Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menimbang Gugatan Syarat Usia Capres-Cawapres
15 Oktober 2023 20:05 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Jhodie Faja Agustian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Cara terbaru yang ditempuh untuk menjadi presiden dan wakil presiden ialah dengan cara menggugat syarat batas usia minimum tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Seperti yang diketahui bahwasanya persyaratan untuk menjadi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) tertuang dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dan persyaratan lebih lanjut untuk menjadi capres-cawapres diatur dalam pasal 169.
Dewasa ini, muncul suatu peristiwa yang banyak dinantikan ending-nya oleh masyarakat Indonesia, peristiwa terkait gugatan terhadap UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya gugatan yang difokuskan pada batas minimum usia capres dan cawapres yang tertuang dalam pasal 169 huruf q yang berbunyi:
Kronologis
Gugatan pada batas minimum usia capres dan cawapres dilakukan oleh individu masyarakat, organisasi, bahkan partai politik sekali pun. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menggugat pasal 169 huruf q yang kemudian tertuang dalam Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023.
ADVERTISEMENT
Partai Garuda juga melakukan hal yang sama dengan PSI, menggugat pasal 169 Huruf q melalui Ahmad Ridha Sabana (Ketua Umum Partai Garuda) dan Yohanna Murtika selaku Sekretaris Jenderal Partai Garuda melalui Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023.
Gugatan juga dilakukan oleh para kepala daerah dari berbagai daerah di Indonesia yang tertuang dalam Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Erman Safar (Wali Kota Bukittinggi), Pandu Kesuma Dewangsa (Wakil Bupati Lampung Selatan), Emil Dardak (Wakil Gubernur Jawa Timur), Ahmad Muhdlor (Bupati Sidoarjo), dan Muhammad Albarraa (Wakil Bupati Mojokerto).
Selain ketiga daftar di atas, tercatat bahwasanya terdapat sembilan permohonan terkait uji materi UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang dilayangkan oleh berbagai pihak (partai politik, politikus, bahkan mahasiswa).
ADVERTISEMENT
Terdapat beragam permohonan perubahan terkait batas usia minimal capres dan cawapres . Ada yang meminta batas usia dikurangi menjadi 35 tahun, 30 tahun, bahkan ada yang meminta agar batas usia dapat dikurangi hingga usia 21 tahun.
Selain batas usia minimal, terdapat pula gugatan untuk menambahkan syarat kriteria. Contohnya seperti telah berpengalaman dalam penyelenggaraan negara maupun sebagai kepala daerah.
Begitulah kira-kira perjalanan singkat mengapa batas usia capres dan cawapres di gugat ke Mahkamah Konstitusi, berbagai alasan dan pertimbangan digunakan oleh pemohon agar para kaum muda-mudi lebih mudah untuk menduduki posisi capres dan cawapres kelak di masa yang akan datang.
Posisi Ideal MK
Akibat dari diterimanya gugatan terkait syarat usia capres dan cawapres yang sudah tertuang dalam UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum muncul beberapa spekulasi-spekulasi liar yang muncul di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Bahkan masyarakat mulai menyebut MK sebagai "Mahkamah Keluarga" bukan lagi sebagai Mahkamah Konstitusi. Hal ini tentu saja menjadi sebuah sindiran atau satire terhadap posisi MK yang tentu saja memiliki peran yang sangat vital dalam kehidupan ketatanegaraan di Indonesia.
MK selama ini dianggap sebagai guardian of constitution (pengawal konstitusi) sekaligus guardian of democracy (pengawal demokrasi) yang seharusnya menjaga serta menegakkan keadilan dalam setiap keputusan yang dibuatnya.
Namun, pada dewasa ini MK telah dianggap sebagai salah satu alat instrument politik di era rezim kepemimpinan Jokowi yang keputusannya acap kali berlawanan dengan keinginan masyarakat dan dianggap hanya mementingkan segelintir pihak saja.
Hal ini tentu saja didasari pada posisi ketua hakim MK yang pada saat ini dipegang oleh Anwar Usman yang di kemudian hari menikah dengan adik presiden yang bernama Idayati (27/5/2022). Posisi ini yang pada akhirnya menyebabkan masyarakat banyak menyebut MK sebagai "Mahkamah Keluarga".
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, seharusnya MK dapat dengan mudah memutuskan gugatan terkait syarat batas usia capres dan cawapres ini, hal ini berangkat dari kewenangan MK itu sendiri yang tertuang dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan:
Berdasarkan pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa MK merupakan lembaga yudikatif yang berarti MK tidak memiliki kewenangan untuk membuat/menambah pasal baru di Undang-Undang.
Lembaga yang memiliki kewenangan untuk membuat/menambah pasal merupakan tugas dari lembaga eksekutif dan legislatif selaku lembaga pembuat Undang-Undang.
Lebih lanjut posisi MK yang dapat dikatakan sebagai negative legislator yang artinya MK hanya dapat membatalkan suatu permohonan melalui judicial review Undang-Undang terhadap UUD 1945.
Namun, sejalan dengan waktu terjadi pergeseran kewenangan MK yang berubah menjadi positive legislator yang artinya MK mulai membuat norma-norma baru dalam berbagai putusannya yang berujung pada terjadinya intervensi terhadap proses legislasi itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Dampak
Tentu saja menarik untuk memikirkan dampak apa saja yang dapat terjadi apabila MK menyetujui gugatan syarat minimum usia bagi capres dan cawapres. Apabila MK menyetujui gugatan tersebut (syarat minimum usia bagi capres dan cawapres), hal ini dapat dianggap sebagai bukti atas pelemahan demokrasi di Indonesia.
Terlebih didasarkan pada posisi strategis MK sebagai guardians of constitutions (pengawal konstitusi) sekaligus guardians of democracy (pengawal demokrasi) yang seharusnya memiliki standar ethics yang tinggi dan memiliki prinsip ketidakberpihakan/imparsialitas dalam mengadili, memeriksa, dan memutus suatu perkara.
Hal ini justru berlawanan dengan apa yang dilakukan oleh Ketua Hakim MK Anwar Usman ketika ditanya oleh para wartawan terkait gugatan syarat batas usia capres dan cawapres, seharusnya seorang hakim terutama ketua hakim konstitusi tidak perlu berkomentar ataupun memberikan jawaan terkait perkara yang sedang diperiksa di pengadilan.
ADVERTISEMENT
Tentu saja hal ini berlawanan dengan prinsip (imparsialitas) yang dianggap sangat penting karena dapat mencegah berbagai konflik kepentingan, keberpihakan, serta kehormatan pengadilan.
Lebih lanjut, dampak yang akan terjadi apabila MK menyetujui gugatan ini ialah akan menurunnya citra atau kredibilitas MK sebagai Lembaga independen di mata masyarakat.
Justru MK akan dinilai sebagai bagian dari instrument dan alat politik yang selalu berpihak kepada penguasa untuk memudahkan dan melanggengkan ambisi para penguasa yang tidak akan pernah puas dengan kekuasaan yang sudah dimiliki.
Peristiwa gugatan syarat minimum usia bagi capres dan cawapres merupakan sebuah pertaruhan bagi nama baik serta kredibilitas MK di mata masyarakat.
Akhir Kata
Berkaca pada UUD 1945 pasal 24C ayat 1, seharusnya MK tidak diperkenankan untuk memberikan prasa tambahan ataupun norma dalam ihwal pembacaan keputusannya kelak. Dan, apapun keputusan yang dikeluarkan oleh MK memiliki pertimbangan dan rasionalitas hukum yang jelas.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu masyarakat luas dapat menerima keputusan tersebut dan dapat menyelamatkan kredibilitas MK di mata masyarakat yang sudah menyebut MK sebagai "Mahkamah Keluarga" yang hanya mementingkan segelintir kelompok yang tidak menegakkan serta mengawal konstitusi dan juga demokrasi.
Live Update