Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.104.0
Konten dari Pengguna
Jurnalisme Kita Tersandera Politik, Konstitusi Tak Berkutik
11 Mei 2025 14:06 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Jauhar Azfa Tsaqif Suryadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Tak perlu menunggu tahun politik untuk melihat bagaimana media kita kerap terseret dalam pusaran kepentingan kekuasaan. Tapi memang, ketika suhu politik memanas, wajah asli jurnalisme Indonesia makin kentara. Tidak semuanya berdiri untuk publik, sebagian justru condong melayani kuasa.
ADVERTISEMENT
Padahal, konstitusi sudah memberi tempat yang sangat terhormat bagi kebebasan pers. Pasal 28F UUD 1945 secara gamblang menyebut bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Termasuk menyampaikan informasi lewat segala jenis saluran yang tersedia. Tapi sayangnya, di lapangan, kebebasan itu sering dibajak oleh narasi yang sudah dikemas, dipoles, bahkan dikendalikan.
Media yang seharusnya menjadi penjaga demokrasi, penjaga yang akan menggonggong jika ada yang salah, kini justru sibuk menjadi pemandu sorak bagi kekuasaan. Berita-berita yang naik ke permukaan bukan lagi soal penting atau tidaknya untuk masyarakat, tetapi soal cocok atau tidaknya dengan kepentingan pemilik modal dan elit politik.
Di sini letak masalahnya. Konstitusi memang memberi jaminan tertulis, tetapi tidak bisa menjamin bagaimana jaminan itu dijalankan. Negara seolah selesai tugasnya setelah menyediakan ruang hukum bagi kebebasan pers. Padahal kenyataannya, tanpa keberanian untuk menegakkan batas antara kekuasaan dan ruang redaksi, pasal-pasal itu hanya akan jadi pajangan.
ADVERTISEMENT
Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa banyak media hari ini sudah tidak lagi independen secara struktur. Relasi antara pemilik media dan elit politik terlalu dekat, terlalu nyaman. Maka tidak heran jika framing berita sering kali bukan semata strategi jurnalistik, melainkan strategi kekuasaan.
Lalu siapa yang menjaga pers tetap waras? Seharusnya publik. Tapi kalau publik terus dijejali informasi yang dibungkus rapi tapi penuh polesan kepentingan, bagaimana mereka bisa memilih dengan jernih?
Ini bukan sekadar persoalan etika jurnalistik. Ini soal keberlangsungan demokrasi. Jika pers sebagai pilar keempat demokrasi tidak lagi mampu menjaga jarak dengan kekuasaan, maka tumpuan kita pada sistem ketatanegaraan pun ikut goyah.
Dan sampai hari ini, konstitusi belum banyak bicara soal bagaimana menjaga integritas itu. Mungkin karena konstitusi memang hanya memberi ruang, bukan jawaban. Tapi menjaga agar ruang itu tidak penuh asap kepentingan adalah tanggung jawab bersama. Termasuk mereka yang masih percaya bahwa jurnalisme adalah soal keberpihakan pada kebenaran, bukan pada penguasa.
ADVERTISEMENT