Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Indonesia Bisa Belajar Dari Etika Privasi Sosial Media di Jepang
14 Januari 2025 10:50 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Jeremy Sugiarto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Privasi dan Batasan Sosial, Dua Dunia yang Berbeda
Banyak orang Jepang memisahkan kehidupan pribadi dan pekerjaan dengan sangat ketat. Media sosial sering digunakan untuk bersosialisasi dengan teman dekat atau keluarga, bukan untuk urusan kerja. Sehingga mengikuti atasan atau teman kerja di media sosial tanpa persetujuan mereka bisa dianggap sebagai pelanggaran privasi.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan orang Indonesia yang memiliki budaya “Tak Kenal, Maka Tak Sayang” yang penerapannya dilakukan dengan logika yang salah yaitu langsung meminta untuk berteman di sosial media tanpa memikirkan privasi demi status relasi.
Jika terpaksa untuk mengikuti norma sosial, banyak orang Jepang menggunakan cara dua akun media sosial: satu untuk urusan pribadi (sering anonim) dan satu untuk urusan profesional atau hubungan publik. Hal ini dilakukan untuk menjaga batasan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan.
Orang Indonesia pun bisa belajar untuk mulai menggunakan dua akun yang jika dilihat melalui garis besar sendiri adalah pemisah antara dunia profesional dan privasi sendiri tetapi dalam dunia virtual. Kegunaannya dua akun juga dapat meminimalisir kesalahpahaman atau memberikan kebebasan dunia maya tanpa beban opini orang yang belum dapat kita percaya.
ADVERTISEMENT
Nama adalah Sakral
Jepang adalah "masyarakat tertutup" dalam banyak hal. Tempat lahir dapat menentukan peluang, bias, dan jaringan seseorang. Ada banyak profiling yang dilakukan oleh calon pemberi kerja, calon pasangan, dan calon tuan tanah, diskriminasi berdasarkan tempat asal atau dari asal keluarga berasal masih sering dijumpai, terutama di perusahaan atau jaringan konservatif. Misalnya, alamat lahir orang dianggap sebagai informasi yang sangat pribadi karena orang yang lahir di daerah tertentu didiskriminasi secara berat dan sering diserang, kasus ini disebut dengan Burakumin.
Hal lainnya adalah sebagai masyarakat tertutup, tidak ada tempat pelarian atau bersembunyi karena apa yang dikatakan seseorang dapat tercermin pada perusahaan dan keluarga seseorang. Bagi banyak orang Jepang, rasa takut karena pencemaran nama baik keluarga atau perusahaan mereka adalah hal yang nyata. Selain itu yang ditakutkan adalah pembalasan atau dibuang oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam hidup sehari-hari orang Indonesia, nama sering kali diucapkan dengan lantang, nama lengkap diberikan kepada setiap orang yang bertanya, yang menjadikan nama panggilan dan keluarga sederajat untuk publik. Jika rakyat Indonesia ingin belajar untuk menjaga nama baik maupun keamanan keluarga, alangkah lebih baik hanya memberikan nama panggilan kepada yang bertanya selain keluarga dan teman dekat.
Salah satu kasus yang sering terjadi di Jepang adalah karyawan yang menuliskan nama belakang dan bahkan terkadang nama lengkap pada name tag mereka yang kemudian ditulis dalam kanji atau katakana (terutama untuk staf layanan asing). Sayangnya, ini memberikan kesempatan bagi pelaku pelecehan untuk menargetkan karyawan tertentu di media sosial. Dengan mendapatkan informasi pribadi karyawan tersebut, pelaku pelecehan dapat menggunakan informasi pribadi tentang karyawan tersebut untuk mencari akun media sosial pribadi mereka.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi hal ini, tempat kerja maupun pemerintah mengizinkan karyawan di Jepang untuk mengubah penulisan nama mereka pada name tag. Misalnya, toko serba ada Family Mart dan Lawson mengizinkan karyawannya untuk menggunakan nama samaran sebagai pengganti nama asli mereka. Mereka juga mengizinkan karyawan untuk menggunakan inisial huruf Romawi sebagai pengganti nama lengkap mereka.
Sebuah kasus menarik dari Jepang beserta solusi yang mereka dapatkan. Jika orang Indonesia dapat mempraktekan privasi sosial media atau nama mereka dalam kehidupan sehari-hari dan dalam dunia profesional, maka Indonesia dapat mengurangi tingkat serangan cyberbullying dan naiknya tingkat profesionalitas dalam dunia kerja.