Konten dari Pengguna

Maraknya Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dan Anak

Ivan Audy
Mahasiswa aktif di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7 Desember 2022 12:30 WIB
clock
Diperbarui 16 Desember 2022 20:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ivan Audy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Kekerasan seksual Sumber foto: www.pixabay.com.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kekerasan seksual Sumber foto: www.pixabay.com.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Akhir-akhir ini kerap dijumpai bahwa kekerasan seksual sedang marak. Dari data yang dikutip pada laman SIMFONI PPA, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia tercatat bahwa jumlah kasus kekerasan seksual di Indonesia kini mencapai angka 22.985 per-Januari 2022. Kekerasan seksual ini dapat terjadi pada siapa saja dan di mana saja. Bisa terjadi di dalam rumah maupun di luar rumah. Dengan itu penulis menarik kesimpulan dengan realita yang ada sekarang, bahwa yang sering mengalami kasus ini seringnya terjadi pada perempuan dan anak.
ADVERTISEMENT
Kekerasan seksual adalah perbuatan yang berbentuk merendahkan, menghina martabat seseorang, atau melecehkan dengan menyerang seseorang yang mengakibatkan seseorang tersebut terkena gangguan baik fisik maupun psikisnya. Pelaku tidak memandang usia, gender, ataupun status dari korban tersebut. Seperti kasus yang terjadi di Nusa Tenggara Barat pada tanggal 31 Mei 2022 di laman TvOnenews.com,  Polres Kota Mataram mengungkapkan bahwa mereka menangkap seorang ayah berinisial AD (42) yang diduga menyetubuhi anak tirinya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Dan masih banyak lagi berita terkait kasus semacam ini (Tim Tvone, 2022).
Banyaknya berita tentang kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan ini dapat diartikan bahwa masih kurangnya perlindungan terhadap kekerasan seksual di Indonesia. Dan tidak lupa hampir kebanyakan pelaku yang melakukan tindakan tersebut adalah laki-laki. Entah apa yang mereka pikirkan. Mungkin terjadi akibat adanya budaya patriarki di Indonesia yang mengartikan bahwa laki-laki kedudukannya lebih tinggi dari perempuan. Maka dari itu banyaknya kaum yang ditindas adalah kaum perempuan dan anak-anak karena merasa bahwa kaum tersebut memiliki kedudukan rendah. Dari sana mengakibatkan banyaknya korban kekerasan seksual yang takut untuk angkat bicara dan melapor ke pihak yang berwajib.
ADVERTISEMENT
Korban Mengalami Viktimisasi Terhadap Pelaku
Dalam kasus tindakan kekerasan seksual ini, korban selalu mengalami viktimisasi terutama pada perempuan. Viktimisasi ini memiliki arti kondisi korban yang disalahkan atas tindakan kekerasan tersebut, biasanya pelaku berdalih, busana yang dikenakan korban terlalu terbuka. Ini tidak bisa dibenarkan sebab tidak ada korelasi bahwa busana yang terbuka akan mudah mengundang tindakan tersebut (Natar, 2017).
Argumen ini pun didukung dari realita fakta di lapangan. Korban kekerasan seksual bukan menggunakan baju/pakaian terbuka, akan tetapi kasus ini terjadi pada mereka yang memakai baju/pakaian panjang dan tertutup. Kasus semacam ini pernah terjadi di Transjakarta. Seorang wanita berhijab panjang tiba-tiba saja diserang dengan alasan tidak diberikan tempat duduk. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah dan tenaga kependidikan untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya pencegahan kasus kekerasan seksual ini.
ADVERTISEMENT
Koalisi Ruang Publik Aman (KPRA) pada tahun 2019 pada saat itu pun memberikan paparan dari hasil responden tentang jenis busana yang dikenakan kaum perempuan saat mengalami tindakan kekerasan seksual. Dan hasilnya, 17% dari mereka mengenakan busana tertutup. Hal ini berarti busana atau pakaian tidak bisa dijadikan patokan dalam mengukur tingkat terjadinya tindakan kekerasan seksual.
Korban Takut Menerima Pandangan Buruk Masyarakat Di Media Sosial
Mereka takut akan pendapat atau komentar buruk masyarakat. Padahal, masyarakat kini sudah lebih paham tentang maraknya kasus kekerasan seksual ini. Hal ini dapat dilihat dari tidak sedikit dari masyarakat memberikan simpati terhadap para korban yang mengalami kekerasan seksual ini. Mereka memberikan semangat serta mengawal kasus tersebut hingga tuntas. “Kawal terus, jangan sampai berita kaya gini tenggelam,” kata salah satu masyarakat di platform sosial media (03/09/2021).
ADVERTISEMENT
Kebanyakan Korban Dipaksa Diam
Dilansir dari Liputan6.com, pendamping psikologi perempuan dari Lembaga Pendampingan bagi para perempuan korban kekerasan, Siti Hajar Asmawati mengungkapkan bahwa tenaga profesional seperti dokter, psikolog, psikiater, terapis dan lainnya sangat perlu memahami pentingnya pendampingan korban saat melapor. Sebab mengingat di Indonesia masih banyak para korban yang dibungkam atau dipaksa diam oleh pelaku (Agatha, 2022)
Sulitnya Membuktikan Kejahatan Pelaku Saat Melapor
Dilansir dari Channel BBC News Indonesia (2021). Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi juga mengatakan, “Komnas perempuan mengamati banyak kasus kekerasan yang ditangguhkan oleh Kepolisian”. Dari data Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender (IJRS dan INFID 2020) tercatat dari 71.8% yang mengalami kekerasan seksual, sebanyak 57% dari responden tidak mengalami adanya penyelesaian kasus. “Pola dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara pidana) membuat kasus kekerasan seksual amat sulit dibuktikan," sambung Aminah. Hal ini yang membuat kasus kekerasan seksual sulit dibuktikan yakni karena hal yang paling mendasar adalah undang-undang di Indonesia menurut Komnas Perempuan.
ADVERTISEMENT
Selain dari korban takut untuk angkat bicara dan melapor, tindakan tersebut mengakibatkan korban terkena dampaknya baik fisik maupun psikis. Seperti yang sudah diterangkan oleh Komnas Perempuan di atas, korban diduga alami mental breakdown di mana kondisi mereka mengalami gangguan yang  menyebabkan aktivitas kesehariannya terganggu. Salah satu bentuk dari mental breakdown pada umumnya perubahan dari segi asupan makanan. Yang lebih parahnya lagi, jika hal ini terus dibiarkan, korban dapat mengalami gangguan jiwa seperti depresi (Agatha, 2022).
Fisik korban pun terkena dampaknya dari tindakan kekerasan seksual ini. Korban berpotensi dapat mengalami luka internal di organ reproduksinya seperti pendarahan. Dan parahnya lagi, jika organ reproduksi korban mengalami kerusakan, akan terjangkitnya Penyakit Menular Seksual (PMS) bagi korban anak-anak maupun perempuan.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, dengan ini penulis mengajak kita semua peduli terhadap sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitar terutama terhadap orang terdekat. Selain itu, penulis juga mengajak kepada semua orang tua wajib mengawasi anak-anak di setiap aktivitasnya. Sebab orang yang berada di sekitar pun bisa saja melakukan hal yang tidak senonoh. Serta perlunya ajaran sejak dini tentang pendidikan seksual baik di ranah keluarga maupun sekolah.
Sumber Rujukan
Agatha, Diviya, (2022). "Alami Mental Breakdown, Penyebab Korban Kekerasan Seksual Tidak Melapor" Diakses pada tanggal 30 November 2022 dilaman https://www.google.com/amp/s/m.liputan6.com/amp/5111500/alami-mental-breakdown-penyebab-korban-kekerasan-seksual-tidak-melapor
Tim TvOne, (2022). "Miris! Pelaku Kekerasan Seksual pada anak Didominasi Ayah Kandung" Diakses pada tanggal 30 November dilaman https://www.tvonenews.com/berita/nasional/48691-miris-pelaku-kekerasan-seksual-pada-anak-didominasi-ayah-kandung
Natar, Asnath Niwa, (2017). Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dan Anak; tinjauan Teologi Feminis, Yogyakarta; Taman Pustaka Kristen
ADVERTISEMENT