Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menonton Film Horor, Terapi atau Trauma?
29 April 2024 9:33 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Jessyca Widya Pratiwi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa bulan terakhir, bioskop Indonesia dipenuhi dengan film-film horor yang menguji nyali. Sebagian orang menghindarinya karena menakutkan, tapi sebagian lainnya menikmatinya. Apakah kamu salah satu penggemar genre film ini?
ADVERTISEMENT
Sensasi Film Horor
Film horor membuat penontonnya cemas, merinding, tapi ada rasa penasaran dan ketagihan. Jadi, mengapa kita membayar lebih hanya untuk dibuat menggigil ketakutan?
Michelle Park dalam tesisnya yang berjudul The Aesthetics and Psychology Behind Horror Films merangkum beberapa teori mengapa kita menonton film horor. Diantaranya ada teori dari psikoanalisis terkenal, Sigmund Freud yang berpendapat bahwa film horor bertujuan untuk menyoroti keinginan, ketakutan, dan desakan yang terkubur jauh di alam bawah sadar.
Ketakutan akibat menonton film horor dapat membantu kita “membersihkan” pikiran negatif dan kecemasan terhadap dunia nyata. Aristoteles, seorang filsuf Yunani memperkenalkan proses pembersihan tersebut sebagai “katarsis”. Ketegangan yang tercipta akibat film horor justru dapat menjadi pelepasan fisik dan emosional. Bahkan, ada individu tertentu yang sengaja mencari rasa takut itu untuk memicu adrenalin. Apakah kamu salah satunya?
ADVERTISEMENT
Reaksi dalam Tubuh
Film horor membuat otak kita mengirimkan sinyal alarm ke seluruh tubuh. Produksi hormon kortisol dan adrenalin yang mengaktifkan sistem saraf otonom akan diproduksi lebih banyak. Hal ini menyebabkan terjadi perubahan pada tingkat fisiologis.
Reaksi alarm juga menyebabkan kontraksi pada otot-otot kaki dan lengan akibat rangsangan yang mengejutkan dan tiba-tiba. Selain itu, jumlah sel darah putih dan konsentrasi hematokrit juga meningkat yang membuat tubuh seolah-olah seperti bertahan hidup dari penyusup.
Jadi tidak heran, jika menonton film horor menyebabkan otot-otot menegang, telapak tangan berkeringat, dan degup jantung semakin kencang. Akan tetapi jangan khawatir, ketegangan itu akan diturunkan oleh saraf parasimpatis setelah otak menyadari bahwa ancaman yang kita lihat di layar tidaklah nyata.
ADVERTISEMENT
Neurosis Sinematik
Dibalik sensasinya yang menyenangkan, menonton film horor ternyata dapat berefek sebaliknya.
Penelitian yang berjudul The Effect of Watching Horror Film on Health Children and Adolescents in Indonesia menunjukkan dampak buruk film horor pada remaja 10-17 tahun. Mereka yang menonton film horor menunjukkan reaksi ketakutan, sulit tidur, kecemasan, terbayang-bayang oleh hal yang menakutkan, muncul keinginan untuk menyendiri, bahkan melakukan tindakan kekerasan terhadap diri sendiri dan orang tua.
Kumpulan gejala atau sindrom akibat menonton film dikaitkan dengan neurosis sinematik. Konten pada film dapat memicu kelompok beresiko, termasuk orang-orang dengan gangguan kesehatan mental untuk memiliki kecenderungan rentan terhadap trauma. Hal ini disebabkan karena pengalaman traumatis yang pernah mereka alami tetap ada dalam memori alam bawah sadar. Ketika ada pemicu, seperti film horor, pengalaman traumatis tersebut dapat muncul ke permukaan sehingga dapat membangkitkan emosi negatif yang tidak menyenangkan.
ADVERTISEMENT
Horror Films: Tales to Master Terror or Shapers of Trauma? menyebutkan bahwa benar film horor dapat mengatasi kecemasan. Di sisi lain, konten pada genre film ini dapat memicu adanya stress dalam dosis tertentu. Namun, ada faktor lain, mencakup faktor bio-psiko-sosio-kultural yang juga berperan dalam bagaimana stres ini dapat dikelola dan diproses.
Jadi ketika kamu tidak kewalahan dengan “dosis” stres akibat film horor, maka kecemasan yang muncul setelahnya dapat kamu kuasai. Sebaliknya, jika stres tidak bisa kamu kontrol, hal ini dapat menjadi peristiwa traumatis yang berdampak pada emosi dan perilaku yang negatif.