Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
ADVERTISEMENT
Pandemi Covid-19 adalah gerbang yang memisahkan dunia lama yang relatif rileks dan dunia baru yang diliputi kekuatiran. Setidaknya demikian yang diamati Arundhati Roy, penulis kondang asal India. Pandemi ini mempengaruhi segala segi kehidupan manusia. Karena itu, peperangan (dan perdamaian) yang dicanangkan para pemimpin dunia terhadapnya, selayaknya pula menggunakan pendekatan multiperspektif.
ADVERTISEMENT
Namun, karena inti dari pandemi adalah penyakit atau virus, maka pertimbangan pertama dalam memutuskan kebijakan yang terkait dengannya seharusnya tetap pertimbangan epidemiologis: pemuliaan kesehatan warga negara.
“New Normal” adalah sebuah kondisi dimana berbagai aktivitas publik digerakkan kembali di tengah pandemi dan karena itu seluruh waega negara diminta menyesuaikan diri: memakai sarana kesehatan seperti masker atau face mask, menyediakan hand sanitizer, menjaga jarak, serta menghindari kontak fisik. Meski protokolnya telah ditentukan sedemikian rupa, pemberlakuan “New Normal” saat pertumbuhan pasien belum menunjukan tanda melandai atau menurun merupakan kebijakan yang membahayakan kesehatan warga negara.
Karena itulah, pelonggaran aktivitas atau “New Normal” yang sudah dimulai pemerintah harus dikaji ulang. Toh, pemerintah sepertinya juga belum solid amat saat mencanangkan “New Normal” ini. Pernyatan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto bahwa “New Normal” dapat ditinjau ulang jika tren pertumbuhan pasien Covid-19 meningkat, membuktikan sinyalemen tersebut.
ADVERTISEMENT
Adalah tidak bijak jika “New Normal” dijalankan atas pertimbangan utama yang berupa keterdesakan ekonomi. Pertimbangan ekonomi tanpa menghitung risiko epidemiologis berisiko menggagalkan “New Normal” sehingga ujungnya menghantam balik ketahanan bangsa secara lebih menyakitkan. Risiko kegagalan “New Normal” berpotensi membawa gelombang baru penularan baru, sehingga hal itu perlu dikalkulasikan masak-masak oleh pengambil kebijakan.
Apabila pertimbangan kesehatan belum menyarankan pelonggaran aktivitas publik, pemerintah tak boleh memaksaan pemberlakuan “New Normal”. Tindakan memaksakan penerapan normalitas baru ibarat menyuruh orang yang sedang sakit untuk bekerja. Tentu, ada risiko yang perlu ditimbang: bahwa orang tersebut bisa tambah sakit, ongkos perawatannya membengkak, bahkan jika sial dapat berakhir fatal sehingga merugikan seluruh anggota keluarga.
Menurut hemat penulis, harus ada penilaian situasi yang obyektif sebelum pemerintah melonggarkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan menerapkan “New Normal”. Ada syarat-syarat pelonggaran yang harus dipenuhi untuk menerapkan kebijakan “New Normal”. Pemenuhan syarat-syarat tersebut penting untuk meminimalisir, mengontrol, dan memitigasi risiko yang diakibatkan oleh penularan virus di saat orang lebih bebas beraktivitas di masa pandemi.
ADVERTISEMENT
Sayar-syarat pelonggaran tersebut antara lain:
Syarat pertama, rasio penularan Covid-19 yang turun atau melandai. Hal ini ditandai dengan angka reproduksi efektif (Rt) kurang dari 1 (Rt < 1). Metode pengukuran epidemi yang tetapkan oleh WHO (World Health Organization) ini menyatakan, pengendalian epidemi ditunjukkan oleh angka reproduksi efektif (Rt) kurang dari 1 selama dua minggu berturut-turut.
Data dari covid.bappenas.go.id menyatakan, hingga 18 Mei 2020 terdapat dua provinsi yang memenuhi syarat semacam itu: DKI Jakarta (Rt = 0,98783) dan Jawa Barat (Rt = 0,9820). Meski demikian, per 28 Mei 2020, angka Rt DKI Jakarta kembali mendekati 1. Artinya, terjadi lonjakan rasio penularan. Justru, setelah pemerintah mendengungkan kebijakan “New Normal” melalui Keputusan Menteri Kesehatan HK.01.07/MENKES/328/2020.
ADVERTISEMENT
Fakta ini mendorong kita untuk meneliti lebih jauh; apakah pelonggaran situasi yang disimbolkan oleh kunjungan Presiden Jokowi ke mal di Bekasi juga membawa dampak yang tidak diharapkan berupa melemahnya pengendalian kesehatan publik dus berisiko melonjakkan angka penularan covid-19 di ibukota?
Syarat kedua, kemampuan surveillance (surveilans). Surveillance adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data secara sistemik dan terus menerus untuk pengambilan kebijakan. Kualitas surveillance dalam situasi pandemi ini didasarkan pada ketercukupan tes Covid-19 di laboratorium, dalam hal ini tes Polymerase Chain Reaction (PCR) atau swab. Jumlah tes minimal, berdasarkan keterangan Ketua Bappenas Soeharso Monoarfo di media massa, setidaknya 3500 sampel per 1 juta penduduk.
Laman www.worldmeters.info/coronavirus/ menyuguhkan data bahwa jumlah tes yang telah dilakukan Indonesia adalah 256.946. Artinya, jumlah tes per 1 juta penduduk Indonesia hanya sebanyak 940. Jumlah itu jomplang jika dibandingkan dengan Singapura (50.360), Malaysia (15.882), Thailand (5.380), Vietnam (2.828), Filipina (2.757), dan Kamboja (1.102).
ADVERTISEMENT
Hingga Mei 2024, Pemprov DKI Jakarta telah melakukan tes PCR menggunakan 130.912 sampel. Artinya, lebih dari separuh angka tes Covid-19 di Indonesia dilakukan di ibukota. Jika angka tersebut valid, DKI Jakarta memiliki rasio tes PCR 12.069 per 1 juta penduduk. Meski kelihatan besar, rasio ini masih sangat jauh dibawah Singapura dan Malaysia.
Negeri seperti Malaysia melakukan strategi lain untuk mengontrol penyebaran virus selain tes massal, yaitu penerapan lockdown. Nah, jika yang lockdown saja perlu melakukan 15.882 tes per 1 juta penduduk, haruskah DKI yang ‘hanya’ menerapkan PSBB dianggap cukup dengan melakukan sekitar 12-ribuan tes? Alangkah baiknya jika kita mengukur kesiapan diri dengan menggunakan tetangga dekat kita sebagai cermin. Kita telah menolak lockdown ketat. Tetapi, keharusan memiliki rasio tes yang tinggi hendaknya tak kita nafikan pula.
ADVERTISEMENT
Syarat ketiga, kemampuan bio-surveillance (bio-surveilans). Kemampuan ini terkait dengan pemantauan yang sistematik terhadap bakteri, virus, dan agen biologis lain sebagai sumber-sumber penyakit serta mendeteksi penyakit pada makhluk hidup untuk kemudian melakukan analisa terhadap wabah yang ada.
Bio-surveilans terkait dengan interpretasi yang cepat dan cerdas secara multidisipliner, multi-stakeholders, juga bersifat intensif data danpengetahuan serta memiliki kontinyuitas. Penggunaan teknologi informasi dan artificial intelligence untuk bio-surveillance sangat penting. Integrasi data rekam medis pasien dan digitalisasi data tersebut merupakan langkah awal bagi kemampuan bio-surveillance tersebut.
Indonesia atau DKI Jakarta, tampaknya masih perlu meningkatkan kemampuan mengelola data itu. Ironisnya, masih ada mindset sebagian pejabat kita yang menganggap perlu merahasiakan (sebagian) data dengan argumen demi mengerem ketakutan warga. Karena transparansi data masih belum terjadi, maka logis jika ada kalangan masyarakat yang meragukan statistik terkait pasien, keluhan, jumlah korban meninggal, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Kita harus secepatnya membereskan persoalan kesimpangsiuran data serta mendorong lembaga-lembaga riset untuk berkontribusi dalam menganalisa atau menginterpretasikan data-data yang tersedia untuk memetakan dan mengantisipasi ancaman pandemi.
Syarat keempat, kemampuan contact tracing. Negara harus memiliki alat-alat yang sigap dalam melacak kontak pasien Covid-19 sebagai tanda kesiapan melakukan pelonggaran. Aparat terkait harus merilis riwayat kontak pasien sehingga warga yang terkait dengan riwayat kontak tersebut dapat segera memeriksakan dirinya ke klinik terdekat.
Negara Vietnam mencontohkan betapa efektifnya contact tracing yang mereka lakukan. Ketika seorang awak pesawat Vietnam Air positif Covid-19 sepulang dari London, aparat menyelidiki tempat-tempat yang sempat disinggahinya dan kemudian menjaring empat ribu nama ODP baru. Kesiapsiagaan dalam contact tracing itu dapat memotong jalur penyebaran Covid-19 ke khalayak lebih luas serta berfungsi memberikan peringatan langsung bagi yang memiliki riwayat kontak dengan pasien positif Covid-19.
ADVERTISEMENT
Semestinya pemerintah Indonesia jujur menilai pemenuhan empat syarat tersebut sebelum menetapkan pelonggaran atau “New Normal”. Harus ada legitimasi publik atas pemenuhan empat syarat tersebut. Salah satu cara memperoleh legitimasi publik adalah dengan melibatkan kalangan independen seperti universitas untuk mengecek ulang indikator-indikator Rt < 1, rasio tes PCR, kemampuan contact tracing, dan kemampuan bio-surveilance. Perlu juga dicek rasio ketercukupan RS & IGD untuk mengantisipasi lonjakan pasien meskipun kita semua tak berharap hal itu terjadi.
Jika angka-angka yang menunjukkan kesiapan ‘New Normal” itu dikumpulkan dan dianalisa oleh pemerintah sendiri tanpa ada pembanding atau penilai independen, maka transparansi dan akuntabilitas data akan terus dipertanyakan oleh berbagai kalangan. Pelibatan kalangan akademik untuk menilai situasi sebelum pemerintah memutuskan layak atau tidaknya penerapan “New Normal” akan membuat keputusan penting itu memperoleh legitimasi ilmiah dan dukungan publik.
ADVERTISEMENT
Keengganan untuk melibatkan para ahli guna memeriksa data-data yang menjadi dasar “New Normal” secara independen hanya membuat kebijakan ini dianggap kurang legitimasi sehingga mengundang perdebatan yang tak ada habisnya.
*****
Jemmy Setiawan adalah Deputi Kaderisasi DPP Partai Demokrat