Konten dari Pengguna

Mabuk Darat Bersama Sopir Sampri Menuju Samosir

Jejak Jelata
Travel Blogger - Mendapatkan hal baru saat traveling adalah hal yang seru dan saya akan membagikannya dalam sebuah trip story
23 September 2019 14:38 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jejak Jelata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pemandangan rumah warga yang masih asli.
zoom-in-whitePerbesar
Pemandangan rumah warga yang masih asli.
ADVERTISEMENT
“Aduh kakak, Sampri baru saja pergi. Kakak kemana saja, bisa sampai terlambat?” kata seorang pria di agen Sampri kepada saya.
ADVERTISEMENT
Sontak saya pun lemas mendengar bahwa saya harus tertinggal Sampri (moda transportasi untuk menuju Samosir dari Silangit). Otak saya pun berputar cepat, mencari solusi dan jalan keluar. Antara mau menginap atau mau tetap melanjutkan perjalanan menggunakan transportasi alternatif? Saat itu, jam sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB, yang mana merupakan jadwal terakhir keberangkatan Sampri menuju Samosir dari Bandara Silangit.
Sambil memainkan smartphone, saya duduk di tempat agen Sampri. Saya berusaha mencari alternatif lain untuk menentukan nasib saya selanjutnya. Namun tiba-tiba, pria agen Sampri menghampiri saya kembali.
“Kakak, Sampri sudah saya telepon, dia mau kembali ke sini mau jemput kakak,” kata si pria itu dengan aksen Bataknya yang super kental.
Mendengar kabar dari abang Sampri, saya pun bahagia. Seolah mendapatkan hujan saat kemarau panjang.
Tiket Sampri.
Setelah saya membayar tiket sebesar Rp 60 ribu, Sampri pun datang dan saya pun kaget ternyata penumpang di dalam mobil elf itu hanya seorang saja, jadi dua orang dengan saya. Dalam hati, saya tertawa ngakak tanpa henti. Antara bahagia, senang, lucu, campur aduk semuanya. Perjalanan di mulai.
ADVERTISEMENT
Tiga jam perjalanan harus rela saya tempuh dengan medan yang berkelak-kelok naik dan turun bersama sopir Sampri yang gaya menyetirnya seperti di arena balap liar. Alhasil, saya tidak bisa menikmati pemandangan yang indah di depan mata saya. Alih-alih mau menikmati, tapi saya lebih sibuk menahan diri agar tidak mabuk darat.
Pemandangan danau di Pangururan yang indah.
Perjalanan yang seharusnya menyenangkan berubah menjadi kelam. Apa jadinya kalau saya mabuk darat naik? Padahal, sopir Sampri mencoba untuk mengajak kami berkomunikasi dengan menunjukkan spot-spot pemandangan menarik. Tapi, saya yang duduk di belakang kursi kemudi hanya bisa menyahut sekenanya, asal keluar suara.
“Abang, saya bukan karung beras,” ucap saya.
Hahaha, tenang saja, kakak, saya jamin aman, nikmati saja perjalanan ini dan pemandangan di luar sana,” jawab sopir Sampri sambil terkekeh.
ADVERTISEMENT
Perjalanan Silangit sampai Pangururan seolah melewati jembatan neraka. Akhirnya, saya pun memilih untuk tidur dan berharap agar cepat sampai.
“Kakak, bangun. Kakak mau turun di mana?” tiba-tiba suara sopir Sampri menggema di telinga saya.
Emangnya ini di mana, bang?” tanya saya bingung.
“Sudah sampailah ini di Pangururan, kakak mau turun di mana?” tanyanya lagi.
“Saya turun di tempat pemberhentian terakhir sampri ini saja, tak tau pula saya mau ke mana,” jawab saya.
Sopir Sampri lantas membawa saya ke terminal Pangururan, tempat pemberhentian terakhir Sampri terebut. Lega rasanya, penderitaan ini berakhir juga. Setelah saya duduk melepas Lelah, saya pun mencari penginapan di sekitar pangururan dengan harga Rp 150.000.
Penginapan yang saya tempati adalah penginapan dengan harga termurah dari sekian penginapan yang ada. Tapi, fasilitas yang saya dapatkan sungguh berkesan. Dengan harga Rp 150 ribu, saya mendapatkan penginapan sekelas homestay milik keluarga Batak dengan bangunan modern. Bangunan rumah tersebut berada di pinggir danau Toba. Jadi misalkan mau berenang bisa tinggal nyemplung saja.
Suasana di belakang homestay, tinggal nyemplung, gaes.
Selain itu, penjaga homestay pun ramah. Bahkan malam itu, saya sempat bertemu dengan si pemilik homestay, beliau menawarkan sejumlah hidangan untuk saya makan. Lumayan untuk menekan pengeluaran solo traveling saya.
Danau Toba dari Pangururan.
Paginya, saya sudah punya jadwal untuk keliling Pangururan dan Sianjur Mula-Mula. Saya diantar oleh seorang guide yang ramah rekomendasi dari teman seorang teman. Untuk fee-nya kita bisa sesuaikan dengan budget kita. Selama satu hari full saya puas mengelilingi desa asal muasal Suku Batak tersebut, sejumlah foto-foto kece dan rekaman video juga sudah saya dapatkan.
ADVERTISEMENT
Perjalanan saya tapi belum usai. Dari Pangururan, saya akan pindah ke Tuktuk Siadong.