Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
30 Ramadhan 1446 HMinggu, 30 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Pembelajaran Teater Tanpa Kolaborasi Aksi Ciamik, Dampaknya?
5 Desember 2020 11:44 WIB
Tulisan dari Jesyischa Rizky Devista tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Polemik Pembelajaran Teater

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Pandangan pelajar terhadap teater bak dua sisi mata koin. Ada yang telah dekat, dan ada yang mungkin masih awam hingga semuanya masih tersekat. Ketidakpahaman, tak menemukan solusi selain pembelajaran yang efektif dan efisien, agar pemahaman peserta didik akan maksimal.
Apa yang Dimaksud dengan Teater?
Teater adalah suatu kegiatan manusia yang secara sadar menggunakan tubuhnya sebagai alat atau media utama untuk menyatakan rasa dan karsanya mewujud dalam suatu karya (seni). Di dalam menyatakan rasa dan karsa-nya itu, alat atau media utama ditunjang oleh unsur-unsur: gerak, suara, (dan/atau) bunyi, (dan/atau) rupa (Riantiarno, 2011: 1).
Bagi pelajar, mungkin saja teater menjadi kegiatan yang menarik dan menyenangkan untuk digeluti, terlebih apabila bermain peran membawa keuntungan lain, seperti bisa bolos dari mata pelajaran yang membosankan, dan sebagainya. Namun, yang menjadi perhatian penulis adalah perihal bagaimana pembelajaran teater di sekolah ini bekerja. Bagaimana pelajar mendapatkan ilmu dari pembelajarannya, atau bagaimana pula ilmu tersebut diimplementasikan dalam pementasan. Rumit? Seperti hubungan, bukan? atau mungkin lebih parah?
ADVERTISEMENT
Bagaimana Polemiknya?
Tak banyak sekolah yang memiliki guru nan kompeten untuk bidang teater. Bahkan, tak jarang mata pelajaran praktik ini diampu oleh guru seni, sehingga esensi untuk mendalaminya hilang entah kemana, hanya demi tugas melunturkan kewajiban dibalut rasa formalitas belaka. Ya, inilah polemik pembelajaran teater yang akan kita bahas, siapkan terlebih dahulu kopi mu, jangan terlalu serius, yang serius belum tentu tulus. *eh.
Polemik pertama menurut hemat penulis adalah tak banyaknya guru yang menguasai kompetensi pengajaran teater ini, sehingga tugas untuk memberikan pengetahuan terkait ini diambil alih oleh guru yang mengampu mata pelajaran seni budaya. Tentu, penulis tak bilang bahwa ini salah, hanya saja, penulis rasa kolaborasi keduanya akan terasa lebih sempurna. Sepakat?
ADVERTISEMENT
Dalam pembelajaran teater, kita tak hanya akan menekuni bagaimana visualisasi panggung, namun juga akan membedah naskah, yang di dalamnya akan meliputi penentuan bagaimana gerak gerik pemain saat di panggung. Bedah naskah tak bisa dilakukan tanpa turut membedah bagaimana intrinsik dari naskah tersebut. Bagaimana suasananya, bagaimana aktualiasinya dalam pementasan, dan masih banyak lagi tentunya.
Sementara itu, tata kostum, tata make-up, set panggung juga tak bisa dianggap remeh. Pelajar tentu perlu pengetahuan dan ilmu lebih terkait hal tersebut, sehingga di sini guru seni akan berperan. Oleh sebab itu, seharusnya antara guru pengampu mata pelajaran bahasa Indonesia dan seni saling berkolaborasi untuk ciptakan sebuah aksi nyata, yakni memunculkan rasa cinta teater sejak dini dalam diri pelajar.
ADVERTISEMENT
Kekurangan tenaga pengajar bahasa Indonesia yang kompeten di bidang teater ini juga akan berdampak pada munculnya polemik kedua, yakni pemilihan-pemilihan naskah yang kurang memiliki nilai pengajaran tentang makna kehidupan. Tak jarang, naskah-naskah yang dipentaskan hanya naskah karangan sendiri, yang belum tentu cukup memiliki nilai moral yang tinggi. Padahal, apabila sejak dini pelajar diperkenalkan naskah-naskah sarat pesan moral, tentu saja teater tak hanya ‘sekadarnya’, namun ‘segalanya’.
Selain itu, menurut hemat penulis polemik ketiga dari pengajaran teater ini menurut hemat penulis adalah minimnya sekolah yang memiliki ruang pertunjukan, atau aula pertunjukan. Terlebih, untuk sekolah-sekolah kecil, yang terletak jauh dari ibukota, tentu tak akan ada ruang pertunjukan atau aula pertunjukan yang memadai untuk pembelajaran teater.
ADVERTISEMENT
Tak jarang, sekolah-sekolah tersebut menggunakan ruang kelas, yang disulap seadanya agar bisa menjadi sebuah ruang pementasan. Dengan segala keterbatasan dan kekurangan, maka penulis menilai pengajaran dan pembelajaran teater tersebut hanya untuk melunturkan tugas agar gugur satu indikator pencapaian siswa.
Polemik keempat yang turut membersamai, adalah jarangnya pelajar diajak untuk turut menyaksikan bagaimana sebuah pertunjukan teater yang ‘betulan’ ini berlangsung. Sebut saja penulis, sebelum masuk ke program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, penulis bahkan tak tahu bahwa dalam berteater harus ada proses bedah naskah, tak tahu bahwa ada yang namanya TIM, tempat berkumpulnya pegiat-pegiat teater, tak tahu bahwa ‘teater’ adalah sebagaimana yang penulis saksikan selama menempuh pendidikan tinggi.
ADVERTISEMENT
Apalagi, pelajar-pelajar yang menempuh pendidikan di luar pulau Jawa, tentu saja keasingan terhadap bagaimana bentuk pertunjukan teater ini akan semakin bertambah. Jika tak pernah menyaksikan, logikanya mana bisa mempelajari dengan maksimal dan memberikan kesan?
Selain itu, polemik keempat ini turut menjadi latar belakang lahirnya polemik kelima, yakni setelah tak pernahnya pelajar di beberapa daerah menyaksikan secara langsung proses pementasan teater, maka tenaga pendidik ada yang tak bisa menghadirkan media pembelajaran yang memadai, seperti pemanfaatan kanal YouTube, dan sebagainya untuk memberikan kesempatan pada pelajar mengintip bagaimana teater-teater yang ada melakukan sebuah pementasan.
Tenaga pendidik yang tak menguasi ilmu-ilmu teater, kurangnya kolaborasi aksi antara guru pengampu pelajaran bahasa Indonesia dan seni, sarana prasarana yang tidak memadai, pemanfaatan media pembelajaran yang kurang maksimal, serta terget pelaksanaan pembelajaran yang hanya sekadar untuk menggugurkan tugas, membuat polemik pembelajaran teater di beberapa sekolah semakin meningkat dan kompleks.
ADVERTISEMENT
Beberapa hal perlu dibenahi, agar pembelajaran teater tak hanya ‘sekadarnya’, agar polemik-polemik sederhana tak berkolaborasi memunculkan polemik baru yang jauh lebih rumit untuk dicari segudang solusi.
Teater tak bisa diajarkan hanya untuk menggugurkan tugas yang tertuang dalam rancangan pembelajaran, namun teater harus dijadikan ruang agar pelajar tumbuh dan saling menghidupkan, menghidupkan rasa cinta. Cinta akan dunia peran, dan cinta akan sesuatu yang ada dalam naskah yang dimainkan.
Sastra tak pernah sebercanda itu hadir menyapa kita semua. Sastra memiliki nilai jual yang tak bisa disepelekan. Sastra, adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Sastra “menyajikan kehidupan” dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga “meniru” alam dan dunia subjektif manusia (Wellek & Warren, 1989: 98).
ADVERTISEMENT
Sastra dengan realita sosial yang ada di dalamnya, hadir agar pelajar dapat mencari makna, dan esensi dari hidup yang berjalan jauh sebelum kehidupannya ada. Sastra dan pesan tersiratnya, adalah surga ilmu bagi orang-orang yang tahu dan mau untuk belajar serta berusaha mendalaminya.
Semangat untuk menciptakan pembelajaran teater yang jauh lebih baik dan berkualitas, walau di tengah situasi, kondisi, dan realita yang masih serba terbatas.
Sumber Referensi
Riantiarno, N. Kitab Teater: Tanya Jawab Seputar Seni Pertunjukan. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. 2011.
Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusasteraan, Terj. Melani Budianta. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 1989.