SEA Games XIX/1997: Akhir Kejayaan Indonesia di Pesta Olahraga Asia Tenggara

Jefry Mandiri
Sarjana Humaniora yang hobi olahraga & nonton film
Konten dari Pengguna
6 Oktober 2020 12:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jefry Mandiri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penyalaan api kaldron oleh Ferry Sonneville (mantan atlet bulutangkis Indonesia) dalam Opening Ceremony SEA Games XIX/1997 di Stadion Utama Senayan (Kompas, 12/10/1997)
zoom-in-whitePerbesar
Penyalaan api kaldron oleh Ferry Sonneville (mantan atlet bulutangkis Indonesia) dalam Opening Ceremony SEA Games XIX/1997 di Stadion Utama Senayan (Kompas, 12/10/1997)
ADVERTISEMENT
Indonesia pernah berada pada tren kejayaan di kompetisi olahraga Asia Tenggara pada masa Orde Baru yang berakhir pada penyelenggaraan SEA Games XIX tanggal 11-19 Oktober 1997 di Jakarta. Setelahnya, kontingen tanah air menunjukkan tren penurunan prestasi, karena baru bisa kembali menjadi juara umum pada SEA Games tahun 2011 di Jakarta-Palembang, itupun sedikit banyak karena statusnya sebagai tuan rumah.
ADVERTISEMENT

Keikutsertaan Pertama Kali

Saat masih bernama Southeast Asia Peninsular Games (SEAP Games), keinginan Indonesia untuk bergabung dalam percaturan olahraga Asia Tenggara sebenarnya sudah ada sejak akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Simon Creak dalam artikel onlinenya yang berjudul “The New Golden Peninsula Games” (https://www.newmandala.org/the-new-golden-peninsula-games/) menjelaskan bahwa terdapat penolakan dari Thailand selaku negara pemrakarsa dengan alasan SEAP Games merupakan urusan keluarga kecil negara-negara semenanjung Asia Tenggara saja. Momentum baru datang beberapa tahun kemudian. Keterlibatan perdana Indonesia sebagai peserta SEA Games tidak terlepas dari peran Malaysia menjelang penyelenggaraan SEA Games IX 1977 saat tidak ada satupun negara peserta yang bersedia menjadi tuan rumah. Malaysia kemudian mengemukakan kesediaannya, dengan syarat Indonesia dan Filipina diterima sebagai negara peserta baru. Usulan tersebut pada akhirnya disetujui dalam sidang Federasi SEAP Games yang akhirnya menghilangkan kata “peninsular” karena kedua negara baru tersebut tidak berada pada wilayah semenanjung.
ADVERTISEMENT
Indonesia dianggap sebagai underdog saat tiba di Kuala Lumpur tanggal 15 November 1977. Datang tanpa adanya sambutan dan pemberitaan di media massa Malaysia. Hasil penyelenggaraan yang berlangsung tanggal 19-26 November 1977 cukup mengejutkan. Nyatanya Kontingen Indonesia berhasil meraih juara umum dengan raihan 62 Medali emas, 41 perak, dan 31 perunggu. Hasil ini sekaligus mematahkan dominasi Thailand yang sebelumnya selalu merajai klasemen. Sejak kemenangan perdana ini, Indonesia mengambil alih dominasi di SEA Games tahun-tahun berikutnya. Selama 20 tahun keikutsertaan di masa Orde Baru, Indonesia hanya gagal menjadi juara umum pada tahun 1985 dan 1995 dari Thailand.

Belajar dari Kekalahan

SEA Games 2017 (Ilustrasi) Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Gelar juara umum sempat diraih kembali oleh Thailand saat menjadi tuan rumah tahun 1995. Berkaca dari kekalahan tersebut, KONI Pusat berbenah diri dalam upaya merebut kembali predikat juara di SEA Games XIX/1997. Evaluasi dilakukan pada aspek Pelatnas yang sebelumnya dinilai kurang persiapan dan minim pengawasan. Wismoyo Arismunandar selaku Ketua Umum KONI Pusat melakukan beberapa perubahan, terutama waktu pelaksanaan Pelatnas yang lebih lama, yakni selama 11 bulan yang dibagi menjadi dua bagian, pembinaan tahap I dan II. Djoko Pramono sebagai Komandan Pelatnas berperan penting dalam menggembleng motivasi atlet sekaligus menerapkan kedisiplinan tinggi berkat latar belakangnya sebagai Jenderal Marinir Angkatan Laut (AL).
ADVERTISEMENT
Pelatnas kali ini secara umum mengedepankan tiga nilai konsep dasar pelatihan, antara lain: kepelatihan, pengawasan, dan pengendalian. Djoko membentuk dua tim yang membantunya mengaplikasikan konsep tersebut. Pertama adalah Tim Teknis yang bertugas mengawasi dan mengendalikan kegiatan dan kinerja pelatih, serta pelaksanaan pelatihannya. Tanggung jawab ini diamanatkan kepada 15 sarjana olahraga muda dari berbagai perguruan tinggi. Tim kedua yaitu tim wasdal (pengawasan dan pengendalian) yang membantu dalam mengawasi dan mengendalikan kedisiplinan atlet di keseharian dan saat pelatnas berlangsung. Tujuannya supaya setiap atlet berada pada kondisi mental dan fisik yang prima khususnya saat kompetisi berlangsung. Ia juga bekerja sama dengan Komandan Korps Marinir untuk merekrut 24 orang bintara dalam melakukan pengamatan dan pengawasan kegiatan atlet setiap hari selama berlangsungnya pelatnas, seperti yang dijelaskan dalam buku autobiografinya yang berjudul Citius Altius Fortius di Dada Seorang Prajurit Marinir (2015: 160-163).
ADVERTISEMENT
Setelah resmi terbentuk tepat sebulan sebelum penyelenggaraan, Presiden Soeharto secara resmi menerima Kontingen Indonesia di Istana Negara pada 30 September 1997. Beliau menekankan tiga hal penting bagi para atlet yang akan bertanding: sportivitas, prestasi, dan saling pengertian antarbangsa, dalam sambutannya yang terkandung dalam Arsip Tekstual Sekretariat Negara Seri Pidato Presiden Soeharto 1966-1998 tentang Sambutan Presiden Pada Saat Menerima Kontingen Indonesia Pada Sea Games XIX tahun 1997. Tak lupa juga tentang amanat yang disampaikannya sejak awal persiapan kepada seluruh pihak yang terlibat, agar Indonesia dapat meraih dwi sukses: sukses prestasi dan sukses penyelenggaraan. Sukses prestasi dalam konteks ini semata-mata bukan bertujuan menjadi juara umum saja. Lebih dari pada itu, Kontingen Indonesia diharapkan dapat mencetak rekor-rekor baru dalam lingkup, Asia Tenggara, Asia, bahkan dunia. Dengan begitu, persaingan bukan ditujukan untuk mendulang medali sebanyak-banyaknya, yang relatif bisa diperoleh dengan memperbanyak nomor olahraga yang dipertandingkan. Soeharto berharap visi dibentuknya SEA Games kembali diutamakan, sebagai ajang kualifikasi bagi negara pesertanya untuk dapat bersaing di Asian Games dan Olimpiade.
ADVERTISEMENT

Medali Emas Terbanyak Sepanjang Sejarah SEA Games

SEA Games XIX resmi dibuka tanggal 11 Oktober 1997 di Stadion Utama Senayan (salah satu langkah desukarnoisasi di sektor olahraga masa Orde Baru dengan mengganti nama Stadion Utama Gelora Bung Karno), diikuti oleh 10 negara yang bertanding dalam 34 cabang olahraga. Dengan mengusung tema "Spirit, Unity, & Honour", setiap elemen mulai dari atlet, ofisial, pelatih, penonton, hingga masyarakat umum diharapkan dapat mengekspresikan semangat, persatuan, dan kehormatan bagi kemajuan olahraga Asia Tenggara. Dilansir dari surat kabar Kompas (12/10/1997), Ketua Komite Olimpiade Filipina, Christina Ramos Jalasco menyatakan kekagumannya terhadap upacara pembukaan SEA Games XIX. Beliau menambahkan, kemeriahan upacara tersebut sama sekali tidak memberikan kesan bahwa tuan rumah sedang menghadapi kesulitan keuangan dan perbankan dari krisis moneter yang tengah melanda kawasan Asia Tenggara mulai pertengahan tahun 1997.
ADVERTISEMENT
Indonesia yang menurunkan 497 atlet putra dan 314 atlet putri seperti yang dimuat dalam Laporan Pelatnas dan Kontingen Indonesia dalam SEA Games XIX-1997 (1997: 20), pada akhirnya berhasil mewujudkan target sukses prestasi dengan perolehan 194 medali emas, 101 perak, dan 115 perunggu. Sebuah rekor perolehan medali terbanyak yang belum terpecahkan sepanjang gelaran SEA Games, terhitung hingga SEA Games terakhir di Filipina tahun 2019 yang bahkan mencetak rekor cabang olahraga terbanyak, sejumlah 56 cabang dengan 530 nomor pertandingan. Sebagaimana yang dipesankan oleh Presiden Soeharto untuk mencetak rekor, Kontingen tanah air juga sukses memperoleh rekor dunia junior dari cabang angkat besi kelas 46 kg oleh Sri Indriyani diusianya yang ke-18 tahun. Selama 11 kali penyelenggaraan SEA Games pada masa Orde Baru, Indonesia merebut juara umum sebanyak 9 kali. Sebuah tren yang tidak lagi dapat dirasakan di Era Reformasi.
ADVERTISEMENT

Soeharto dan SEA Games

Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto pada dasarnya memiliki perhatian yang tinggi bagi kemajuan olahraga Indonesia. Slogan yang terkenal dan melekat terkait olahraga pada masa Orde Baru adalah “memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat”, dengan maksud sebagai strategi dalam mengembangkan potensi olahraga mulai dari usia dini. Olahraga dinilai penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Untuk itu, beliau juga seringkali menjelaskan bahwa olahraga merupakan salah satu elemen utama dalam pembangunan bangsa. Hal ini juga tidak terlepas dari orientasi Soeharto dalam kebijakan luar negerinya yang berupaya mewujudkan stabilitas dalam negeri dengan berfokus pada lingkup Asia, contohnya kembali menjadi anggota PBB sejak 28 September 1966 dan menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya ASEAN pada tanggal 8 Agustus 1967. Dominasi Indonesia di SEA Games secara tersirat dimanfaatkan pula oleh Soeharto dalam upayanya mengukuhkan positioning Indonesia di kawasan Asia Tenggara melalui sektor olahraga. Bisa dilihat pada kasus SEA Games XIII/1985 saat Thailand keluar sebagai juara umum mengalahkan Indonesia di peringkat kedua. Hasil tersebut dianggap sebagai tamparan berat untuk sebuah bangsa, hingga membuat risau Presiden Soeharto yang langsung memanggil Almarhum Abdul Gafur yang saat itu menjabat sebagai Menpora untuk dimintai laporan lengkap selepas berakhirnya pelaksanaan. Tutur MF Siregar dalam Guru-Guru Keluhuran: Rekaman Monumental Mimpi Anak Tiga Zaman (2010: 126)
ADVERTISEMENT

Tren Penurunan Prestasi

Memasuki masa Reformasi, berturut-turut dalam SEA Games XX/1999, SEA Games XXI/2001, dan SEA Games XXII/2003, pertama kalinya Indonesia terperosok ke peringkat tiga klasemen akhir perolehan medali. Juara umum hanya milik mereka yang menjadi tuan rumah dengan memasukkan cabang olahraga dalam negeri dan cabang lain yang mereka kuasai. Ini pula yang membuat visi SEA Games melenceng dari yang seharusnya. Tapi mari kita kesampingkan faktor tersebut dengan meninjau ke dalam. Setidaknya, ada beberapa aspek vital dalam hal keolahragaan yang menjadi faktor penyebab internal. Para pengamat olahraga menilai Indonesia lengah dalam melakukan pembinaan, yang kembali lagi mempersoalkan organisasi cabang olahraga dan pendanaan yang seringkali bermasalah. Faktor yang lebih khusus lagi bisa ditemui dalam Pelatnas yang merupakan wadah persiapan para atlet sebelum terjun ke dalam kompetisi. Dalam surat kabar Kompas (17/05/2005) dijelaskan bahwa sistem Pelatnas dulu selalu menampung atlet lebih banyak dari yang nantinya resmi terjun dalam pertandingan. Dari situ persaingan lahir sehingga memunculkan kontingen yang benar-benar unggul dan kompetitif. Namun kini, KONI sebagai induk organisasi olahraga Indonesia cenderung menyiapkan jumlah atlet yang pas-pasan. Imbasnya, tidak ada kompetisi sesama atlet dalam memperebutkan tempat sehingga ada kesan bahwa kita mengirim atlet seadanya. Kedisiplinan dalam menyelenggarakan Pelatnas juga menjadi faktor penting karena seringkali ditemui Pelatnas yang mundur dari jadwal yang sebelumnya ditetapkan hingga akhirnya berpengaruh terhadap persiapan dan kesiapan kontingen dan pihak-pihak terkait.
ADVERTISEMENT