Pengembangan Sumber Energi Terbarukan: Jangan Cuma Pajak Karbon yang Digaungkan

Jerrycho Tectone Akbar Jayanegara
Pegawai negeri sipil di lingkungan Kementerian Keuangan
Konten dari Pengguna
11 Januari 2022 21:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jerrycho Tectone Akbar Jayanegara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pengembangan sumber energi yang terbarukan dan ramah lingkungan sebagai jawaban atas ancaman pemanasan global. Sumber: freepik
zoom-in-whitePerbesar
Pengembangan sumber energi yang terbarukan dan ramah lingkungan sebagai jawaban atas ancaman pemanasan global. Sumber: freepik
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa waktu yang lalu, pemerintah Republik Indonesia resmi mengenalkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Melalui undang-undang ini, pemerintah Indonesia berharap bisa mewujudkan sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel.
ADVERTISEMENT
Terdapat beberapa kebijakan yang diatur oleh undang-undang ini, tetapi satu bab menjulang tinggi dibanding yang lain, yakni pajak karbon. Berdasarkan pasal 13 UU HPP, pajak karbon didefinisikan sebagai pajak yang dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.
Kehadiran pajak karbon merupakan pertanda baik tidak hanya bagi masyarakat Indonesia, tetapi bagi masyarakat dunia. Ratifikasi pajak karbon bisa dianggap sebagai komitmen pemerintah Republik Indonesia untuk turut menyelamatkan bumi dari bencana yang disebabkan oleh pemanasan global. Perlu diketahui bahwa bencana akibat pemanasan global ini bukan merupakan bencana fiksional seperti di film 2012, melainkan bencana nyata yang sifatnya global, seperti di film 2012.
Perubahan iklim yang ekstrem, pencairan es di Kutub Utara, kenaikan permukaan air laut, kebakaran hutan, dan kegagalan panen merupakan segelintir bencana yang bisa timbul jika isu pemanasan global tidak benar-benar diselesaikan. Layaknya acara menonton film bersama keluarga yang menjadi canggung karena ada adegan dewasa yang tiba-tiba muncul, pemerintah Indonesia harus siap dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi setelah penerapan pajak karbon. Kebijakan pajak karbon harus diikuti dengan kebijakan lanjutan yang sesuai dengan tujuan utama dari pajak karbon, sama halnya dengan keluarga tadi yang harus bersiap jika anak mereka memiliki pertanyaan terkait apa yang baru saja mereka lihat.
ADVERTISEMENT
Pajak karbon saja tidaklah cukup. Pemerintah harus lebih serius dalam menyikapi ancaman pemanasan global. Terlebih lagi, sikap pemerintah terhadap isu lingkungan belakangan ini sempat mengundang tanda tanya besar mengenai keseriusan pemerintah dalam menyelamatkan bumi dari ancaman pemanasan global. Sikap tersebut seperti pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, Siti Nurbaya Bakar, yang mengatakan bahwa pembangunan infrastruktur tidak boleh dihentikan atas nama deforestasi. Pernyataan tersebut berbeda 180 derajat dengan pernyataan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, di Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2021 ke-26 (COP26) yang digelar di Glasgow, Skotlandia, di mana presiden mengatakan bahwa perubahan iklim adalah ancaman global dan solidaritas antar negara diperlukan untuk mengatasinya.
Pajak karbon merupakan langkah awal yang bagus. Akan tetapi, langkah ini harus disikapi lebih dari sekedar sarana percepatan pemulihan ekonomi akibat pandemi covid-19. Lagi pula, ekonomi yang pulih tidak akan berarti apa-apa jika untuk sekedar hidup dan menikmati hari saja kita tidak bisa. Jika pajak karbon saja tidak cukup, lantas apa yang perlu dilakukan? Untuk mengatasi permasalahan ini, UU HPP pasal 13 yang mengatur tentang pajak karbon menyatakan bahwa pengenaan pajak karbon harus memperhatikan peta jalan pajak karbon dan peta jalan pasar karbon.
ADVERTISEMENT
Peta jalan pajak karbon sendiri memuat beberapa hal, tetapi pembahasan selanjutnya akan berfokus pada satu hal, yakni keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan. Tidak bisa ditampik bahwa keberadaan pajak karbon akan mengerek naik harga barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.
Keadaan ini bisa menyebabkan kekosongan pasokan energi sebagai akibat oleh berkurangnya/hilangnya penggunaan sumber energi yang menghasilkan emisi karbon. Di skenario yang ideal, keadaan ini bukan menjadi masalah karena selalu ada sumber energi alternatif yang lebih ramah lingkungan yang tersedia untuk dipanen. Namun, keadaan di dunia nyata tidak selau sesuai dengan angan-angan manusia.
Mari kita sejenak menengok ke Cina. Negara ini beberapa waktu belakangan mulai mengurangi ketergantungannya akan sumber energi dari batu bara dan mulai beralih ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan, seperti angin dan sinar matahari. Tentu aneh rasanya jika menjelang akhir tahun 2021, terdapat kabar yang menyatakan bahwa negara ini mengalami krisis energi yang parah.
ADVERTISEMENT
Krisis ini menghentikan laju manufaktur barang secara besar-besaran, memaksa perusahaan untuk mengurangi jam kerja, dan menyebabkan 20 dari 31 provinsi di Cina untuk melakukan pemadaman listrik secara berkala. Terdapat banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut, seperti larangan impor “emas hitam” dari Australia, banjir di salah satu provinsi pemasok batu bara, dan, yang tidak boleh dilewatkan, ambisi Cina untuk mengurangi emisi karbon. Cina mewajibkan semua provinsi di negaranya untuk menurunkan emisi karbon ke tingkatan yang dirasa aman. Provinsi yang gagal memenuhi target tersebut akan direspon dengan penjatahan penggunaan listrik.
Memang sekilas kebijakan tersebut terlihat seperti kebijakan yang revolusioner. Suatu langkah yang seharusnya kita ambil sejak dulu. Namun, perlu diketahui bahwa setiap tindakan yang kita lakukan memiliki konsekuensi yang bisa menyelamatkan atau justru mencelakakan. Dan sayangnya, celaka justru menimpa Cina. Ekonomi yang mulai pulih yang tidak diimbangi dengan pasokan energi yang cukup dan ambisi Cina untuk menurunkan emisi karbon secara drastis tanpa diimbangi dengan plan B, plan C, D, E, dst menyebabkan Cina terjerembab ke dalam jurang krisis energi yang dampaknya tidak hanya terjadi di Cina, tetapi bisa menyebar ke negara-negara lain. Hal ini lah yang harus dijadikan perhatian oleh pembuat kebijakan di Indonesia. Indonesia harus memastikan bahwa langkah untuk menghindar dari suatu krisis tidak membuat Indonesia terjebak di krisis yang lain.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, pajak karbon tidak boleh disikapi sebagai sarana untuk mengumpulkan pundi-pundi penerimaan negara semata. Kebijakan ini merupakan langkah awal yang bagus bagi pemerintah Indonesia untuk lebih memperhatikan lingkungan hidup. Oleh karena itu, kebijakan ini harus diikuti dengan kebijakan lanjutan untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak berhenti hanya di pajak karbon, tetapi berlanjut ke pengembangan sumber daya energi alternatif yang ramah lingkungan.
Dan, yang tidak kalah penting, semoga semangat menyelamatkan bumi ini bukan hanya ajang silat lidah para pemimpin dunia semata, melainkan komitmen nyata yang diwujudkan dengan tindakan. Beberapa orang berpendapat bahwa dunia merupakan panggung sandiwara dan hal itu kemungkinan benar adanya. Akan tetapi, semua sandiwara tersebut tidak akan berarti apa-apa jika “panggung” ini harus lenyap karena beberapa orang lebih mementingkan publisitas dan reputasi ketimbang menyelesaikan permasalahan yang ada.
ADVERTISEMENT