Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Perjuangan itu Menaklukkan Gunung!
29 Desember 2024 17:48 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Jefta Raditya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pendakian adalah sebuah perjuangan pantang menyerah yang penuh semangat. Mungkin karena kita tidak tahu bagaimana ujung dari perjuangan itu sendiri. Begitulah yang saya rasakan setelah mendaki sepuluh jam hingga berhasil menapakkan kaki di 2.958 mdpl Puncak Gunung Gede, Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
Nyeri sendi, badan meriang, kulit lecet, perut mual sudah menjadi hal yang biasa bagi sebagian besar pendaki. Jalur yang dipenuhi lumpur, bebatuan tajam, kemiringan yang berubah-ubah, dan hawa dingin tidak dapat dilepaskan pula dari perjalanan menaklukkan gunung. Kendati demikian, pengalaman mendaki gunung akan selalu memiliki ruang tersendiri di hati setiap orang yang pernah melakukannya.
Setahun yang lalu, saya masih duduk di bangku kelas XII SMA. Pada saat itu, saya masih tinggal di bawah pengawasan orang tua dan tentu saja saya tidak mendapat izin naik gunung karena alasan keselamatan. Namun, keinginan saya yang besar akhirnya memutuskan untuk nekat mencobanya dengan izin hendak melakukan camping di Bogor. Berbekal pengalaman yang nol dan rombongan yang amatir, akhirnya saya dan teman-teman memulai ekspedisi pertama kami. Gunung Gede menjadi destinasi kami pada Rabu (26/4/2023) dengan alasan treknya yang tidak begitu ekstrem untuk pemula, terutama jalur yang via Putri.
ADVERTISEMENT
“Kayak mau camping pramuka deh!” kata Rafli (19), teman saya. Memang karena kami semua amatiran dan tidak semua punya carrier, pakai tas sekolah pun jadi. Perjalanan juga sempat tertahan lama di Tugu Kujang, Bogor karena arahan Google Maps dari Stasiun Bogor menuju basecamp tidak sesuai rute sebenarnya. Akhirnya kami menyewa mobil Elf dari terminal Baranangsiang hingga basecamp di Cianjur, Jawa Barat.
Sesampainya di basecamp, kami disuguhkan dengan sajian makanan prasmanan. Setelah menaruh barang-barang di dalam, kami pun menghabiskan sisa hari untuk makan, bercanda, dan beristirahat sebelum memulai pendakian.
Kami juga bertemu dan berkenalan dengan pendaki lainnya, antara lain Teh Arafah (25) dan Mas Ilyas (29). Jika ada pepatah yang mengatakan, "Tak kenal maka tak sayang", dalam kehidupan pendaki di Indonesia terdapat budaya “Tak kenal tetap disayang”. Artinya, sebagai sesama pendaki sangat wajar untuk saling menyapa, jalan bersama walaupun beda rombongan, dan saling menolong, seperti berbagi gas, kompor, bahkan makanan. Saya pun baru mengetahuinya.
ADVERTISEMENT
Memasuki Kamis (27/4/2023), kami mulai mendaki pada pukul 05.42 WIB dengan hawa dingin yang masih menyelimuti. Kami disuguhkan dengan pemandangan sunrise yang menakjubkan. Rombongan Teh Arafah dan Mas Ilyas awalnya juga jalan bersama kami hingga kami terpisah karena rombongan saya ada yang ingin memenuhi “panggilan alam” dulu.
Setelah lama melewati pos 2, saya bisa mengatakan kalau teman-teman saya sifat aslinya mulai keluar semua. Ada yang ngomel-ngomel, sambat, bahkan ingin kembali turun. “Capek banget cuy! Pengen gila gue!” kata Darma (16), seorang teman saya yang sepatu sekolahnya jebol dipakai mendaki. Hal itu tidak mengherankan karena kami banyak menguras waktu dan tenaga dari pos 2 menuju pos 3 dengan treknya yang tidak bersahabat. Akhirnya rombongan kami terbagi menjadi dua, yang masih semangat melanjutkan perjalanan sedangkan saya membantu teman saya yang sudah sangat tertatih-tatih.
ADVERTISEMENT
Setelah melakukan perjalanan yang panjang selama 9 jam, akhirnya saya dan teman saya kembali bertemu teman-teman yang sudah sampai duluan di Alun-alun Surya Kencana, sebuah padang savana luas yang dipenuhi hamparan rumput liar di ketinggian 2.750 mdpl Gunung Gede. Kami begitu dimanjakan dengan bunga edelweiss yang bertebaran di mana-mana dan pemandangan langit senja yang memukau sampai-sampai kami lupa mendirikan tenda.
Setelah energi kembali terkumpul, kami mendirikan dua tenda. Adapula yang mencari daun kering dan ranting kecil untuk dibuat api unggun. Setelah itu, kami berganti pakaian dan berkumpul bersama untuk makan malam.
Rasa senang di hati saat menikmati dinginnya malam di gunung, menyeruput sayur asam yang panas buatan teman saya, dan sambil menyanyikan lagu Kugadaikan Cintaku karya Gombloh dengan energi yang tersisa. Setelah itu, kami masuk tenda masing-masing untuk beristirahat dan tidur.
ADVERTISEMENT
Siapa sangka pada tengah malamnya hujan deras dengan angin kencang membasahi Surya Kencana. Perasaan saya pada saat itu hanya kebingungan. Sudah amatir, sekalinya nanjak malah kena badai. Belum lagi dengan hawa dingin yang begitu menusuk tubuh kami. “Tolong! Tolong! Tenda roboh!” teriak seseorang dari luar tenda. Dan memang benar kalau saat itu ada tenda yang roboh. Namun sulit rasanya untuk membantu karena jika kami keluar malam itu, kami akan berhadapan dengan air hujan deras di gunung yang begitu dingin dan kabut yang tebal. Terlalu besar risikonya, apalagi kami semua masih amatir.
Pada Jumat (28/4/2023) pukul 05.14 WIB, hujan sudah reda dan kami kembali bersiap untuk menuntaskan ekspedisi ini. Namun, salah seorang teman memutuskan untuk tinggal di tenda karena tidak enak badan. Hingga akhirnya kami kembali melanjutkan perjalanan selama 30 menit untuk mencapai puncak dan menyaksikan sunrise. Kendati hanya 30 menit, trek menuju puncak benar-benar minta ampun. Jalur dipenuhi dengan lubang dan bebatuan yang tajam serta kemiringan yang begitu terjal. Kami beberapa kali terperosok karena pandangan terhalangi oleh kabut dan suasana yang masih gelap, sehingga kami hanya mengandalkan lampu senter.
ADVERTISEMENT
Namun usaha tidak mengkhianati hasil. Akhirnya kami, rombongan amatiran ini, berhasil menaklukkan Gunung Gede dan sampai di puncak pada pukul 05.49 WIB. Kami disambut dengan hangatnya matahari yang baru terbit. Tak lupa kami mengabadikan momen bersama dengan keindahan alam di atas sana. Kami merayakannya dengan menyeduh teh dan meminumnya bersama.
Ekspedisi mendaki gunung memang menjadi pengalaman yang terus membekas di hati saya. Meskipun dalam perjalanannya tidak mudah dan penuh perjuangan, tapi kami tetap bulat dengan tekad kami untuk sampai puncak. Dan setelah sampai, alam pun menggantinya hingga seolah rasa sakit dan lelah kami tidak ada apa-apanya. Bagaimana dengan Anda? Apa jadi mau naik gunung juga? Atau malah mau naik gunung lagi?
ADVERTISEMENT