Konten dari Pengguna

Bergerak Bersama untuk Anak Indonesia Bebas Stunting

Farid Kasim Judas
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI), penikmat traveling dan Ngopi Bareng
24 Juli 2023 10:29 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farid Kasim Judas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penulis pada salah satu kegiatan keagaman di Palopo.
zoom-in-whitePerbesar
Penulis pada salah satu kegiatan keagaman di Palopo.
ADVERTISEMENT
Salah satu ikhtiar dari semangat kita bersama untuk menciptakan Indonesia Emas adalah meningkatkan jumlah anak Indonesia yang bebas dari stunting. Apalagi sebenarnya pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, target angka stunting diharapkan turun pada kisaran 14%.
ADVERTISEMENT
Ini artinya jika berkaca dari hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) beberapa tahun terakhir, menjadi ‘PR’ bersama bagi kita agar usaha untuk menciptakan Anak Indonesia bebas stunting itu tercapai.
Kerja cepat dan simultan harus segera dihadirkan. Apalagi sejak Agustus 2021, Presiden sampai menghadirkan Peraturan Presiden tentang Percepatan Penurunan Stunting. Dalam peraturan ini, pemerintah harus mempunyai output yang di antaranya angka stunting harus detail sampai pada tingkat kabupaten/kota dan dipublikasikan per tahun.
Sekilas mari kita lihat kondisinya. Meskipun terjadi penurunan dari tahun sebelumnya, yakni 24,4% (2021), angka stunting pada tahun 2022 masih tergolong sangat tinggi, yakni 21,6%. Mengapa dikatakan masih tinggi?
Anak pendek belum tentu stunting. Foto: Shutter Stock
Pertama tentu saja berdasarkan standar WHO yang menyatakan tingkat prevalensi stunting harus berada di bawah 20%. Kedua, jika dikaitkan dengan target RPJMN yang menetapkan angkanya menjadi 14% pada 2024. Setahun lagi. Artinya perlu penurunan lebih dari 3% agar target itu bisa tercapai. Tidak heran, di tahun 2023 ini target yang ditetapkan adalah pada angka 17,8%.
ADVERTISEMENT
Ketiga dan ini berkaitan dengan ciri khas bangsa Indonesia sebagai bangsa yang jumlah penduduknya tergolong besar. Termasuk penduduk yang berkategori anak usia dini. Menurut catatan BPS, setidaknya terdapat lebih dari 30 juta anak. Maka jika dikaitkan dengan angka-angka stunting di atas tadi, dapat kita taksirkan stunting itu masih bersemayam pada jutaan jiwa anak Indonesia.
Tentunya harapan kita bersama adalah pemerintah tidak sekadar mengejar target yang berbasis angka semata, namun lebih penting dari itu adalah usaha membebaskan anak Indonesia dari stunting harus memberikan dampak yang signifikan bagi setiap anak-anak Indonesia agar bisa hidup lebih baik.
Secara spesifik, pemerintah melalui unit kerja terkait pasti mempunyai langkah-langkah yang sudah terukur. Hanya saja yang perlu dipahami bahwa usaha membebaskan Indonesia dari stunting itu seharusnya bergerak secara komprehensif dan berkesinambungan.
Ilustrasi anak stunting. Foto: Shutterstock
Andai hanya intervensi pada satu titik saja dan kemudian hanya berharap pada penurunan angka stunting semata, maka dapat dipastikan permasalahan ini ditambah dengan segala macam turunannya tidak akan pernah usai. Malah semakin semrawut dan akhirnya masyarakat kembali menjadi objek yang paling menderita.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, menurut hemat penulis, ada 3 sisi krusial yang harus segera dibenahi terlebih dahulu. Pertama adalah pendidikan. Sudah menjadi rahasia bersama akses untuk mendapatkan pendidikan di Indonesia masih belum merata.
Tidak hanya secara statistik yang biasa kita lihat dari tahun ke tahun. Realitas yang ada di hadapan kita sehari-hari masih menunjukkan fakta bahwa persoalan pendidikan itu belum tuntas.
Belum tuntasnya juga terkait masih banyaknya kesadaran orang tua dalam memandang persoalan pendidikan hanya sebatas seremonial ke sekolah semata. Sementara itu, disisi lain masih banyak sekolah yang memandang pendidikan hanya sebatas kegiatan-kegiatan di sekolah saja.
Ilustrasi guru di sekolah inklusi. Foto: Shutter Stock
Selain itu, andai pun secara sekilas kita melihat hak-hak anak untuk sekolah telah terpenuhi, tapi jika mau jujur itu baru sebatas pemenuhan dasar semata. Baru pada standar bisa sekolah.
ADVERTISEMENT
Jika kita telisik lebih jauh terkait dengan pola belajar, guru yang mengajar, fasilitas pendukung, keamanan jajanan sekolah, pembekalan karakter dan lain sebagainya. Semakin terlihatlah adanya jurang yang sangat dalam antara anak-anak dengan berbagai tipe sekolahnya.
Belum satu frekuensinya paradigma orang tua dengan sekolah yang juga disertai dengan belum terpenuhinya hak untuk mendapatkan pendidikan yang merata tentu akan berpengaruh dengan cara pandang dan orientasi hidup seseorang.
Kelak, dari sini akan muncul berbagai masalah baru yang berkaitan dengan stunting. Misalnya pernikahan usia dini dan ketidaksiapan pasangan suami-istri dalam memelihara serta mendidik anaknya.
Ilustrasi pendidikan di Indonesia. Foto: Kemendikbudristek
Kedua, adalah terkait dengan tingkat kemiskinan yang masih bersemayam di Indonesia. Tidak bisa dipungkiri, kemiskinan dan pendidikan selalu memiliki korelasi yang kuat.
ADVERTISEMENT
Walau ada pandangan yang mengatakan bahwa salah satu mata rantai yang bisa memutuskan kondisi kemiskinan adalah dengan pendidikan.
Akan tetapi, disisi lain tidak sedikit temuan yang memberikan kesimpulan bahwa kemiskinan akan melahirkan kemiskinan selanjutnya meskipun sudah ditopang dengan pendidikan. Agaknya bisa jadi pendidikan yang dimaksud adalah seperti persoalan yang dibahas di atas tadi.
Padahal, permasalahan stunting pada anak sangat erat dengan kondisi sosial ekonomi para orang tua dan keluarga. Bagaimana mungkin mereka memikirkan tentang pola makan yang bergizi seimbang, sementara dalam kesehariannya berjibaku untuk memikirkan bagaimana esok hari masih bisa bertahan hidup?
Ilustrasi anak stunting. Foto: Shutter Stock
Menurut catatan BPS per September 2022, jumlah penduduk miskin tercatat sebesar 9,57% atau setara dengan 6,36 juta jiwa. Kabar buruknya angka-angka ini diprediksi melonjak lebih tinggi setelah Bank Dunia mengusulkan agar Indonesia perlu merevisi pola perhitungan kemiskinannya yang dianggap sudah tidak relevan dengan kondisi terkini.
ADVERTISEMENT
Akibat pola perhitungan yang dinilai sudah usang ini, diyakini upaya pengentasan kemiskinan selama ini tidak menyasar kepada mereka yang sebenarnya juga berkategori miskin. Ada kemiskinan yang tersembunyi dan jumlahnya bisa jadi lebih banyak.
Bahkan, jika melihat dari usulan Bank Dunia tersebut, diprediksi jumlah penduduk miskin di Indonesia meningkat menjadi 16 persen atau setara dengan 40 juta lebih jiwa.
Sisi krusial terakhir yang harus diatasi terkait dengan upaya penurunan kasus stunting di Indonesia adalah praktik korupsi. Semua kita pasti sepakat mengapa permasalahan pendidikan dan kemiskinan itu belum tuntas, salah satu jawaban utamanya karena praktik korupsi masih merajalela bermain di berbagai program-program suci yang mengatasnamakan pelayanan dan rakyat.
Untuk masalah korupsi ini tidak perlulah diuraikan panjang lebar. Kita semua sepertinya sudah tahu kondisinya. Bahkan di awal tahun ini, KPK membeberkan terdapat beberapa praktik pada penanganan prevalensi stunting yang berisiko menimbulkan korupsi.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, kita memang harus bisa untuk bergerak bersama untuk menciptakan masa depan anak bangsa agar lebih baik.
Dan, kita harus bergerak dari tiga hal krusial itu. Kita harus bisa!
*Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) dan penikmat Ngopi Bareng