Konten dari Pengguna

Hak Konstitusional Belajar: Lebih dari Sekadar Duduk di Bangku Sekolah

Jauhar Azfa Tsaqif Suryadi
Mahasiswa Hukum Tata Negara di UIN Jakarta dengan fokus pada filsafat dan hukum. Berupaya menghadirkan filsafat sebagai kebutuhan berpikir serta mendorong ketajaman nalar hukum dalam dinamika ruang publik.
11 Mei 2025 15:28 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Tulisan dari Jauhar Azfa Tsaqif Suryadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ruang diskusi yang dibutuhkan oleh pelajar baik siswa maupun mahasiswa untuk meningkatkan pemikiran kritis. Sumber foto: Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ruang diskusi yang dibutuhkan oleh pelajar baik siswa maupun mahasiswa untuk meningkatkan pemikiran kritis. Sumber foto: Dokumentasi Pribadi
Setiap warga negara Indonesia dijamin haknya untuk memperoleh pendidikan. Itu bukan sekadar janji, tapi amanat konstitusi yang tercantum dalam Pasal 31 UUD 1945. Dalam praktiknya, pemerintah telah memperluas kebijakan wajib belajar menjadi 13 tahun, dari jenjang dasar hingga menengah atas. Tapi perlu dipertanyakan, apakah pendidikan yang dijalankan selama itu benar-benar menjawab kebutuhan zaman?
ADVERTISEMENT
Selama ini, indikator keberhasilan pendidikan masih banyak bertumpu pada angka kelulusan, nilai ujian, dan akreditasi. Padahal, pendidikan seharusnya membentuk cara berpikir. Sekolah bukan hanya tempat menuntaskan kurikulum, tetapi juga ruang untuk melatih logika, membangun argumen, dan memahami persoalan secara kritis.
Sayangnya, praktik pembelajaran yang menekankan hafalan masih mendominasi. Siswa jarang diberi ruang untuk bertanya atau berdiskusi. Padahal, tantangan di luar ruang kelas jauh lebih kompleks dari sekadar menjawab soal pilihan ganda.
Pendidikan yang bermutu bukan hanya soal akses, tapi juga isi. Negara memang telah menjamin bangku sekolah bagi anak-anak Indonesia, tapi apakah mereka benar-benar mendapat pengalaman belajar yang bermakna? Apakah mereka diajak berpikir, bukan hanya mengingat?
Di sinilah pentingnya melihat kebijakan wajib belajar tidak sekadar dari sisi kuantitas, tetapi juga kualitas. Belajar selama 13 tahun seharusnya tidak berhenti pada rutinitas administrasi dan target kelulusan. Pendidikan perlu diarahkan untuk membentuk warga negara yang kritis, sadar peran, dan mampu menghadapi tantangan masa depan.
ADVERTISEMENT
Guru memiliki peran sentral dalam proses ini. Lebih dari sekadar pengajar, guru seharusnya menjadi fasilitator yang mendorong siswa untuk berpikir mandiri. Di tengah kurikulum yang terus berkembang, pendekatan pengajaran yang dialogis dan terbuka akan jauh lebih relevan daripada metode ceramah satu arah.
Wajib belajar 13 tahun adalah langkah strategis. Tapi langkah ini akan kehilangan maknanya jika tidak diiringi dengan komitmen serius terhadap mutu pendidikan. Negara telah menjamin hak belajar lewat konstitusi. Tugas selanjutnya adalah memastikan bahwa hak itu benar-benar memberi ruang bagi siswa untuk tumbuh, memahami, dan berpikir.