Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Organisasi Mahasiswa dan Nalar yang Tersandera Sentimen
11 Mei 2025 14:06 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Jauhar Azfa Tsaqif Suryadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Kampus seharusnya jadi tempat pikiran tumbuh bebas. Tempat di mana gagasan diuji, ide disandingkan, dan nalar diasah lewat diskusi. Tapi apa jadinya jika organisasi-organisasi mahasiswa justru menjadikan kampus sebagai arena konflik yang dibungkus nama solidaritas?
ADVERTISEMENT
Banyak yang terlibat organisasi mahasiswa dengan semangat ingin belajar. Tapi di dalamnya, justru mereka belajar siapa lawan, bukan apa yang harus dipikirkan. Label menjadi tembok. Diskusi menjadi perang spanduk. Dan pertemanan pun diatur oleh warna bendera.
Ada organisasi yang melarang anggotanya bergaul dengan kelompok sebelah. Ada juga yang menganggap semua yang berbeda adalah ancaman. Padahal, mereka sama-sama mengangkat nama Mahasiswa. Sama-sama mengklaim sebagai pejuang intelektual muda. Tapi justru gagal membangun ruang intelektual yang sehat.
Ini bukan soal ego satu kelompok. Ini soal budaya yang gagal memisahkan kritik dengan kebencian. Kita terlalu sibuk memproduksi sentimen, tapi lupa bagaimana cara menyusun argumen. Kita sibuk menyerang personal, tapi malas merawat dialog.
Organisasi mahasiswa seharusnya jadi lokomotif perubahan. Tempat anak-anak muda ditempa untuk berpikir tajam, menyusun strategi sosial, dan berbicara untuk yang tertindas. Tapi kalau energi habis untuk saling menjatuhkan, bagaimana mungkin mereka bisa membangun negeri?
ADVERTISEMENT
Permusuhan ini lahir dari kekosongan nalar. Ketika logika ditinggalkan, yang tersisa hanya fanatisme. Dan fanatisme yang tidak dipandu akal sehat hanya akan melahirkan kebodohan yang terorganisir.
Sudah saatnya organisasi di kampus keluar dari kubu-kubuan sempit. Bukan berarti melebur, tapi belajar menghormati dan berdialog. Perbedaan tidak harus dilawan. Perbedaan seharusnya jadi ruang untuk saling belajar, bukan saling curiga.
Kita tidak butuh generasi yang hanya setia pada simbol. Kita butuh generasi yang tahu kenapa ia berpihak, dan bisa menjelaskan pilihannya tanpa harus merendahkan pilihan orang lain.
Karena kampus bukan medan perang. Ia adalah ladang pikiran. Dan tugas organisasi mahasiswa adalah merawat tanah itu agar subur oleh nalar, bukan racun sentimen.