Konten dari Pengguna

Pertarungan Alibaba dan Tencent Memperebutkan Pasar Asia Tenggara

Jejak Tekno
Merekam jejak-jejak teknologi yang semakin sulit dilepaskan dari aspek kehidupan manusia dan lingkungannya.
23 Juli 2017 21:23 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jejak Tekno tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pertarungan Alibaba dan Tencent Memperebutkan Pasar Asia Tenggara
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Singapura (foto : pexels)
Dua raksasa teknologi dunia terus menancapkan kuku – dan uang – mereka ke ekosistem startup Asia Tenggara yang sedang tumbuh, tapi mereka bukan nama-nama besar dari Barat yang mungkin anda bayangkan.
ADVERTISEMENT
Bukannya Google, Facebook, atau Microsoft, justru duo dari Tiongkok, Alibaba dan Tencent yang menjadi daya pendorong di balik masuknya sejumlah dana yang besar maupun pengalaman bisnis ke startup-startup Asia Tenggara yang paling menjanjikan.
Kedua perusahaan yang merupakan musuh abadi di Tiongkok, nampaknya menyadari potensi dari region tersebut dan sedang menggarapnya. Ini berarti akan banyak drama dan pertempuran yang terjadi – selamat datang Game of Thrones Teknologi di Asia Tenggara.
Pasar yang Menjanjikan
Asia Tenggara telah lama menjadi area yang menarik kepentingan bisnis dari tetangga-tetangganya. Tanpa menimbang unsur teknologi, Asia Tenggara adalah rumah bagi 600 juta konsumen, dengan enam pasar utama – Singapura, Indonesia, Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Filipina – yang menonjol dengan ekonominya yang sedang tumbuh dan kebangkitan konsumen kelas menengah.
ADVERTISEMENT
Pada era digital sekarang, ponsel pintar adalah katalis kunci. Seperti India, pengguna internet Asia Tenggara mayoritas berselancar dari ponselnya, kebanyakan tidak mengalami era komputer personel dan langsung memakai ponsel dan tablet.
Sebuah laporan yang mencantumkan Google sebagai penulis bersamanya, tahun lalu menunjukkan bahwa di Asia Tenggara terdapat 260 juta pengguna internet yang bertambah 3,8 juta setiap bulannya. Jumlah ini berarti pada tahun 2020 akan terdapat sekitar 480 juta orang pengguna internet. Meskipun belum setara dengan Tiongkok yang memiliki 731 juta pengguna internet di mana setengahnya berselancar lewat ponsel, tapi setidaknya ini menunjukkan betapa seriusnya potensi pengembangan dari pasar Asia Tenggara bersama dengan India.
Laporan yang sama meramalkan bahwa ‘ekonomi internet’ di Asia Tenggara , misalnya bisnis yang dilahirkan dari internet, akan bernilai $200 milyar pada 2025. Naik sekitar 6,5 kali lipat dari tahun 2015 yang diperkirakan mencapai $31 miliyar. Untuk e-commerce saja akan naik dari $5,5 milyar pada 2015 ke $88 milyar pada 2025, yang separuhnya berasal dari Indonesia yang merupakan negara berpenduduk keempat terbesar di dunia, menurut laporan tersebut.
ADVERTISEMENT
Dari Berminat ke Berinvestasi
Selama beberapa tahun terakhir, nampaknya perusahaan-perusahaan Tiongkok telah beranjak dari memindai kawasan Asia Tenggara ke ikut memiliki sebagian dari pangsa pasar yang ada.
Langkah pertamanya adalah investasi $1 milyar oleh Alibaba terhadap Lazada, perusahaan e-commerce mirip Amazon yang melayani enam negara di Asia Tenggara pada April 2016. Penandatanganan kesepakatan ini menjadi investasi besar pertama di kawasan tersebut dari perusahaan Tiongkok.
Alibaba terus memperkuat cengkeramannya, menyuntikkan $1 milyar lagi pada bulan Juni yang meningkatkan persentase kepemilikannya hingga 83% di Lazada. Lazada sendiri dengan dana dari Alibaba kemudian membeli Redmart, perusahaan grosir bermarkas di Singapura untuk melebarkan sayap bisnisnya, di samping peluncuran layanan mirip Amazon Prime yang menggandeng Uber dan Netflix. Amazon sendiri diperkirakan memasuki pasar Asia Tenggara tahun ini.
ADVERTISEMENT
Dalam wawancaranya dengan Techcrunch bulan Juni 2017, CEO Lazada Max Bittner mengatakan bahwa perusahaan mereka berencana untuk memperlebar cakupan kedua layanannya yang baru tersedia di Singapura ke sektor lain. Modal dan pengalaman Alibaba akan sangat diperlukan oleh Lazada untuk memperbesar peluang kesuksesan mereka.
“Kami memiliki keseimbangan yang tepat antara kebebasan (bagi bisnis kami) dan bergantung kepada Alibaba sebagai seorang kakak yang dapat dimintai bantuan saat kami membutuhkannya,” jawab Bittner ketika ditanya tentang relasi kedua perusahaan oleh Techcrunch.
Meskipun demikian, Alibaba tidak berdiam diri di sana. Mereka telah melakukan beberapa kali investasi fintech di Asia Tenggara melalui Ant Financial yang merupakan afiliasi layanan keuangan mereka.
Investasi keuangan global dari Ant Financial meliputi kesepakatan $1,2 milyar dengan Moneygram dan Kakao Pay di Korea, di Asia Tenggara mereka menyuntikkan dana ke Ascend Money di Thailand, Mynt di Filipina, Emtek di Indonesia, dan M-Daq di Singapura.
ADVERTISEMENT
Kemudian pada awal Juli 2017, Alibaba kembali merogoh koceknya untuk berinvestasi hingga $50 juta ke perusahaan asuransi daring Compare Asia Group.
Sementara itu, Tencent telah sejak lama berinvestasi ke perusahaan media di Thailand bernama Sanook, dan $19 juta ke Ookbee yang juga dari Thailand. Dari sisi produk, mereka telah secara agresif mendorong layanan musik Joox mereka di Asia Tenggara untuk menyaingi Spotify , sambil berinvestasi ke aplikasi karaoke Smule yang memiliki daya tarik kuat di kawasan Asia Tenggara dan berencana melebarkan sayap di Asia.
“Melalui investasi dan akuisisi mereka, adalah sangat jelas bahwa Alibaba dan Tencent tertarik dengan Asia Tenggara. Mereka memiliki visi yang sama dengan kami, bahwa kawasan ini cukup matang dalam hal peluang di sektor e-commerce, pembayaran, serta marketplace,” ujar Vinnie Lauria, salah seorang pendiri firma kapital ventura Golden Gate Ventures yang bermarkas di Singapura kepada TechCrunch.
ADVERTISEMENT
Tentukan Pilihan
Daftar kesepakatan di atas hanyalah yang telah secara resmi diumumkan. Ada banyak yang masih menunggu untuk diumumkan atau bahkan sedang dalam proses negoisasi.
Melalui diskusi dengan pendiri-pendiri startup, TechCrunch memahami bahwa Tencent dan Alibaba telah melakukan diskusi dengan setidaknya selusin startup di Asia Tenggara yang bergerak di sektor fintech atau e-commerce. Dalam nyaris setiap kesempatan, nampaknya kedua raksasa Tiongkok ini menjalin komunikasi dengan startup-startup yang serupa untuk melakukan investasi, atau menyatakan ketertarikannya ketika ada startup yang siap untuk membuka diri.
Meminjam bahasa dari seorang investor teknologi ternama yang diwawancarai oleh TechCrunch namun menolak diungkap identitasnya supaya tidak menyinggung kedua perusahaan, Tencent dan Alibaba sedang ‘mengukir’ ekosistem startup di Asia Tenggara.
ADVERTISEMENT
Pertarungan ini misalnya telah terlihat di sektor ride-sharing.
Alibaba diduga merupakan anggota dari sekelompok investor di balik pendanaan bagi Grab yang nilainya dapat mencapai $2 milyar dan akan segera disepakati, menurut narasumber TechCrunch. Namun Alibaba juga digosipkan sedang menjamin komunikasi dengan Go-Jek yang merupakan rival Uber danGrab dan telah diakui sebagai raja transportasi di Indonesia. Meskipun demikian, Go-Jek justru sepakat untuk menerima investasi dari Tencent sebesar $ 1,2 milyar yang belum diumumkan secara resmi.
Di e-commerce, sekutu strategis Tencent, JD.com – yang mencantumkan Tencent di daftar investor mereka – telah berkali-kali dikaitkan dengan investasi terhadap perusahaan Indonesia, Tokopedia yang sebelumnya menerima pendanaan dari SoftBank. Walapun demikian, seorang narasumber mengatakan kepada TechCrunch bahwa Alibaba juga berkomunikasi dengan Tokopedia dalam rangka melihat peluang berinvestasi. Hubungan langgeng antara SoftBank dengan Alibaba , yang ditunjukkan dengan investasi di awal terhadap Alibaba, diyakini bisa menjadi faktor penting dalam hal ini.
ADVERTISEMENT
Memilih antara Alibaba atau Tencent tidaklah mudah sebab secara esensial perusahaan-perusahaan diminta untuk bergabung dengan salah satu dari kedua rival tersebut.
Hal ini mirip dengan memilih kesetiaan ala-ala Game of Thrones. Ada beberapa contoh di Tiongkok tentang perusahaan yang mendapatkan dana baik dari Alibaba maupun Tencent – keduanya mempunyai saham di Didi setelah merger dari perusahaan yang mereka suntik dananya yaitu Didi Kuaidi dan Didi Dache – sehingga keputusan tentang siapa yang harus dipertahankan mempunyai implikasi jangka panjang terkait hubungan di masa depan dan para investor.
“Mereka menetapkan batas dengan jelas menggunakan buku cek mereka, dan kita bisa melihat perkelahian antara dua raksasa ini di Indonesia, Singapura, dan Thailand,” kata Lauria yang perusahaannya berinvestasi di Redmart.
ADVERTISEMENT
Awal Dari Berdatangannya Penyandang Dana
Dengan Alibaba dan Tencent sebagai penyandang dana awal (sekaligus terberat), banyak yang memprediksi bahwa penggerak lain dari Tiongkok dan yang lainnya akan mengikuti jejak mereka.
“Singapura, berfungsi sebagai penghubung dari ekosistem Asia Tenggara, terus menerus menarik minat investasi besar dari perusahaan maupun kapital ventura Tiongkok,” kata Michael Smith dari SeedPlus kepada TechCrunch.
“Sangat jelas bahwa Tencent dan Alibaba adalah perusahaan-perusahaan besar yang mencoba berkembang di sektor e-commerce, fintech dan logistik, tapi JD.com juga berinvestasi dan mencari peluang di kawasan tersebut,” tambahnya.
Smith juga menunjukkan bahwa perusahaan ride-sharing seperti Mobike dan Ofo sama-sama memilih Singapura sebagai negara tujuan pertama dalam ekspansinya.
“Kami terus meyakini bahwa Singapura dan perusahaan yang didirikan di sini akan menarik perhatian tidak hanya perusahaan dari Tiongkok tapi juga dari Eropa dan Amerika yang ingin memperluas jangkauannya,” ujar Smith.
ADVERTISEMENT
Perusahaan teknologi Amerika Serikat terus meningkatkan kehadiran mereka di Asia Tenggara, khususnya Google dan Facebook yang membuka kantor lokal di beberapa negara, namun kehadiran mereka lebih dirasakan dengan pelokalan produk, penjualan dan pemasaran dan bukannya penanaman modal.
Sumber: https://techcrunch.com/2017/07/22/alibaba-tencent-southeast-asia-game-of-thrones/