Konten dari Pengguna

Negara Makin Gagal Paham, Mungkin Kita Butuh Filsafat

Jauhar Azfa Tsaqif Suryadi
Mahasiswa Hukum Tata Negara di UIN Jakarta dengan fokus pada filsafat dan hukum. Berupaya menghadirkan filsafat sebagai kebutuhan berpikir serta mendorong ketajaman nalar hukum dalam dinamika ruang publik.
12 Mei 2025 12:21 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Negara Makin Gagal Paham, Mungkin Kita Butuh Filsafat
Tingginya kekerasan massa dan dangkalnya diskusi publik menandakan krisis berpikir. Filsafat jadi kunci agar masyarakat kembali rasional, adil, dan bijak dalam memahami hukum dan realitas.
Jauhar Azfa Tsaqif Suryadi
Tulisan dari Jauhar Azfa Tsaqif Suryadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi seseorang yang sedang memikirkan ide-ide filsafat. Sumber foto: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi seseorang yang sedang memikirkan ide-ide filsafat. Sumber foto: Unsplash
ADVERTISEMENT
Di tengah kemiskinan berpikir dan maraknya respons instan yang membabi buta, pertanyaan sederhana ini patut kita renungkan: apakah filsafat masih punya tempat di republik yang tergesa-gesa ini?
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, seorang ibu paruh baya dituduh mencuri dua kilogram bawang di Boyolali. Ia dipukuli hingga bersimbah darah, dan rekaman videonya tersebar luas. Banyak yang menyalahkan si ibu. Banyak juga yang membenarkan massa. Tapi hanya segelintir yang bertanya: mengapa masyarakat lebih cepat menghukum daripada memahami?
Inilah gejala klasik masyarakat yang kehilangan kedalaman berpikir. Sebuah gejala yang bisa disebut sebagai krisis epistemik. Kita kehilangan kemampuan untuk bertanya sebelum bereaksi, untuk menimbang sebelum memvonis. Di sinilah filsafat seharusnya bekerja, bukan sebagai wacana elitis, tetapi sebagai panduan hidup publik.
Ironisnya, di Indonesia hari ini, filsafat kerap dianggap asing, bahkan mencurigakan. Dalam laporan riset WISE Indonesia 2024, 68 persen pelajar SMA mengaku tidak pernah diajarkan bagaimana membedakan opini dan fakta secara sistematis. Di perguruan tinggi, pendidikan filsafat semakin digerus oleh tuntutan vokasional. Rasionalitas dan logika dianggap tidak sepenting keterampilan kerja.
ADVERTISEMENT
Padahal sejarah membuktikan bahwa filsafat bukan sekadar tentang Plato atau Kant, tetapi fondasi berpikir etis dan rasional. Tanpa filsafat, hukum menjadi formalitas kosong. Politik berubah menjadi pertarungan retorika. Pendidikan pun tak lebih dari pabrik tenaga kerja.
Kita menyaksikan itu hari ini. Politik dijejali diksi-diksi bombastis yang dangkal. Kritik dibalas dengan sentimen pribadi. Diskusi publik berubah menjadi ajang saling serang, bukan saling paham. Filsafat, yang seharusnya menjadi latihan berpikir jernih, justru dikebiri atas nama efisiensi dan pragmatisme.
Pendidikan kita pun cenderung anti refleksi. Kurikulum diformat dengan logika cepat kerja dan hafalan. Dalam asesmen nasional 2023, hanya 27 persen siswa SMA mampu menalar teks argumentatif dengan benar. Ini bukan sekadar soal nilai ujian. Ini soal kemampuan masyarakat memahami dunia.
ADVERTISEMENT
Maka pertanyaannya bukan lagi apakah filsafat masih relevan.
Pertanyaannya adalah apa yang akan terjadi jika kita terus hidup tanpa filsafat.
Tanpa nalar kritis, tanpa keberanian untuk mempertanyakan asumsi dasar, kita akan terus hidup dalam dunia yang dikendalikan opini viral, bukan logika hukum. Kita akan semakin terbiasa menghukum tanpa berpikir, mengikuti arus tanpa menyelam.
Indonesia tidak kekurangan hukum, tetapi kekurangan kebijaksanaan. Dan kebijaksanaan tidak lahir dari insting, melainkan dari latihan berpikir yang dalam. Itulah yang diwariskan oleh tradisi filsafat selama ribuan tahun.
Jadi, kita memang butuh filsafat. Bukan hanya di ruang seminar, tetapi di sekolah, di ruang publik, dan di jantung kebijakan. Bukan agar semua orang menjadi filosof, tetapi agar tak seorang pun menjadi korban dari kebodohan yang terstruktur.
ADVERTISEMENT