Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Revitalisasi Penerapan Ekonomi Pancasila
27 Juli 2020 16:27 WIB
Tulisan dari Jazilul Fawaid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pandemi COVID-19 telah meluluhlantakkan perekonomian dunia, tidak terkecuali Indonesia sebagai negara terdampak. Pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal kedua (Q2) 2020 diprediksi berada di bawah nol persen, yakni dalam rentang -4 hingga -6 persen sebagai imbas pandemi. Dalam konteks koneksi dengan perekonomian global, ketergantungan Indonesia dalam memenuhi beberapa kebutuhan pokok melalui skema impor cukup mempengaruhi ketahanan pangan nasional sebagai akibat restriksi ekspor komoditas dari negara-negara kunci dalam rantai pasok komoditas pangan dunia semisal Thailand dan Vietnam sebagai eksportir beras di Asia Tenggara. Di tengah situasi sulit tersebut, muncul optimisme untuk merevitalisasi kembali ekonomi Pancasila sebagai solusi dalam mengatasi berbagai masalah perekonomian pelik yang dihadapi saat ini.
ADVERTISEMENT
Bersumber pada Pancasila
Sistem ekonomi Pancasila merupakan sebuah perspektif ekonomi yang bertumpu pada nilai-nilai dasar Pancasila. Pancasila sendiri merupakan ideologi dan dasar negara yang dijadikan sebagai haluan dan pedoman dalam menjalankan seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem ekonomi ini juga lazim disebut sebagai sistem demokrasi ekonomi karena tidak hanya menempatkan warga negara sebagai objek, tapi juga sebagai subjek aktif yang berkontribusi dalam menjalankan roda perekonomian nasional. Sistem ekonomi Pancasila merupakan cara pandang yang sangat khas dari bangsa Indonesia karena digali dari cara hidup dan kebiasaan bangsa Indonesia yang sangat menjunjung tinggi prinsip gotong royong (gemeinschaft) dan senantiasa berorientasi pada kesejahteraan bersama (social welfare).
Sistem ekonomi Pancasila berbeda dari sistem ekonomi liberal-kapitalis yang dianut oleh Amerika Serikat dan negara-negara Benua Eropa yang sangat menekankan pada kompetisi dan kepemilikan individu sehingga menimbulkan kesenjangan yang lebar antara yang kaya dan yang miskin. Sistem ekonomi Pancasila juga tidak sama dengan sistem ekonomi sosialis dan komunis yang banyak dianut oleh negara-negara Amerika Latin dan Tiongkok yang menjadikan negara sebagai aktor dominan dalam kehidupan perekonomian (etatisme) sehingga mengekang kebebasan individu. Sistem ekonomi Pancasila menjelma sebagai sistem tersendiri yang berada di luar kedua sistem ekonomi global tersebut, menjadikan Indonesia memiliki unique selling point tersendiri sebagai sebuah negara.
ADVERTISEMENT
Dasar hukum bagi sistem ekonomi Pancasila adalah Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 yang merupakan perwujudan dari sila kelima Pancasila, yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Secara keseluruhan, sistem ekonomi Pancasila mengandung nilai-nilai inti Pancasila yakni nilai religiusitas, nilai humanisme, nilai nasionalisme, nilai demokrasi, serta nilai dan prinsip keadilan. Jika hendak dikomparasikan dengan sistem kapitalis dan sosialis, sistem ekonomi Pancasila jauh lebih komprehensif dan mengeliminir sisi negatif dari kedua sistem perekonomian global tersebut. Nilai demokrasi dalam sistem ekonomi Pancasila, sangat menjunjung tinggi kebebasan individu, namun dibatasi oleh hak dan kewajiban terhadap sesama dan negara. Nilai keadilan dalam sistem ekonomi Pancasila, memberikan kedudukan penting bagi negara sebagai regulator perekonomian, namun bukan secara terpusat, melainkan regulator yang fokus dalam menciptakan keadilan dan pemerataan ekonomi bagi segenap warga negara.
ADVERTISEMENT
Inkonsistensi penerapan
Meskipun secara filosofis merupakan perspektif yang paling mereflesikan jati diri bangsa Indonesia dalam menjalankan perekonomian, sistem ekonomi Pancasila belum diterapkan secara konsisten. Tak heran apabila saat ini masih dijumpai cara-cara mengelola perekonomian yang masih menerapkan sistem monopoli, kartelisasi, kolusi antara penguasa dan pemodal, serta maraknya impor yang merusak kemandirian nasional. Pandemi COVID-19 yang menerjang Indonesia sejak Maret lalu semakin menegaskan bahwa selama ini sistem ekonomi Pancasila belum diterapkan secara khidmat. Ketika negara-negara yang menguasai rantai pasok pangan dunia seperti Rusia, Kazahkstan, Thailand, dan Vietnam menerapkan kebijakan pembatasan ekspor produk pangan guna memenuhi kebutuhan domestik mereka terlebih dahulu, Indonesia yang belum bisa memenuhi kebutuhan pangan sepenuhnya dari sumber daya domestik menjadi terguncang ketahanan pangannya, bahkan terancam tidak terpenuhi kebutuhan dalam negerinya.
ADVERTISEMENT
Ada banyak realitas lainnya yang menggambarkan betapa sistem ekonomi Pancasila belum menjadi panduan dalam mengelola perekonomian. Penduduk Indonesia yang bermukim di wilayah-wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang notabene sarat akan muatan sumber daya alam maritim, alih-alih menjadi penduduk yang makmur dan sejahtera, justru menjadi sentra-sentra kemiskinan. Realitas ini bagaikan anak ayam yang mati di lumbung padi. Kekayaan maritim yang begitu besar di wilayah mereka belum bisa dioptimalkan eksplorasi dan pemanfaatannya karena limitasi-limitasi yang mereka hadapi. Mereka masih terbatas dalam hal jumlah perahu yang mereka miliki, alat tangkap yang masih sederhana, ketersediaan bahan bakar minyak, hingga belum memadainya storage untuk menyimpan hasil tangkapan mereka. Sebagai konsekuensinya, kekayaan alam maritim di wilayah mereka tidak berkorelasi positif terhadap kesejahteraan. Tak jarang sebagian besar di antara mereka masih hidup di bawah garis kemiskinan.
ADVERTISEMENT
Realitas lainnya dapat dilihat pada masih gemuknya jumlah pekerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri. Para pekerja migran ini didominasi oleh kalangan putus sekolah (SD/SMP) dan perempuan. Mereka bekerja di sektor domestik dan industri sebagai asisten rumah tangga, buruh bangunan dan perkebunan. Secara ideal, pemerintah seyogianya menerapkan kebijakan pereduksian jumlah pekerja migran melalui optimalisasi pembangunan ekonomi daerah yang mampu menyerap tenaga kerja sebanyak-banyaknya. Kebijakan otonomi daerah yang sudah dirilis sejak 16 tahun yang silam merupakan fondasi hukum yang kuat untuk pelaksanaannya. Hanya saja pola pembangunan daerah yang lebih mementingkan padat modal (capital extensive) ketimbang padat karya (labor extensive) menyebabkan penyerapan tenaga kerja sebanyak-banyaknya menjadi tersumbat. Dampaknya, tenaga kerja usia produktif di suatu daerah harus bermigrasi ke luar negeri guna memenuhi kebutuhan hidup. Bukan pembangunan daerah yang digerakkan, tapi pembangunan di negara lain.
ADVERTISEMENT
Globalisasi telah mengoneksikan satu negara dengan negara lainnya tanpa limitasi dalam hal jarak dan waktu. Globalisasi yang dicirikan dengan liberalisasi perdagangan telah menjadikan arus masuk dan keluar suatu produk dan jasa begitu mudah terjadi dari satu kawasan ke kawasan lainnya. Fenomena inilah yang menjadi peluang sekaligus ancaman bagi perekonomian Indonesia. Secara faktual, fenomena yang terjadi sebagian besar didominasi oleh ancaman. Produk-produk asing dengan mudah membanjiri pasar domestik sehingga perlahan tapi pasti menggerus pangsa pasar pedagang lokal dan nasional. Sementara itu, sumber daya alam Indonesia dalam bentuk raw material mengalami arus gerak keluar, padahal nilai jualnya akan lebih optimal (added value) apabila dikelola dan dimanfaatkan lebih lanjut di dalam negeri. Terlebih lagi kebijakan impor beras dan garam masih getol dilakukan padahal Indonesia berlabel sebagai negara agraris dan maritim. Realitas ini semakin memburuk ketika pandemi COVID-19 hadir menerjang: lemahnya daya saing nasional, ekspor mengalami perlambatan, imporpun mengalami restriksi atau pembatasan.
ADVERTISEMENT
Jalan keluar
Tidak ada kata lain sebagai solusinya, selain dengan melakukan revitalisasi penerapan sistem ekonomi Pancasila. Segala kebijakan perekonomian yang ditempuh oleh pemerintah sudah semestinya berkiblat pada prinsip keadilan seperti yang digariskan dalam Pancasila dan bersifat konstitusional merujuk pada Pasal 33 UUD NRI 1945. Upaya merevitalisasi sistem ekonomi Pancasila tentu bukanlah suatu hal yang mudah. Dibutuhkan dua prakondisi utama, yakni pemahaman yang baik mengenai ekonomi Pancasila secara konsepsional dan operasional, serta pengambil kebijakan yang berkarakter Pancasilais dan patuh terhadap konstitusi. Kondisi yang pertama merupakan mekanisme simultan dan berjangka panjang. Untuk mewujudkannya dibutuhkan diseminasi nilai-nilai Pancasila secara kontinyu sejak dini pada semua jenjang pendidikan. Menghidupkan kembali mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berakhir pada 2003 dapat dijadikan sebagai opsi kebijakan, selain tentu saja sosialisasi nilai-nilai kebangsaan (empat pilar) oleh lembaga-lembaga terkait seperti MPR RI.
ADVERTISEMENT
Kondisi kedua lebih terkait kepada aspek kepemimpinan (leadership). Kepemimpinan di sini bukan saja pemimpin di level pusat seperti presiden dan jajarannya, melainkan juga para pemimpin di daerah yang sudah diberi kewenangan besar melalui otonomi daerah untuk menjalankan kegiatan perekonomian yang mampu memberdayakan wilayah dan masyarakatnya. Menjadi pemimpin adalah menjadi harapan (hope) bagi masyarakat. Situasi pandemi yang meluluhlantakkan perekonomian baik secara makro maupun mikro selaiknya tidak mengendurkan para pemimpin untuk merumuskan jalan keluar dan alternatif kebijakan ekonomi dengan bersandar pada Pancasila dan konstitusi sebagai pijakannya. Kita semua hanya perlu kembali dan merevitalisasi penerapan sistem ekonomi Pancasila sebagai cara hidup. Yakinlah, Pancasila dan sistem ekonominya memiliki resiliensi yang tangguh dalam menghadapi situasi krisis apabila dijalankan secara murni dan konsekuen.
ADVERTISEMENT
Live Update