Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Perang Dagang Dimulai: Bagaimana Nasib Indonesia di Masa Depan?
9 April 2025 10:13 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Je Ivan (Mahasiswa Universitas Ciputra) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pasar global tengah dikejutkan oleh dikeluarkannya kebijakan tarif bea masuk oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Tarif ini diberlakukan secara luas, bahkan terhadap negara-negara sekutu dekat Amerika. Sebagai contoh, Uni Eropa dikenakan tarif sebesar 20%, sementara Indonesia mendapatkan tarif bea masuk hingga 32%. Langkah ini diambil dengan keadaan darurat ekonomi di Amerika Serikat, dengan harapan kebijakan tersebut dapat mendatangkan tambahan pemasukan hingga ratusan miliar dolar bagi negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran besar akan munculnya gelombang baru perang dagang global, mengganggu stabilitas pertumbuhan ekonomi yang baru saja pulih pasca Covid-19. Kepala Ekonom di Nomura Research Institute, Takahide Kiuchi, menegaskan bahwa kebijakan tarif Trump berisiko menghancurkan tatanan perdagangan bebas global yang telah dipelopori Amerika Serikat sendiri sejak akhir Perang Dunia Kedua (Yahoo Finance, 2025).

Indonesia menjadi salah satu negara yang terkena dampak signifikan dari kebijakan ini. Tarif sebesar 32% dikenakan terhadap berbagai komoditas unggulan Indonesia seperti tekstil, karet, furnitur, kerajinan, hasil perikanan laut, dan minyak kelapa sawit. Pada tahun 2024, Indonesia mencatat surplus perdagangan sebesar USD 16,8 miliar dengan Amerika Serikat, menjadikannya pasar ekspor terbesar ketiga bagi Indonesia (Reuters, 2025). Hal ini menjadi dasar utama kebijakan tarif yang dikenakan ke Indonesia cukup tinggi, karena Amerika Serikat menilai neraca perdagangan dengan Indonesia terlalu timpang.
ADVERTISEMENT
Secara lebih rinci, pada kuartal pertama 2024, ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia mencapai USD 2,95 miliar dengan indeks ekspansi 57,40% menurut Prompt Manufacturing Index dari Bank Indonesia (ARC Group, 2024). Namun, dengan adanya tarif baru, harga jual produk Indonesia di pasar Amerika diperkirakan akan naik secara signifikan, sehingga memicu persaingan yang lebih ketat dengan produk dalam negeri maupun dengan produk dari negara lain.
Hal ini diperparah oleh kondisi industri dalam negeri yang masih sangat bergantung pada bahan baku impor dan belum sepenuhnya mampu melakukan substitusi impor secara efisien. Menurut laporan World Bank (2023), negara berkembang seperti Indonesia memang masih memiliki struktur industri yang lemah, menjadikannya sangat rentan terhadap gangguan dalam rantai pasok global akibat ketegangan perdagangan.
ADVERTISEMENT
Merespons kondisi ini, Pemerintah Indonesia menyatakan tidak akan mengambil langkah balasan berupa tarif terhadap produk-produk asal Amerika Serikat. Sebaliknya, Pemerintah Indonesia memilih jalur diplomasi dan negosiasi. Delegasi tingkat tinggi akan dikirim ke Washington untuk membahas isu ini secara langsung, dengan harapan mengurangi beban tarif dan menyelamatkan sektor ekspor Indonesia dari tekanan lebih lanjut (Reuters, 2025).
Langkah ini diharapkan, Indonesia dapat melindungi perekonomian Indonesia terutama para pelaku ekspor. Kementerian Perdagangan juga telah membentuk Satuan Tugas Perdagangan Internasional untuk memantau dan mengevaluasi dampak tarif serta menyiapkan skenario kebijakan lanjutan. Dalam keterangan persnya, Menteri Perdagangan menegaskan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan pelaku usaha dalam mengatasi tantangan perdagangan global (Kemendag, 2025).
Meski demikian, tekanan ini sekaligus membuka peluang baru bagi Indonesia. Tantangan perang dagang bisa dijadikan momentum untuk mempercepat upaya diversifikasi pasar ekspor, memperluas perdagangan ke kawasan non-tradisional seperti Eropa, Timur Tengah, dan Asia Selatan. Upaya hilirisasi industri dan inovasi terhadap produk mentah juga menjadi sangat penting untuk meningkatkan nilai tambah produk ekspor nasional.
ADVERTISEMENT
Sejumlah studi juga mendukung strategi ini. Handayani et al. (2020) dalam Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia menemukan bahwa perang dagang AS–China telah menurunkan daya saing ekspor Indonesia, terutama di sektor manufaktur. Simorangkir dan Adamanti (2021) menekankan pentingnya hilirisasi industri untuk memperkuat struktur ekonomi domestik. Selain itu, Setiawan (2019) menunjukkan bahwa diversifikasi pasar secara signifikan meningkatkan ketahanan ekspor nasional terhadap guncangan eksternal.
Sebagai tindak lanjut, Pemerintah juga dapat mempercepat implementasi perjanjian perdagangan bebas (FTA) yang telah dinegosiasikan sebelumnya, seperti Indonesia-European Union CEPA dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Kedua kerangka kerja ini dapat membuka akses pasar baru dan memberikan insentif fiskal bagi eksportir Indonesia yang terdampak tarif AS.
Kesimpulannya, kebijakan tarif dari Presiden Trump memang menciptakan tantangan besar bagi Indonesia. Namun, dengan strategi yang tepat seperti diplomasi aktif, diversifikasi pasar, serta hilirisasi dan penguatan industri dalam negeri, Indonesia dapat mengubah krisis ini menjadi peluang untuk memperkuat fondasi ekonominya di masa depan.
ADVERTISEMENT