Konten dari Pengguna

IUPK: Pembungkaman atau Demi Kesejahteraan Ormas

Jhodie Faja Agustian
Saya merupakan sarjana ilmu Pemerintahan, universitas Jenderal Achmad Yani.
6 Agustus 2024 12:33 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jhodie Faja Agustian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tambang memang sesuatu yang  menyilaukan/ https://www.canva.com/design/DAGNDaZCeEI/Qzlxx2KHayS4NiIzK8FAWg/edit
zoom-in-whitePerbesar
Tambang memang sesuatu yang menyilaukan/ https://www.canva.com/design/DAGNDaZCeEI/Qzlxx2KHayS4NiIzK8FAWg/edit
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kontroversi, itulah kata yang cocok untuk mewakili berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh rezim Jokowi menjelang akhir masa jabatannya. Oktober 2024 Jokowi akan menanggalkan jabatannya sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara Republik Indonesia, alih-alih membuat kebijakan yang berdampak positif dan memberikan sebuah legacy positif atas kekuasaannya selama 10 tahun, hal sebaliknya justru terjadi.
ADVERTISEMENT
Dikeluarkannya berbagai kebijakan kontroversial, mulai dari PP Nomor 21 Tahun 2024 Tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA), hingga yang terbaru mengenai terbitnya PP Nomor 25 Tahun 2024 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Muatan ini apabila dikaji lebih lanjut berlawanan dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Pasal 75 Ayat 2 yang tidak menyebutkan adanya pemberian IUPK kepada ormas keagamaan, pemberian IUPK hanya diberikan kepada BUMN, BUMD, dan sektor swasta sahaja.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hal demikian, pemberian izin tambang kepada ormas keagamaan dapat dikatakan menyalahi dan berlawanan dengan peraturan di atasnya (UU Nomor 3 Tahun 2020) yang telah dirumuskan jauh sebelum PP Nomor 25 Tahun 2024. Lebih lanjut, hal inipun tertuang dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Peraturan Perundang-Undangan yang menyebutkan bahwasanya kekuatan hukum “UU” lebih kuat kedudukannya dibandingkan dengan “PP”.
Dengan demikian, sudah seharusnya setiap norma dalam “PP” yang dikeluarkan oleh pemerintah harus mengacu dan selaras dengan norma peraturan yang ada di atasnya, entah itu UU/ketetapan MPR, maupun UUD itu sendiri.
Hal ini sejalan pula dengan asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori yang memiliki makna, jika terdapat konflik antara peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya dengan yang lebih rendah tingkatannya maka peraturan perundang-undangan yang lebih rendah akan dikesampingkan/tidak diberlakukan (Fakhry Amin: 42:2023).
ADVERTISEMENT
Apabila suatu norma di dalam PP berlawanan dengan kekuatan hukum atau peraturan perundang-undangan di atasnya maka dapat dilakukan sebuah uji materiil ke Mahkamah Agung. Dengan demikian, pembentukan PP Nomor 25 Tahun 2024 terkhusus mengenai pemberian izin terhadap ormas keagamaan untuk melakukan usaha pertambangan tidak dapat diberlakukan karena berlawanan dengan peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya atau UU Nomor 3 Tahun 2020.
Upaya Pembungkaman?
Berdasarkan uraian di atas, dimana pemerintah memberikan izin usaha mengelola pertambangan kepada organisasi keagamaan ternyata berlawanan dengan peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya.
Lebih lanjut, masuk akal rasanya apabila kita menduga hal ini sebagai strategi atau upaya pemerintah untuk membungkam atau mempersempit ruang pengawasan yang seharusnya dilakukan oleh ormas (terkhusus ormas keagamaan) terhadap tindak-tanduk yang dilakukan oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Ruang lingkup kelompok oposisi atau kelompok yang berseberangan dengan pemerintah di Indonesia belumlah solid dan optimal, banyak partai-partai yang berlawanan kubu ketika kontestasi pemilu justru berbalik arah dan mendukung serta berada di dalam lingkaran pemerintahan, bukannya berada di luar pemerintahan sebagai kekuatan penyeimbang guna meminimalisir penyalahgunaan kekuasaan oleh rezim atau pemerintah yang sedang berkuasa.
Meskipun pemerintah berdalih serta mengelak bahwa pemberian izin tambang ini seharusnya dimaknai sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memberikan kesempatan yang sama untuk mengelola kekayaan alam.
Dalih demikian tentu saja tidak dapat dibenarkan, pemberian izin tambang ini dapat diibaratkan sebagai sebuah pemberian kesejahteraan semu. Mengapa semu? Karena aktivitas tambang yang dilakukan, meskipun menghasilkan profit namun tidak dapat mengganti serta memulihkan kerusakan lingkungan yang acapkali ditimbulkan oleh aktivitas tambang yang telah dilakukan.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, ketimpangan juga seringkali terjadi antara pengusaha tambang dengan masyarakat yang tinggal di dekat konsesi tambang tersebut, keuntungan yang dihasilkan seolah-olah hanya nikmati sahaja oleh konsorsium tambang dan masyarakat yang tinggal disekitarnya hanya mendapati ancaman kesehatan beserta kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat aktivitas tambang.
Perlu dicermati dan ditelaah lebih lanjut mengenai apa urgensi, maksud, dan tujuan dari pemerintah untuk memberikan perizinan usaha tambang bagi ormas keagamaan. Apakah sebagai upaya ‘sogokan’ untuk membungkam dan membatasi proses pengawasan ormas keagamaan terhadap kinerja atau berbagai kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah.
Berlawanan dengan Komitmen
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil batubara terbesar yang ada di dunia, pada perjanjian perubahan iklim Paris Agreement dan COP26 di Glasglow, menyebutkan bahwa Indonesia akan menjadi sebuah negara dengan target nol emisi karbon di tahun 2060. Ambisi tersebut patut kita dukung dan apresiasi, namun rasanya ambisi tersebut semakin sulit untuk diwujudkan.
ADVERTISEMENT
Komitmen untuk menjadikan Indonesia sebagai negara nol emisi harus tertunda agak lama sebagai dampak kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui PP Nomor 25 Tahun 2024, alih-alih memikirkan energi alternatif apa yang musti disiapkan guna mewujudkan komitmen yang sudah disebutkan di Glasglow.
Pemberian IUPK juga dirasa tidak tepat sasaran, karena mungkin banyak ormas yang tidak memiliki keahlian maupun pengalaman yang mumpuni dalam mengelola tambang. Hal ini dapat mengakibatkan aktivtias tambang menjadi tidak efisien serta dapat berpotensi merusak lingkungan, bahkan dapat mengancam keselamatan para pekerja.
Pemerintah justru memberikan izin bagi ormas keagamaan untuk mengelola usaha pertambangan. Hal ini tentu saja tidak akan menghilangkan ketergantungan Indonesia terhadap penggunaan batu bara sebagai penghasil energi yang berdampak buruk kepada lingkungan, karena batu bara dikenal sebagai sumber energi terkotor karena menghasilkan polutan lebih ba nyak ketimbang sumber energi lainnya.
ADVERTISEMENT
Keputusan pemerintah untuk memberikan IUPK kepada ormas keagamaan melalui PP Nomor 25 Tahun 2024 sudah selayaknya untuk ditolak karena beberapa alasan, Pertama karena kebijakan (PP Nomor 25 Tahun 2024) berlawanan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya (UU Nomor 3 Tahun 2020).
Kedua kebijakan ini dapat dicurigai sebagai upaya pemerintah untuk menggembosi ormas keagamaan agar tidak terlali kritis terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dan Ketiga karena kebijakan ini berlawanan dengan komitmen dan ambisi untuk menciptakan Indonesia sebagai negara nol emisi di tahun 2060.