Imbas Perang Dagang, Produsen Chip Singapura Kurangi Karyawan

Jejak Tekno
Merekam jejak-jejak teknologi yang semakin sulit dilepaskan dari aspek kehidupan manusia dan lingkungannya.
Konten dari Pengguna
25 Juli 2019 11:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jejak Tekno tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pabrik mikrochip UTAC di Singapura (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Pabrik mikrochip UTAC di Singapura (Foto: Reuters)
ADVERTISEMENT
Terjebak di perang dagang Amerika - China, kekhawatiran politis terhadap Huawei, dan lesunya permintaan, penghasil chip di Singapura mulai mengurangi produksi dan mem-PHK ratusan karyawan, demikian diberitakan Reuters.
ADVERTISEMENT
Kelesuan yang menerpa sektor penyumbang sepertiga keluaran manufaktur Singapura tahun lalu ini memperkuat dugaan bahwa industri yang didorong oleh ekspor tersebut dapat segera tergelincir ke resesi dalam bulan-bulan mendatang.
Membuat mikrochip untuk berbagai barang mulai dari ponsel hingga mobil telah berperan penting dalam kesuksesan Singapura.
"Kami mulai melihat pelemahan ini sebagai sesuatu yang berbeda," kata Ang Wee Sang, direktur eksekutif Asosiasi Industri Semikonduktor Singapura (SSIA) yang dikutip Reuters.
Ang mengatakan siap untuk menghadapi yang terburuk dan mengarahkan stafnya untuk berjaga-jaga memberikan bantuan bagi pekerja yang dipecat dan mencarikan lowongan baru.
Industri semikonduktor merupakan istilah luas untuk perusahaan yang menghasilkan komponen elektronik termasuk chip memori dan mikroprosesor. Banyak produsn chip terbesar dunia beroperasi di Singapura.
ADVERTISEMENT
John Nelson, CEO dari UTAC, perusahaan penguji dan perakit chip, kepada Reuters mengatakan dirinya telah mulai melakukan proses konsolidasi di Singapura yang dapat berakibat pengurangan karyawan 10 % hingga 20 % di akhir tahun.
UTAC yang dimodali oleh TPG, mempunyai 10.280 karyawan di seluruh dunia dengan 1.700 di antaranya ada di Singapura.
"Kami mengambil tindakan yang tepat untuk memastikan masih ada hari esok untuk bisnis kami di Singapura," kata Nelson.
Nelson menyebut industri global sedang kesusahan, persoalan makin besar di Singapura karena besarnya biaya lain-lain seperti sewa, upah, dan listrik.