Konten dari Pengguna

Kenapa Dokter Menolak Hukuman Kebiri Kimia?

Jefry Albari Tribowo
dr. Jefry Albari Tribowo, Sp.And adalah seorang dokter spesialis Andrologi dan produser musik di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Website: andrologibanjarmasin.com
5 September 2019 21:08 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jefry Albari Tribowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
pixabay.com
ADVERTISEMENT
Isu kebiri kimia mendadak kembali ramai diperbincangkan dalam beberapa bulan terakhir ini. Penyebabnya, terkait kasus seorang pria di Mojokerto yang terancam dihukum kebiri kimia akibat melakukan pemerkosaan terhadap 9 orang anak di bawah umur.
ADVERTISEMENT
Terkait hal ini, Pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 yang mengatur mengenai hukuman kebiri kimia bagi pelaku pelanggar seksual pada anak. Dari awal peraturan mengenai kebiri kimia ini muncul, sudah banyak pertentangan yang datang dari kalangan tenaga medis.
Akan tetapi, suka tidak suka, hal tersebut telah sah tertulis di undang-undang dan menjadi bom waktu yang kemudian meledak di tahun ini. Bertepatan dengan akan dijatuhkannya hukuman tersebut.
Sebelum membahas lebih jauh ke arah sana, mari kita pahami dulu apa itu pedofilia. Pedofilia merupakan ketertarikan seksual orang dewasa terhadap anak-anak pra-pubertas (umur 13 tahun ke bawah).
Pedofilia berbeda dengan pelanggar seksual, di mana yang dimaksud pelanggar seksual adalah seseorang yang melakukan kejahatan seksual, seperti sodomi, pemerkosaan, dan kekerasan seksual. Seorang pedofilia dapat dikatakan sebagai pelanggar seksual jika ia terbukti melakukan kejahatan seksual terhadap korbannya, sementara jika ia belum melakukan hal tersebut, ia belum termasuk ke dalam kategori pelanggar seksual.
ADVERTISEMENT
Penyebab pedofilia, menurut teori, disebabkan oleh beberapa faktor: Kelainan struktur otak (volume bagian amygdala dan hypothalamus yang menurun), kelainan fungsi otak (penurunan inhibisi otak bagian prefrontal dan temporal), gangguan sinyal-sinyal saraf, kelainan hormon saat kehamilan, genetik, dan lingkungan. Oleh karena adanya gangguan di otak, beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa para penderita pedofilia berhubungan dengan memiliki tingkat IQ yang rendah.
Ilustrasi Kebiri Foto: qimono
Sekarang kita beralih ke masalah kebiri. Kebiri dibagi menjadi dua: Kebiri fisik dan kimia. Kebiri fisik dilakukan dengan membuang testis seorang pria, sementara kebiri kimia dilakukan dengan menyuntikkan zat-zat yang akan menekan hormon testosterone yang diproduksi oleh testis.
Tujuan kebiri dari sudut pandang kasus pelanggar seksual adalah untuk menurunkan libido seksual pelaku, dengan harapan ia tidak melakukan kasus kejahatan seksual lagi. Namun yang menjadi permasalahan adalah apakah kebiri kimia terbukti ampuh untuk menatalaksanai para pelanggar seksual?
ADVERTISEMENT
Yang perlu diingat adalah hormon testosterone tidak hanya berfungsi pada libido seksual saja. Ada banyak fungsi lainnya, seperti pengatur masa tulang, distribusi lemak, perkembangan otot, dan produksi sel darah merah. Sehingga jika hormon testosterone ditekan, ia akan memiliki efek lainnya yang tidak diharapkan ke pelaku tersebut.
Kebiri kimia akan menekan hormon testosterone, namun efek tersebut bersifat reversible. Sehingga, ketika seseorang dilakukan kebiri kimia, kemudian beberapa bulan selanjutnya ia tidak disuntikkan obat-obatan tersebut, kadar hormon testosterone-nya akan kembali meningkat. Atau bahkan yang lebih parah, bisa saja pelaku tersebut mencari pengobatan di luar untuk meningkatkan kembali hormon testosterone-nya.
Jika seseorang dilakukan kebiri kimia, maka seberapa lama ia akan dilakukan pemberian obat-obat tersebut untuk menekan libidonya? Bisa dibilang pengobatan kebiri kimia terhadap pelanggar seksual sangatlah tidak efektif dan efisien.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kebiri kimia juga tidak menjamin libido seksual para pelaku akan menghilang sama sekali. Sebab, libido seksual tidak hanya dipicu hormon testosterone, melainkan ada banyak faktor lain yang berpengaruh di dalam otaknya. Jadi, bukan tidak mungkin pelaku yang mendapatkan kebiri kimia masih akan tetap melakukan kejahatan seksual.
Lantas, bagaimanakah solusi yang tepat untuk para pedofilia yang melakukan kejahatan seksual ini? Salah satu yang dapat dilakukan tentunya dengan rehabilitasi. Hal ini sangat perlu dilakukan, sehingga para pelanggar seksual pedofilia ini bisa dilakukan pemeriksaan dan penetalaksanaan secara tepat.
Jika terbukti pelaku tidak menunjukkan perbaikan, akan lebih baik jika ia tetap mendekam di dalam penjara. Pendapat beberapa pihak bahkan ada yang lebih menyarankan jika hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati lebih baik ketimbang hukuman kebiri kimia.
Remaja Indonesia masih malu bicara seks. Foto: Thinkstock
Hal terpenting yang sebenarnya perlu dilakukan adalah edukasi seksual, terutama ke pihak anak-anak dan remaja. Dengan adanya edukasi seksual, anak-anak bisa memahami jika mereka hendak menjadi korban kejahatan seksual dan dapat berusaha mencari pertolongan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, edukasi seks juga untuk mencegah seseorang, yang memang dari awal memiliki kecenderungan pedofilia, untuk melakukan tindak kejahatan seksual. Media juga memiliki peran penting untuk menyosialisasikan hukuman bagi para pelaku kejahatan seksual, sehingga orang-orang yang akan melakukan tersebut akan menjadi takut dan jera.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah dengan mantap menolak hukuman kebiri kimia. Salah satu yang menjadi pertimbangan selain ketidakefektifannya, juga kebiri kimia merupakan sesuatu yang bertentangan dengan fitrah ilmu kedokteran.
Kebiri kimia memiliki dampak melemahkan fisik pasien, sementara seorang dokter fitrahnya hanya dapat melakukan hal tersebut pada situasi tertentu yang memang memerlukan secara ilmu kedokteran. Contohnya sebagai terapi untuk kasus kanker prostat yang memerlukan penekanan hormon testosterone.
ADVERTISEMENT
Ke depannya, diharapkan undang-undang yang mengatur hukuman kebiri kimia untuk pelanggar seksual ditinjau kembali agar hukuman yang berlaku dapat sesuai dengan ilmu kedokteran. Selain itu, pemerintah juga perlu menggalakan kembali edukasi seksual ke anak-anak dan remaja agar menurunkan kasus pelanggar seksual ini.