Mitos Bendera Ula-Ula pada Prosesi Pernikahan Suku Bajo

Jejak Jelata
Travel Blogger - Mendapatkan hal baru saat traveling adalah hal yang seru dan saya akan membagikannya dalam sebuah trip story
Konten dari Pengguna
17 April 2020 7:48 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jejak Jelata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia memiliki banyak sekali cerita terkait budaya. Salah satunya adalah cerita tentang suku Bajo. Ketika anak suku Bajo lahir akan dimandikan menggunakan air laut. Namun, dulu konon anak mereka yang baru lahir dibuang ke laut dan dibiarkan dalam beberapa menit. Jika mampu bertahan dan masih hidup maka dialah suku Bajo.
Prosesi pengibaran bendera ula-ula. photo by Kurnia Theo
Selain cerita kelahiran anak, ada pula cerita tentang bendera ula-ula yang selalu ada dalam upacara fase kehidupan masyarakat Bajo. Bendera ula-ula berkibar saat adanya prosesi khitan, pernikahan, ketika seseorang sakit dan meninggal.
ADVERTISEMENT
Bendera ula-ula berbentuk menyerupai manusia, memiliki kepala, dua tangan, dan dua kaki. Ula-ula sendiri merupakan representasi sang leluhur. Di suku Bajo lain, ula-ula bahkan dipasang di perahu. Sebagai simbol bahwa nenek moyang bersama mereka melaut.
Saat mengunjungi pulau Rajuni di kawasan Taman Nasional Takabonerate, Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, saya melihat bendera ula-ula berkibar. Kata masyarakat setempat, sedang ada pernikahan.
Prosesi seserahan lamaran. Photo by Kurnia Theo
Sepasang kekasih sudah siap untuk menempuh hidup baru. Sang mempelai wanita terlihat cantik siang itu dengan mengenakan baju adat berwarna hijau. Sementara itu, mempelai pria juga mengenakan baju yang senada.
Upacara pernikahan suku Bajo memerlukan sejumlah tahapan-tahapan yang harus presisi dan tidak boleh ada yang keliru. Konon, jika pada tahapannya ada yang keliru, maka anggota keluarga sang mempelai ada yang sakit, kesurupan, meninggal dunia bahkan bisa terjadi bencana bagi desa tersebut.
ADVERTISEMENT
Hewan ternak seperti sapi atau kambing harus disembelih saat ula-ula akan dinaikkan. Tidak hanya itu, masayarakat pun percaya bahwa bendera ula-ula hanya dapat dikibarkan oleh keturunan Lolo Bajo atau nenek moyang mereka. Selain itu tata cara untuk menaikkan bendera juga harus mengenakan baju adat. Tidak boleh sembarangan atau nanti didatangi leluhur.
Mempelai pria. Photo by Kurnia Theo
Sang pembawa baki bendera harus membaca salawat tiga kali sebelum menaikkan. Dengan diiringi gandah (gendang) dan gong, barulah ula-ula dinaikkan. Ula-ula biasanya di tempatkan di rumah mempelai perempuan dengan jumlah sepasang. Sebelah kanan Merah Putih, kiri ula-ula.
Ula-ula akan dipasang selama pesta perkawinan berlangsung yakni selama tujuh hari hingga sepuluh hari. Dimulai sejak pertama keluarga berbelanja kebutuhan hajatan (ngarontuh) hingga pesta berakhir. Selama itu pula leluhur merestui dan hadir dalam pesta anak cucunya.
ADVERTISEMENT
Menurut informasi yang saya dapatkan, bendera ula-ula ada 4 berdasarkan warnanya yakni merah, kuning, putih, dan hitam. Warna-warna tersebut memiliki makna, seperti merah yang yang menandakan suku Bajo dengan status sosial paling tinggi atau Lolo Bajo, yakni raja maupun bangsawan.
Kedua mempelai dengan baju adat suku Bajo. Photo by Kurnia Theo
Sedangkan ula-ula kuning menyimbolkan status penggawa, ula-ula putih menyimbolkan kelas aparatur dan ula-ula hitam merupakan simbol untuk kelas budak. Namun, ula-ula hitam seharusnya tidak boleh dinaikan karena kelas budak tidak diperkenankan.
Menyaksikan upacara pernikahan suku Bajo sangat meriha. Selain kebahagiaan yang terpancar dari kedua mempelai, juga para warga yang turut menyaksikannya. Selain menyaksikan bendera ula-ula dikibarkan saya juga menyaksikan beberapa orang mengantarkan seserahan. Siang itu pesta pernikahan suku Bajo terlihat begitu sangat meriah.
ADVERTISEMENT