Konten dari Pengguna

Karpet Merah untuk Anak Muda

Jhodie Faja Agustian
Saya merupakan sarjana ilmu Pemerintahan, universitas Jenderal Achmad Yani.
23 Oktober 2023 13:17 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jhodie Faja Agustian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan

Sikap Mahkamah Konstitusi

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada 16 Oktober 2023, berakhir sudah saga atau teka-teki terkait sikap Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan syarat batas usia minimun untuk capres dan cawapres. Sikap MK sangatlah dinanti-nantikan oleh masyarakat luas Indonesia dikarenakan posisi kepala hakim MK yang pada dewasa ini dipimpin oleh Anwar Usman, yang merupakan adik ipar dari Presiden Jokowi itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Seperti yang diketahui, bahwasanya Anwar Usman menikah dengan sosok perempuan bernama Idayati yang tidak lain dan tidak bukan merupakan adik kandung dari Presiden Jokowi. Tak sedikit pula yang menyebut pernikahan tersebut sebagai “pernikahan politik.
Akibat dari hubungan kekerabatan personal hakim MK Anwar Usman dengan Presiden banyak yang menantikan posisi MK terkait gugatan pasal 169 huruf q UU nomor 7 tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang masuk kepada MK mengenai batasan minimum syarat usia capres dan cawapres—apakah MK akan bersikap netral atau MK memang sudah menjadi instrumen atau alat politik di era kepemimpinan Jokowi ini.
Tepatnya pada Senin, 16 Oktober 2023 lalu, akhirnya MK menunjukkan sikapnya terkait hal ini, di mana MK memutuskan untuk mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, dan menyatakan pasal 169 huruf q Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bahwa:
ADVERTISEMENT
Melalui amar putusan tersebut, sebenarnya MK tidak mengabulkan seluruh gugatan yang masuk ke MK, namun MK hanya mengabulkan separuh dari gugatan tersebut. MK tidak setuju apabila syarat minimum usia capres dan cawapres "dipangkas" menjadi 35 tahun.
Namun, MK menyetujui bahwasanya seseorang warga negara dapat maju menjadi capres dan cawapres apabila sudah menduduki jabatan bupati, wali kota, ataupun gubernur meskipun umur individu tersebut di bawah 40 tahun.
Putusan ini seolah-olah membingungkan masyarakat. MK menolak gugatan tersebut, namun di sisi lain seolah-olah menerima gugatan tersebut pula dengan penambahan frasa pada amar putusan yang menyebutkan berpengalaman di bidang pemerintahan.
Lebih lanjut, salah satu hakim konstitusi MK yang bernama M. Guntur Hamzah menjelaskan bahwasanya:
ADVERTISEMENT
Berdasarkan putusan yang disebutkan di atas, walaupun seseorang belum berusia genap 40 (empat puluh) tahun, seseorang dapat mengikuti sebuah kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden asalkan seseorang tersebut pernah atau sedang menduduki sebuah jabatan melalui mekanisme pemilu.
Jabatan yang dimaksud ialah bupati, wali kota, atau gubernur. Jabatan tersebut sebenarnya tidak sebanding untuk dibandingkan atau disamakan. Sebab, jumlah wilayah dan banyak masyarakat yang dipimpin oleh bupati atau wali kota tentu saja tidak sebanyak jabatan gubernur.
Melalui hal ini, banyak spekulasi-spekulasi liar yang muncul di masyarakat. Banyak dari masyarakat yang menganggap bahwa putusan yang dikeluarkan oleh MK ini merupakan sebuah cara yang mesti ditempuh agar anak sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, dapat melenggang menduduki serta mengikuti kontestasi capres dan cawapres.
ADVERTISEMENT

Merusak Kredibilitas MK

Ilustrasi ruangan Mahkamah Konstitusi. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Sikap optimisme yang banyak ditunjukkan oleh masyarakat kepada MK terkait pembacaan gugatan batas usia capres dan cawapres seolah-olah dipatahkan dan dihancurkan begitu saja, tatkala MK membacakan putusan untuk menolak penurunan batas usia tapi memberikan frasa tambahan dalam putusannya yang menyebutkan pernah dan sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu.
Banyak masyarakat dan para tokoh senior yang menyayangkan putusan yang dikeluarkan oleh MK. Seperti yang dikeluhkan oleh mantan ketua MK, Prof. Mahfud MD, yang menyebutkan:
Berdasarkan keterangan di atas posisi MK seharusnya dapat dikatakan sebagai negative legislator yang artinya MK hanya dapat membatalkan suatu permohonan melalui judicial review undang-undang terhadap UUD 1945 bukan justru menambahkan sebuah frasa atau norma ke dalam putusan yang dikeluarkannya.
ADVERTISEMENT
Makna negative legislator ini dirasa penting guna membatasi kewenangan dari lembaga yudikatif untuk mengadili dan membatasi diri untuk tidak membuat kebijakan yang tidak berada dalam kewenangan atau ranahnya.
Seperti yang diketahui, bahwasanya membuat undang-undang merupakan kewenangan dari lembaga legislatif dan lembaga eksekutif yang dikhawatirkan dapat merusak serta mengganggu proses legislasi karena diintervensi oleh lembaga yudikatif.
Berdasarkan keputusan yang telah dikeluarkan oleh MK tersebut banyak spekulasi liar di masyarakat yang menyebutkan bahwa MK telah berubah menjadi "Mahkamah Keluarga" dan semakin terkikis nilai atau prinsip mengenai netralitas dan imparsialitas yang seharusnya berdiri tegak berdampingan dengan posisi MK sebagai guardians of constitusions serta guardians of democracy.
Lebih lanjut, banyak pula yang menyebut bahwasanya telah terjadi proses "politisasi yudisial" di mana lembaga yudikatif telah disusupi oleh kekuatan politik guna melenggangkan ambisi atau keinginan dari rezim yang sedang berkuasa.
ADVERTISEMENT
Keputusan yang dikeluarkan oleh MK juga sangatlah kental dengan nuansa politis, karena seharusnya MK tidak memerlukan waktu yang lama dalam menentukan atau mengeluarkan putusan terkait gugatan syarat minimum usia capres. Hal ini juga semakin terasa politis tatkala MK mengeluarkan frasa atau norma tambahan dalam putusannya.
Berkaca dari keputusan yang telah dikeluarkan oleh MK, banyak yang mulai bersikap skeptis dan tidak percaya terhadap lembaga yang seharusnya menjadi penjaga dari demokrasi serta konstitusi ini, karena sudah dianggap instrumen atau alat dari penguasa-penguasa yang hanya menguntungkan sekelompok pihak saja.

Instant Effect Keputusan MK

Ilustrasi palu sidang diketuk tanda putusan hakim dijatuhkan. Foto: Shutterstock
Pasca putusan MK (16/10/2023) mulai muncul beberapa efek yang muncul. Salah satunya, dideklarasikannya nama Gibran Rakabuming Raka putra sulung Presiden Jokowi sebagai bacawapres pada Minggu (22/10/2023) yang bakal mendampingi Prabowo Subianto dalam kontestasi capres-cawapres 2024.
ADVERTISEMENT
Nama Gibran bukanlah sosok baru, dalam hal ini gugatan usia minimum capres dan cawapres. Banyak yang sudah berspekulasi bahwasanya hal ini memang sengaja di-setting untuk Gibran agar dapat mendampingi Prabowo Subianto di 2024.
Bunyi pasal 169 q yang sebelumnya menjadi penghalang dalam proses tersebut, kini bukan lagi menjadi sebuah penghalang dalam proses pencalonan Gibran menjadi cawapres tatkala MK menambahkan frasa pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui proses pemilu.
Melalui hal itu, semakin terasa kental nuansa politik dinasti yang sudah dibangun oleh Presiden Jokowi. Mulai dari Gibran menjadi Wali Kota Solo, Bobby Nasution menantu dari Presiden Jokowi menjadi Wali Kota Medan, Anwar Usman yang menjadi adik ipar Presiden Jokowi yang mengakibatkan munculnya spekulasi konflik kepentingan.
ADVERTISEMENT
Kemudian Kaesang Pangarep yang menjadi ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan yang terbaru ialah pengusungan Gibran Rakabuming Raka sebagai pendamping Prabowo Subianto dalam mengarungi pilpres 2024.

Akhir Kata

Entah apa yang sudah direncakan oleh para elite-elite politik menjelang tahun 2024 ini. Meminjam istilah yang dikatakan oleh Made Supriyatna yang mengatakan bahwasanya: