Semprotulations: Pop Culture dan Filsafat Perayaan di Kalangan Mahasiswa Akhir

Jefri Yunedi
Mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Negeri Padang.
Konten dari Pengguna
26 April 2023 5:17 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jefri Yunedi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi. sumber : ilustrasi pribadi penulis.
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi. sumber : ilustrasi pribadi penulis.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mahasiswa secara defenisi adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar pada suatu perguruan tinggi (Paryati Sudarman, 2004:32). Sedangkan menurut Takwin (2008) Mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi, baik universitas, Institut atau akademi.
ADVERTISEMENT
Mereka yang terdaftar dapat disebut sebagai mahasiswa. Jika kita tafsirkan dari narasi definisi yang diutarakan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa mahasiwa merupakan individu yang sedang menempuh dan terdaftar secara administratif di dalam instansi perguruan tinggi.
Dalam sebuah proses sudah barang tentu memiliki suatu tujuan, dan dalam hal ini jika kita jadikan mahasiswa menjadi subjeknya dapat kita generalisasikan bahwa mahasiswa bertujuan untuk menimba ilmu dan menyelesaikan masa baktinya dengan syarat membawa ijazah sebagai tanda kelulusan, proses akhir ini disebut sebagai wisuda.
Wisuda di kalangan akademik berarti sebuah upacara pengukuhan dan sebagai penanda bahwa seorang mahasiswa tersebut sudah menyelesaikan masa pendidikannya di sebuah instansi yang bersangkutan.
Ilustrasi hadiah wisuda. Foto: Aznan/Shutterstock
Wisuda dalam hal ini bisa dikatakan sebagai goals dari para mahasiswa sebagai tanda akhir masa baktinya dan tanda bahwa dia sudah menyelesaikankan semua syarat lulus dan siap untuk terjun dan memilih jalannya.
ADVERTISEMENT
Di dalam prosesi untuk mencapai perayaan wisuda mahasiswa tentunya sangatlah tidak mudah, ada banyak hal yang harus dilakukan dari mulai harus memenuhi syarat SKS yang ditentukan, menyelesaikan prasyarat untuk tugas akhir, ujian yang luar biasa rumitnya, dan puncaknya yaitu skripsi.
Dalam prosesi skripsi, tentunya terdapat ujian yang wajib ditempuh oleh seorang mahasiswanya, jenis yang dimaksud di antaranya adalah ujian Seminar Proposal, ujian Seminar Hasil, dan ujian Komprehensif. Jenis ujian itu dilakukan secara bertahap dan tertib sesuai dengan sistematika dan juga urutan dari bagian yang dibahas perbab ataupun secara keseluruhan di sebuah skripsi.
Dewasa ini ada satu hal yang membuat penulis bertanya-tanya dan menciptakan kebingungan, yaitu perihal semprotulation(sebuah istilah dalam perayaan seminar proposal). Penulis ingin membagikan sebuah analisinya mengenai kasus ini dan dalam hal ini penulis akan merangkumnya dalam sebuah opini.
ADVERTISEMENT

Mengapa Disebut Pop culture ?

Pop culture dianggap sebuah budaya yang mainstream atau budaya mayoritas. Foto : Pixabay.
Pop culture (budaya pop) diartikan sebagai suatu totalitas ide, perspektif, perilaku, meme, citra, dan fenomena lainnya yang dipilih oleh konsensus informal di dalam arus utama sebuah budaya. Secara sederhana pop culture diartikan budaya yang cenderung dikenal dan digemari oleh kebanyakan masyarakat pada umumnya yang relevan dengan kebutuhan masyarakat pada masa kini.
Dapat kita ambil kesimpulan bahwa hal ini berupa konsep budaya yang trendi dan kekinian yang kemudian diikuti oleh banyak orang dan secara informalnya membudaya.
Jika kita hubungkan dengan kasus kita yaitu semprotulation, penulis memberikan sedikit alur dari terciptanya semprotulation sebagai alasan mengapa kedua hal ini berhubungan.
Pertama, penulis tidak dapat menemukan data konkret bahwa siapa, di mana, dan kapan budaya semprotulation ini dilakukan pertama kali. Menurut pengamatan dan analisis saya pribadi budaya semprotulation ini memang sudah dilakukan beberapa tahun yang lalu, namun dalam puncak perkembangannya dapat kita lihat pada masa kuliah pasca covid-19 yaitu sekitar pada tahun 2021 sampai sekarang.
Ilustrasi wisuda. Foto: Shutter Stock
Saya berasumsi bahwa prosesi ini mungkin saja sudah dilakukan pra-covid namun dalam hal ini publikasi dan cara pengucapannya mungkin saja masih belum menggunakan kata semprotulation seperti sekarang. Kedua, tren semprotulation muncul saat penggunaan sosial media semakin masif dan penggunanya dituntut untuk lebih kreatif agar postingannya ter-notice oleh publik, sehingga muncul lah istilah semprotulation.
ADVERTISEMENT
Ketiga, alasan untuk merayakan seminar proposal sangatlah sedikit karena para mahasiswa baru menyelesaikan tahap 1 dalam penyusunan skripsi, dan penulis di sini beranggapan bahwa jika perayaan semprotulation ini hanya berdasarkan trend dan desakan untuk ikut dalam sebuah pop culture dan sistem sosial yang dikonsensus atau disepakati oleh mayoritas mahasiswa. Keempat, karena sudah menjadi pop culture maka mau tidak mau seorang mahasiswa harus ikut sebagai upaya agar ia tidak masuk ke dalam golongan mahasiswa konservatif yang “ketinggalan zaman”.
Dari alur yang dijelaskan di atas penulis menyimpulkan bahwa semprotulation ini masuk ke dalam golongan pop culture-nya mahasiswa sekarang , sebuah budaya pop yang diikuti dan digemari oleh banyak mahasiswa dan dalam hal ini hampir menjadi prasyarat kekinian dari seorang mahasiswa.
ADVERTISEMENT

Semprotulation dan Filsafat Perayaan

Ilustrasi. Foto : Pixabay.
Perayaan oleh mahasiswa secara logika harusnya hanya akan dilakukan ketika sudah wisuda atau baru dinyatakan lulus kuliah lewat sidang skripsi.
Namun bagi mahasiswa generasi Z, keberhasilan mempertahankan proposal penelitian adalah suatu pencapaian tersendiri, walau sebenarnya masih sangat banyak hal yang perlu dia lakukan dan sebuah realita bahwasanya seminar ini hanya tanda bahwa kita sudah menyelesaikan tahap satu dari penyusunan sebuah skripsi.
Perayaan Semprotulation di kalangan mahasiswa generasi Z dapat kita lihat dari perspektif demikian. Josef Pieper (1904-1997), seorang filosof abad ke-20, dalam bukunya In Tune with the World: A Theory of Festivity (1965), menegaskan bahwa orang merayakan sesuatu karena realitas yang ia alami secara eksistensial adalah baik.
ADVERTISEMENT
Pieper menulis: “For man cannot have the experience of receiving what is loved, unless the world and existence as a whole represent something good and therefore beloved to him”, seseorang tidak bisa memiliki pengalaman menerima apa yang cintai, kecuali dunia dan eksistensi sebagai suatu keseluruhan menghadirkan sesuatu yang baik dan karena itu menjadi kecintaannya (h. 20).
Pemberian hadiah seminar proposal. Foto : Dokumentasi Pribadi Penulis.
Sampai di sini kita bisa memahami bahwa menyelesaikan seminar proposal skripsi berarti melewati satu tahapan untuk menjadi sarjana. Bagi setiap mahasiswa, menjadi sarjana adalah keseluruhan eksistensinya dan seminar proposal skripsi merupakan salah satu potongan yang akan memenuhi eksistensinya itu. Ekspresi kebahagiaan lewat semprotulation menjadi salah satu ungkapan kebahagiaanya, karena itu menjadi respon yang wajar.
ADVERTISEMENT
Namun “sesuatu yang baik” itu tidak terbatas pada realitas yang memang baik pada dirinya, melainkan juga realitas yang dianggap baik. Mahasiswa yang merayakan Semprotulation mungkin tidak sepenuhnya mengalami bahwa seminar proposal itu menyenangkan. Membuat proposal skripsi dan mempertahankannya dalam seminar justru merupakan beban.
Tapi ketika seminar selesai, realitas yang tidak menyenangkan itu berganti menjadi kebahagiaan sekalipun karena lepas dari beban, sehingga suatu hal yang sangat eksklusif apabila ia bisa menyelesaikan seminar proposalnya tersebut dengan baik kemudian terciptalah emosi akan kebahagian dan suggesti untuk melakukan perayaan.
Dari hal yang dijabarkan diatas dapat kita simpulkan bahwa perayaan semprotulation ini memiliki beberapa faktor penyusun dan dalam hal ini penulis golongkan sebagai salah satu pop culture bagi para mahasiswa saat ini.
ADVERTISEMENT
Realitas dan emosi yang diakibatkan olehnya membuat kewajaran melakukan semprotulation juga berpengaruh sebagai salah satu satu alasan mengapa trend ini dapat bertahan. Relevansi terhadap keadaan mahasiswa saat ini juga menurut penulis juga mengharuskan adanya suatu perayaan yang menjadi penyeimbang walau dalam realitanya perayaan tersebut hanya sebagai selingan semu yang sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai sebuah perayaan.