Konten dari Pengguna

Ilmuwan Buta Ini Melihat Buah Sukun sebagai Buah Primadona di Eropa

Jeihan Fauziah
Mahasiswi UIN Sunan Gunung Djati Bandung
20 Desember 2022 19:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jeihan Fauziah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi seorang ilmuwan buta, Georg Eberhand Rumphius. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi seorang ilmuwan buta, Georg Eberhand Rumphius. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Georg Eberhand Rumphius atau sering disebut Rumphius, lahir pada tanggal 1 November 1627. Ia dikenal dengan julukannya sebagai ilmuwan buta dari Ambon, namun itu hanya sebatas julukan. Karena sebenarnya, ia merupakan seorang ahli botani berkebangsaan Jerman yang bekerja untuk VOC. Langkahnya untuk mengukir sejarah di nusantara dimulai ketika ia berusia 25 tahun, tepatnya pada tahun 1652. Saat itu, ia ikut dengan VOC untuk berlayar ke nusantara dan menetap di Pulau Jawa selama 6 bulan.
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 8 November 1653, ia menjejakkan kakinya di Kepulauan Ambon. Rumphius yang ditugaskan disana justru jatuh cinta pandangan pertama dengan dunia flora dan faunanya. Hampir setengah abad ia habiskan sisa hidupnya sebagai ilmuwan di pulau yang kaya akan rempah-rempah itu. Disana ia melakukan penelitiannya dalam dunia botani.
Rumphius menemukan 1.200 spesies tanaman dari jenis pohon, herbal, belukar, hingga akar umbi dan ia mencatatnya dalam berbagai nama, mulai dari nama berbahasa Belanda, Melayu, Latin, Jawa, bahkan terkadang ia menggunakan bahasa Arab, Portugis, Tiongkok, hingga Hindustan. Ia juga membuatkan ilustrasi untuk 320 spesies tanaman yang kemudian ia jelaskan produk-produk yang dihasilkan dari tanaman tersebut. Lalu ia menjelaskan cara pembudidayaannya, lokasi-lokasi tanaman tersebut dapat ditemukan, karakteristik tempat untuk budidaya tanaman, masa panen dan berbunga, hingga manfaatnya sebagai bahan makanan dan obat-obatan.
ADVERTISEMENT
Melihat kegigihannya sebagai seorang ilmuwan, tentu tujuan Rumphius tersebut adalah untuk berbagi pengetahuan. Rumphius memanfaatkan ilmunya melalui kekayaan alam yang ia nikmati. Lalu menuangkan ilmunya ke dalam salah satu buku yang terkenal, yaitu Herbarium Amboinense atau Het Amboinsch Kuidboek atau yang sering dikenal Herbal Ambon. Di dalam bukunya, Rumphius mendeskripsikan salah satu jenis tanaman yang ia temui di pulau yang kaya akan rempah-rempah, yaitu :
“Buah ini tidak bagus dimakan mentah, tapi dipanggang atau jika tidak disajikan dengan cara dipotong lalu dikupas bagian bersisiknya kemudian diiris dan dimasak atau direbus dalam kuah daging; orang-orang Ambon memasaknya dengan santan. Beberapa di antaranya menggoreng buah ini dalam minyak hingga masak, dan lainnya, seperti halnya orang-orang Sumatra, menggoreng bijinya dan disajikan untuk makanan mereka.”
Ilustrasi buah sukun. Foto: Shutterstock
Buah yang dimaksud Rumphius itu adalah Soccuncapas, alias sukun. Beberapa nama ilmiah yang digunakan untuk sukun diantaranya, yaitu Artocarpus communis Forst, Artocapus incisa Linn, atau Artocarpus Altilis. Sukun muda biasanya memiliki kulit yang masih kasar, dan berkulit halus saat menjadi buah tua. Sukun memilki daging buah yang berwarna putih kekuningan, dan berserat halus.
ADVERTISEMENT
Pada zamannya, sekitar abad ke-18 tepatnya tidak jauh setelah rilisnya seri buku Rumphius, sukun menjadi buah primadona di kalangan orang-orang Eropa dan daerah-daerah jajahannya, khususnya di kawasan Pasifik. Saat itu sukun menjadi makanan para budak, karena mudah didapat, murah, dan bermanfaat untuk meningkatkan energi. Melihat hal tersebut, para ahli nutrisi di Eropa tertarik untuk mulai meneliti sukun, karena wujud porosnya yang menjadi sorotan, berbuah banyak, dan mudah beradaptasi dalam berbagai kondisi tanah. Darisana para ilmuwan tidak berhenti untuk meneliti dan melakukan pembaruan terhadap olahan buah sukun.
Buah sukun yang dianggap oleh orang-orang Eropa seperti buah kastanya ini dapat diolah dengan cara digoreng, direbus, dibuat manis, seperti yang telah dideskripsikan Rumphius. Rasanya bagaikan kue bulat beragi dan adonan puding; selembut dan seperti krim layaknya alpukat atau basah seperti keju berkulit keputihan. Melihat hal itu, orang Eropa menyebutnya sebagai “buah ajaib”.
ADVERTISEMENT
Bagi orang-orang barat, buah sukun dapat menjadi kudapan yang serbaguna. Mereka juga menganggap sukun sebagai roti, karenanya sukun dikenal dengan sebutan breadfruit atau broodvrucht. Namun, disamping itu Rumphius yang telah mengamati dan mengenal sukun sejak lama, ia menjelaskan bahwa di kawasan barat Nusantara, seperti Sumatra, Jawa dan Bali, sukun digunakan sebagai makanan pendukung beras. Adapun penduduk dari kawasan timur Nusantara (dari Sulawesi hingga Maluku dan Kepulauan Tenggara) sangat mengandalkan sukun sebagai makanan pokok.
Sumber : Rahman, Fadly. 2016. Jejak Rasa Nusantara Sejarah Makanan Indonesia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama