Isu Lingkungan Hidup dan Prospek Ekspor Sawit Indonesia

Jepri Edi
Peserta Sesdilu 63 Pusdiklat Kemlu
Konten dari Pengguna
24 Maret 2019 23:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jepri Edi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi industri perkebunan kelapa sawit (Sumber: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi industri perkebunan kelapa sawit (Sumber: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan produsen dan pengekspor terbesar minyak kelapa sawit di dunia. Lebih dari separuh produk kelapa sawit dunia dihasilkan di Indonesia. Pada tahun 2018, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 34,71 juta ton atau lebih dari dua per tiga keseluruhan produksi sawit Indonesia. Nilai devisa yang dihasilkan dari ekspor sawit ke pasar luar negeri tersebut diperkirakan mencapai 20,54 miliar USD dan menjadikan sawit komoditas non-migas penyumbang devisa terbesar Indonesia.
ADVERTISEMENT
Produksi dan ekspor minyak sawit Indonesia menunjukkan trend peningkatan dari tahun ke tahun. Menurut data Kementerian Pertanian RI, pada tahun 2008 produksi sawit Indonesia adalah sebesar 17,54 juta ton. Jika dibandingkan dengan produksi tahun 2018 sebesar 47,4 juta, rata-rata setiap tahunnya terdapat kenaikan produksi sawit hampir 3 juta ton.
Demikian juga halnya dengan nilai ekspor sawit Indonesia yang pada tahun 2004 baru sebesar 1,06 miliar USD, sementara tahun 2018 telah mencapai 20,54 miliar USD. Statistik di atas menunjukkan prospek positif industri sawit Indonesia, baik dari sisi produksi maupun nilai ekspor.
Ilustrasi persebaran produksi kelapa sawit dunia, dimana Indonesia dan Malaysia saat ini menguasai lebih dari 80% produksi sawit dunia (sumber: Wikimedia Commons)

Kampanye Negatif terhadap Industri Sawit

Perkembangan positif industri dan ekspor sawit di atas tidak terjadi begitu saja. Dalam satu dekade terakhir, industri sawit menghadapi 'kampanye negatif', baik di dalam maupun luar negeri. Isu utama dalam kampanye negatif tersebut adalah pandangan bahwa industri kelapa sawit tidak ramah lingkungan. Pengelolaan dan pembukaan lahan perkebunan sawit yang terjadi secara masif di Indonesia dalam dua dekade terakhir dinilai tidak sustainable, mengakibatkan kerusakan lingkungan, deforestasi, dan gangguan terhadap keanekaragaman hayati.
ADVERTISEMENT
Terdapat dua pandangan menyikapi kampanye tersebut. Pihak yang pro memandang itu sebagai bentuk kepedulian pada isu perlindungan lingkungan hidup dan perubahan iklim. Pihak yang kontra menilai kampanye tersebut sebagai upaya pesaing untuk menghambat laju produksi dan ekspor minyak sawit yang terus tumbuh dari tahun ke tahun. Sementara itu, belum terdapat kajian akademik yang konklusif tentang dampak signifikan industri sawit terhadap kerusakan lingkungan hidup dan deforestasi sebagaimana dituduhkan di atas.
Ilustrasi 'Palm Oil Free' Labelling pada Produk Makanan (Sumber: forfreechoice.org)
Kampanye tuduhan dampak negatif sawit terhadap lingkungan hidup terutama terjadi di negara-negara maju, salah satunya Uni Eropa (UE). UE merupakan importir kedua terbesar produk kelapa sawit Indonesia. Adapun tiga negara anggota UE yang merupakan importir terbesar sawit Indonesia adalah Belanda, Italia, dan Spanyol.
ADVERTISEMENT
Di tengah gencarnya 'kampanye negatif' di atas, ekspor sawit Indonesia ke UE hingga tahun 2018 tetap menunjukkan grafik peningkatan. Harian Republika (22 Maret 2019), berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) misalnya, mencatat kenaikan sebesar 851% ekspor biodiesel Indonesia ke UE atau dari 164 ribu kiloliter pada 2016 menjadi 1,56 juta kiloliter pada 2018.
Ilustrasi industri kelapa sawit dari hulu ke hilir (sumber: shutterstock.com)

Isu Lingkungan Hidup dan Prospek Ekspor Sawit

Sawit untuk biodiesel memang menunjukkan peningkatan, tidak hanya di Indonesia melalui kebijakan B-20, tapi juga di negara-negara lain seperti UE di mana sekitar 45% impor minyak sawitnya digunakan untuk biodiesel. Sawit menduduki peringkat kedua sumber biodiesel UE. Sumber biofuel terbesar UE saat ini berasal dari rapeseed oil yang banyak diproduksi oleh industri pertanian UE.
ADVERTISEMENT
Penggunaan sawit sebagai sumber bahan bakar nabati (biofuel) menunjukkan peningkatan seiring dengan upaya global untuk beralih dari sumber energi berbahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan (renewable energy). UE, sebagai salah satu penyokong utama kampanye perlindungan lingkungan hidup dari dampak perubahan iklim, memasang target yang tinggi dalam hal pengurangan emisi gas rumah kaca. Salah satunya, melalui peningkatan target penggunaan renewable energy di UE.
Pada Desember 2018, UE mengadopsi kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) yang menetapkan target konsumsi 32% renewable energy di UE pada tahun 2030. Target UE ini patut disambut baik dalam rangka mengurangi dampak perubahan iklim. Akan tetapi, ia kemudian dipertanyakan ketika Komisi Eropa pada 13 Maret 2019 mengadopsi Delegated Act atau aturan implementasi RED II yang menetapkan kelapa sawit sebagai tanaman pangan berisiko tinggi berdasarkan metodologi Indirect Land Use Change (ILUC) dan tidak dapat diklaim sebagai sumber renewable energy UE pada 2030. Delegated Act tersebut akan berlaku jika dalam dua bulan setelah diadopsi tidak mendapatkan penolakan dari Parlemen Eropa dan Dewan Eropa.
ADVERTISEMENT
Delegated Act tersebut tidak secara langsung melarang impor sawit untuk biodiesel UE. Tapi, ia secara tidak langsung mengurangi insentif penggunaan minyak sawit sebagai sumber energi terbarukan yang menjadi target negara-negara anggota UE berdasarkan RED II. Klaim renewable energy biofuel dari sawit di UE akan dikurangi hingga 0% pada 2030.
Regulasi UE di atas dinilai produsen sawit, termasuk Indonesia, sebagai tindak diskriminatif terhadap produk sawit. Hal ini mengingat hanya produk sawit yang masuk kategori risiko tinggi berdasarkan metodologi ILUC yang dipakai UE. Sementara, sumber bahan bakar nabati seperti rapeseed oil dan sunflower oil yang diproduksi industri pertanian UE masuk kategori low risk dan dapat diklaim sebagai sumber renewable energy jika telah tersertifikasi. Metodologi ILUC yang dipakai UE dipertanyakan dan dinilai tidak cocok diterapkan di negara tropis.
ADVERTISEMENT
Sekiranya Delegated Act II tersebut berlaku, Indonesia berencana untuk membawa isu ini ke World Trade Organization (WTO). Regulasi UE tersebut dinilai sebagai tindak 'diskriminatif' yang menghambat perdagangan bebas produk sawit atau biodiesel dengan menggunakan alasan lingkungan hidup.
Sebagai kesimpulan, penting bagi Indonesia untuk melawan kampanye negatif terhadap sawit sebagai produk tidak ramah lingkungan, seperti melalui WTO, untuk menjaga tren positif dan masa depan ekspor sawit Indonesia. Sulit untuk mendorong ekspor sawit sebagai sumber energi terbarukan, jika stigma sawit sebagai produk yang tidak ramah lingkungan melekat kuat. Ini mengingat semangat dari penggunaan renewable energy adalah untuk mengurangi dampak lingkungan yang dihasilkan fossil fuels.
Hal ini juga akan berdampak terhadap ekspor sawit untuk produk pangan dan lainnya, mengingat makin tingginya kepedulian konsumen akan nilai tambah produk ramah lingkungan.
ADVERTISEMENT