Konten dari Pengguna

Jepang dan Tantangan Kedaulatan Pangan

Jenifer banjarnahor
Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Sriwijaya
21 April 2025 14:27 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jenifer banjarnahor tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Antara Perlindungan Kultural dan Tekanan Struktural Global
Sumber: https://cdn.pixabay.com/photo/2020/01/31/07/26/chef-4807317_1280.jpg
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: https://cdn.pixabay.com/photo/2020/01/31/07/26/chef-4807317_1280.jpg
Kedaulatan pangan menjadi isu krusial di era globalisasi, di mana negara-negara dihadapkan pada pilihan antara melindungi pertanian lokal atau membuka pasar bagi produk impor yang lebih murah. Jepang, sebagai salah satu negara dengan ekonomi terbesar di dunia, menghadapi dilema ini dengan pendekatan yang unik. Di satu sisi, Jepang memiliki tradisi pertanian yang kuat, dengan konsep seperti satoyama dan satoumi yang menekankan keseimbangan dengan alam, serta beras yang memiliki nilai budaya mendalam. Namun, di sisi lain Jepang juga harus menyesuaikan diri dengan tekanan global, seperti perjanjian perdagangan bebas yang menuntut keterbukaan pasar. Esai ini akan membahas bagaimana Jepang menyeimbangkan antara perlindungan sektor pertanian dan penyesuaian terhadap dinamika global, dengan fokus pada kebijakan proteksi beras.
ADVERTISEMENT
Di Jepang, pertanian bukan sekadar sektor ekonomi, tetapi juga bagian dari identitas budaya masyarakat. Nilai-nilai seperti mottainai, yang menekankan pentingnya menghindari pemborosan, serta konsep satoyama yang mengajarkan harmoni antara manusia dan lingkungan, telah membentuk praktik pertanian Jepang selama berabad-abad. Beras bukan hanya makanan pokok tetapi juga simbol kemakmuran dan stabilitas sosial. Hal ini tercermin dalam berbagai festival, seperti Niiname-sai yang merayakan panen sebagai bagian dari tradisi masyarakat Jepang. Namun, sektor pertanian Jepang menghadapi tantangan besar. Rata-rata usia petani yang mencapai 67 tahun pada 2020 (MAFF, 2020) menunjukkan bahwa semakin sedikit generasi muda yang tertarik untuk bekerja di bidang ini. Kebanyakan dari mereka lebih memilih sektor industri atau jasa yang dianggap lebih menguntungkan. Selain itu, urbanisasi yang pesat menyebabkan berkurangnya lahan pertanian, sehingga mempertahankan sektor ini menjadi semakin sulit. Meskipun demikian, pemerintah Jepang terus berupaya mendukung petani melalui berbagai kebijakan, seperti subsidi dan promosi pertanian organik.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, perdagangan global semakin menekan sektor pertanian Jepang. Perjanjian seperti Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP) mengharuskan Jepang untuk membuka pasarnya bagi produk impor, termasuk beras. Sebelumnya, Jepang melindungi industri berasnya dengan tarif impor yang sangat tinggi, mencapai 778% untuk beras asing (WTO, 2015). Namun, tekanan dari mitra dagang seperti Amerika Serikat dan Australia memaksa Jepang untuk mengurangi hambatan ini.
Akibatnya, beras impor yang lebih murah mulai membanjiri pasar Jepang. Pada 2019, impor beras mencapai 770.000 ton, meningkat 15% dari tahun sebelumnya (MAFF, 2020). Hal ini menimbulkan dilema: di satu sisi, konsumen diuntungkan dengan harga yang lebih terjangkau, tetapi di sisi lain, petani lokal mengalami kesulitan bersaing. Selain beras, produk lain seperti daging sapi dan gandum juga menghadapi tantangan serupa. Daging sapi Jepang yang terkenal dengan kualitasnya harus bersaing dengan produk impor yang lebih murah dari Amerika Serikat dan Australia, menciptakan ketegangan antara kepentingan petani lokal dan tuntutan perdagangan global.
ADVERTISEMENT
Untuk menghadapi tantangan ini, pemerintah Jepang menerapkan berbagai kebijakan proteksi. Salah satunya adalah kebijakan gentan, yang membatasi jumlah produksi beras domestik guna menjaga kestabilan harga. Namun, kebijakan ini mendapat kritik karena dianggap kurang menguntungkan bagi petani kecil yang sangat bergantung pada produksi beras. Jepang juga menjalankan program jiba-sangyō, yang mendorong masyarakat untuk membeli produk lokal guna meningkatkan pendapatan petani serta melestarikan tradisi pertanian. Salah satu contoh suksesnya adalah promosi beras koshihikari, varietas premium yang menjadi simbol keahlian petani Jepang.
Selain itu, pemerintah Jepang berupaya menarik generasi muda kembali ke sektor pertanian melalui berbagai insentif dan pelatihan. Program New Farmers Support Project, misalnya, memberikan bantuan keuangan dan pelatihan teknis bagi mereka yang ingin berkarir di bidang ini. Namun, tantangan seperti infrastruktur yang kurang berkembang di pedesaan serta anggapan bahwa bertani tidak menjanjikan secara finansial tetap menjadi hambatan utama. Kebijakan proteksi beras Jepang mencerminkan usaha negara ini dalam menjaga keseimbangan antara perlindungan sektor pertanian dan keterlibatan dalam perdagangan global. Sejak akhir Perang Dunia II, Jepang telah mengupayakan berbagai kebijakan untuk memastikan ketersediaan pangan dan melindungi petani lokal. Namun, tekanan dari mitra dagang seperti Amerika Serikat memaksa Jepang untuk membuka pasarnya lebih luas. Sebagai bagian dari perjanjian CPTPP, Jepang setuju untuk mengimpor 70.000 ton beras dari Amerika Serikat setiap tahunnya sejak 2019 (MAFF, 2020). Meskipun jumlah ini relatif kecil dibandingkan total konsumsi beras nasional, kebijakan ini tetap menimbulkan kekhawatiran bagi petani yang khawatir harga pasar akan semakin tertekan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, proteksi beras juga menuai kritik dari konsumen dan mitra dagang. Konsumen menganggap harga beras lokal terlalu mahal dibandingkan beras impor, sementara negara-negara lain melihat kebijakan ini sebagai bentuk proteksionisme yang tidak adil. Hal ini memperlihatkan dilema yang dihadapi Jepang dalam menjaga sektor pertanian tetap bertahan tanpa menghambat partisipasi dalam perdagangan global. Kedepannya Jepang perlu mencari strategi yang lebih efektif untuk menyeimbangkan perlindungan pertanian dengan adaptasi terhadap globalisasi. Salah satu solusinya adalah dengan mengembangkan teknologi pertanian yang lebih modern. Penggunaan drone dan kecerdasan buatan (AI) dalam pertanian dapat meningkatkan efisiensi serta menarik minat generasi muda untuk kembali ke sektor ini. Misalnya, proyek pertanian pintar di Prefektur Hokkaido telah menunjukkan potensi besar dalam meningkatkan produktivitas melalui teknologi modern (OECD, 2020).
ADVERTISEMENT
Selain itu, pendekatan diplomasi yang lebih fleksibel dapat membantu Jepang menjaga kepentingan nasional tanpa mengorbankan hubungan dagang. Misalnya, Jepang dapat mempromosikan produk pertaniannya sebagai barang premium di pasar global, sebagaimana telah dilakukan dengan daging sapi wagyu dan beras koshihikari. Dengan menonjolkan kualitas dan keunikan produk, Jepang dapat bersaing di pasar internasional tanpa harus bergantung pada proteksi yang berlebihan.Pengalaman Jepang dalam menghadapi tantangan kedaulatan pangan dapat menjadi pembelajaran bagi negara lain. Di tengah globalisasi, mempertahankan warisan pertanian dan mencapai kemandirian pangan bukanlah hal yang mudah, tetapi dengan kebijakan yang tepat, keseimbangan tersebut dapat dicapai. Jepang telah menunjukkan bahwa meskipun harus menyesuaikan diri dengan dinamika perdagangan global, negara tetap dapat melindungi petani lokal melalui kebijakan yang inovatif. Dengan demikian, strategi Jepang dalam menyeimbangkan antara perlindungan budaya dan tekanan global dapat menjadi model bagi negara lain yang menghadapi tantangan serupa. Keberlanjutan strategi ini bergantung pada bagaimana Jepang menyesuaikan kebijakan di masa depan. Inovasi teknologi, dukungan bagi petani muda, serta diplomasi perdagangan yang lebih cermat akan menjadi faktor penentu keberhasilan Jepang dalam menjaga kedaulatan pangannya.
ADVERTISEMENT
Referensi
Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries (MAFF). (2020). Annual report on food, agriculture, and rural areas in Japan. Retrieved from https://www.maff.go.jp
World Trade Organization (WTO). (2015). Trade policy review: Japan. Retrieved from https://www.wto.org
United States Department of Agriculture (USDA) Foreign Agricultural Service. (2019). Japan: Grain and feed annual report. Retrieved from https://www.fas.usda.gov
Mulgan, A. G. (2018). The politics of agriculture in Japan. Routledge.
Honma, M., & Hayami, Y. (2009). Distortions to agricultural incentives in Japan. World Bank.
Japan External Trade Organization (JETRO). (2021). Japan’s agriculture and food sector: Challenges and opportunities. Retrieved from https://www.jetro.go.jp
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2020). Agricultural policy monitoring and evaluation 2020: Japan. Retrieved from https://www.oecd.org
ADVERTISEMENT
Coulmas, F. (2021). Japan’s food security in a globalized world. Springer.
Shimizu, K. (2017). The transformation of Japanese agriculture: Policy and institutional reform. Asian Economic Policy Review, 12(1), 1-18. https://doi.org/10.1111/aepr.12156
Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries (MAFF). (2021). Statistics on agriculture, forestry, and fisheries in Japan. Retrieved from https://www.maff.go.jp