meningkatnya jumlah saudara sebangsa yang tewas, membuat masyarakat AS menjadikan kasus terbunuhnya Floyd sebagai alasan kemarahan kepada pemerintah. Demonstrasi warga AS tidak hanya didominasi oleh warga kulit hitam saja, tapi juga warga kulit putih. Inilah yang mengindikasikan bahwa aksi mereka pada dasarnya mengandung banyak muatan kekecewaan. Di sisi lain, bagi warga kulit hitam sendiri, perlakuan kurang manusiawi terhadap George Floyd menunjukkan bahwa masih terdapat residu ketidakadilan dan diskriminasi yang belum hilang dari tatanan sosial kehidupan warga AS.
ADVERTISEMENT
Pembelajaran penting
Apa yang terjadi di AS hari ini merupakan studi kasus yang sangat menarik untuk dipelajari. Bagi Indonesia sendiri, ada aspek-aspek penting yang dapat dijadikan pembelajaran. Pertama, terkait dengan penanganan pademi COVID-19. Belajar dari kasus AS, kegagapan hingga kesalahan penanganan pandemi dapat berimbas pada muncul dan menguatnya sentimen negatif publik kepada pemerintah. Tidak dimungkiri bahwa situasi sulit secara ekonomi tidak hanya dirasakan oleh negara, tapi juga sangat terasa di lapisan masyarakat bawah. Pembagian bansos memang sangat membantu, namun hal itu bukanlah solusi jangka panjang. Rencana penerapan kebijakan normal baru untuk stabilisasi perekonomian juga harus direncanakan secara cermat sebelum diterapkan. Kesalahan pilihan kebijakan dapat berpotensi membawa Indonesia ke dalam chaos besar seperti yang terjadi di AS.
ADVERTISEMENT
Kedua, Indonesia memiliki postur sosial budaya yang kurang lebih sama dengan AS, yakni heterogenitas masyarakat dan eksistensi kaum minoritas. Jika di AS yang menjadi minoritas didominasi oleh kelompok masyarakat yang berbasis perbedaan rasial atau warna kulit (diskriminasi sering terjadi terhadap warga Afro-Amerika berkulit hitam), maka di Indonesia situasinya lebih kompleks. Terminologi minoritas di Indonesia kental diasosiasikan dengan aspek agama, suku bangsa, golongan, termasuk juga rasial. Artinya, derajat kerentanan atau fragilitas di Indonesia jauh lebih tinggi ketimbang yang ada di AS. Apa yang terjadi di AS seyogianya menjadi pembelajaran bagi pemerintah dan juga segenap komponen masyarakat untuk berlaku adil terhadap sesama dengan senantiasa mengedepankan spirit persatuan dan kesatuan bangsa, serta berpijak pada sikap toleransi dan menghargai keberagaman.
ADVERTISEMENT
Ketiga, pilihan respons pemerintah dalam menangani situasi krisis. Kerusuhan sosial dengan penjarahan dan perusakan fasilitas publik di AS memang cenderung tidak terkendali. Pemerintah pusat juga cenderung berada pada posisi menyalahkan pemerintah kota dan negara bagian. Yang paling mengkhawatirkan adalah rencana penggunaan kekuatan militer untuk meredam unjuk rasa. Pilihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah AS ini bisa dikatakan bersifat reaktif-reaksioner dan kurang terukur. Di satu sisi efektivitasnya belum terjamin, sedangkan di sisi lain resistensi masyarakat dapat semakin menguat. Yang berbahaya adalah munculnya distrust atau ketidakpercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan nasional AS di bawah Trump dan jajarannya.
Dalam konteks Indonesia sendiri, ada banyak kemiripan yang terjadi. Tidak semua kebijakan pemerintah mendapat dukungan atau penerimaan dari masyarakat. Bahkan terkadang mengundang resistensi yang diwujudkan dalam pilihan tindakan yang kurang sesuai. Namun demikian, pemerintah seyogianya tidak terjebak pada perilaku represif. Upaya penanganan dengan mengedepankan prinsip penegakan hukum dengan bersandar pada hukum positif yang berlaku merupakan sebuah langkah yang paling tepat dan bijak untuk dilakukan. Artikulasi dan agregasi kepentingan dari warga negara harus dihormati dan dijunjung tinggi sebagai bentuk komunikasi dialogis antara pemerintah dengan rakyatnya. Inilah yang sebenarnya yang dapat mengindarkan kerusuhan sosial yang jelas-jelas berdampak negatif terhadap stabilitas kehidupan bangsa di segala lini. Sekali lagi kita perlu menarik pembelajaran positif dari kasus AS saat ini.
ADVERTISEMENT