Konten dari Pengguna

Filsafat Dicap Sesat, Nalar Ditinggalkan, Kebenaran Terabaikan

Jauhar Azfa Tsaqif Suryadi
Mahasiswa Hukum Tata Negara di UIN Jakarta dengan fokus pada filsafat dan hukum. Berupaya menghadirkan filsafat sebagai kebutuhan berpikir serta mendorong ketajaman nalar hukum dalam dinamika ruang publik.
13 Mei 2025 13:23 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Filsafat Dicap Sesat, Nalar Ditinggalkan, Kebenaran Terabaikan
Berpikir kritis kini dianggap menyimpang. Filsafat dicap sesat, padahal justru di sanalah akar dari banyak ilmu modern. Saat nalar ditinggalkan, kebenaran pun perlahan ikut menghilang.
Jauhar Azfa Tsaqif Suryadi
Tulisan dari Jauhar Azfa Tsaqif Suryadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi tokoh filsafat. Sunber foto: Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tokoh filsafat. Sunber foto: Pexels
Beberapa waktu lalu, saya mendengar seseorang berkomentar dengan nada mencibir, “Ngapain sih belajar filsafat? Itu ilmu sesat.” Kalimat itu dilontarkan begitu saja, tanpa beban, seolah-olah filsafat adalah sesuatu yang hina. Saya tidak langsung merespons, karena bukan kali pertama saya mendengarnya. Tapi di dalam hati, ada yang terusik. Mengapa pandangan seperti ini bisa sedemikian kuat mengakar?
ADVERTISEMENT
Filsafat hari ini sering dianggap sebagai ilmu yang tidak berguna, membingungkan, bahkan berbahaya. Padahal, sebagian besar dari apa yang kita anggap “ilmu modern” justru berakar pada pertanyaan-pertanyaan filsafat. Ilmu komputer lahir dari logika. Ilmu hukum dibangun di atas dasar etika. Ilmu fisika dimulai dari pertanyaan tentang realitas, ruang, dan waktu. Bahkan ilmu medis pun tidak bisa lepas dari filsafat alam dan filsafat moral.
Kita hidup di dunia yang ditopang oleh hasil pemikiran para filsuf, namun ironisnya, kita semakin menjauh dari semangat berpikir yang mendalam. Masyarakat kita lebih tertarik pada hasil instan daripada proses memahami. Kita menghargai kecanggihan teknologi, tetapi tidak merasa perlu mempertanyakan nilai di balik penggunaannya.
Di ruang kelas, siswa dituntut untuk menghafal, bukan untuk bertanya. Di masyarakat, orang yang mempertanyakan dianggap pembangkang. Bahkan di ruang digital, argumen rasional kerap dikalahkan oleh opini yang emosional. Maka jangan heran jika filsafat dianggap ilmu sesat. Bukan karena filsafat itu sesat, melainkan karena kemampuan berpikir kita yang mulai tumpul.
ADVERTISEMENT
Padahal, filsafat bukan sekadar teori rumit yang jauh dari realitas. Ia hadir dalam pertanyaan sehari-hari. Ketika kita bertanya apa arti keadilan, apa makna hidup, atau mengapa suatu keputusan itu salah atau benar, kita sebenarnya sedang berfilsafat. Kita hanya tidak menyadarinya.
Sayangnya, keberanian untuk bertanya telah digantikan oleh kenyamanan untuk mengikuti. Ketika orang-orang mulai takut berpikir kritis karena khawatir dianggap menyimpang, maka yang sesungguhnya sedang terjadi adalah kemunduran intelektual.
Menuduh filsafat sebagai ilmu sesat berarti menolak untuk menjadi manusia yang utuh. Sebab manusia bukan sekadar makhluk yang hidup, tetapi makhluk yang berpikir. Ketika berpikir dikesampingkan, maka kehidupan kehilangan arah. Kita akan mudah ditipu, mudah diprovokasi, dan mudah dikendalikan.
Bangsa ini tidak akan tumbuh dengan hanya mengulang-ulang slogan dan dogma. Kita butuh ruang untuk bertanya, ruang untuk meragukan, dan ruang untuk mencari makna. Semua itu hanya bisa hidup jika filsafat kembali diberikan tempatnya. Bukan sebagai ilmu asing yang menakutkan, tetapi sebagai kebutuhan dasar manusia modern.
ADVERTISEMENT
Jika hari ini masih ada yang mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu sesat, mungkin yang perlu dipertanyakan bukan filsafatnya, tetapi sejauh mana kita telah membiarkan akal sehat kita tertidur.