Kampanye Politik dan Etika Berbahasa

Bahren
Dosen Sastra Minangkabau Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Konten dari Pengguna
6 Oktober 2023 10:44 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bahren tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Alat Peraga Kampanye (APK) di Banda Aceh. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Alat Peraga Kampanye (APK) di Banda Aceh. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kampanye adalah sebuah usaha yang dilakukan oleh calon legislatif dan partai peserta pemilu untuk memperkenalkan siapa mereka kepada khalayak yang akan menjadi target pemilih mereka. Usaha yang dilakukan untuk mewujudkan terpilihnya mereka oleh masyarakat tentunya menggunakan bahasa dalam menyampaikannya.
ADVERTISEMENT
Bahasa yang digunakan pun hendaknya masih dalam koridor etika dan kesantunan berbahasa, terlebih bagi kita orang timur sangat mementingkan basa-basi, unggah-ungguh, ewuh-pakewuh, dan masih banyak lagi istilah untuk etika dan kesantunan tersebut.
Penggunaan bahasa yang baik dan benar ini meliputi pemilihan kode bahasa dengan memperhatikan norma sosial dan sistem budaya yang berlaku dalam masyarakat itu. Upaya ini tentunya berlaku umum untuk semua bahasa, tidak saja untuk bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional namun juga untuk bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia.
Rosidah menyebutkan bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang memiliki etika berbahasa di Indonesia hendaknya masyarakat didorong untuk menggunakan bahasa secara baik dan benar serta memilih kode bahasa, norma sosial, dan sistem budaya yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Slogan Pemilu 2024. Foto: Situs resmi KPU RI
Hal serupa juga dijelaskan oleh Masinambow dalam Chaer dan Agustina (2010: 172), sistem bahasa mempunyai fungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi manusia di dalam masyarakat. Oleh karena itu di dalam tindak laku berbahasa hendaknya disertai dengan norma-norma yang berlaku dalam budaya itu. Sistem tindak laku berbahasa menurut norma-norma budaya ini disebut etika berbahasa atau tata cara berbahasa.
ADVERTISEMENT
Etika berbahasa jika ditelisik secara lebih spesifik merupakan subsistem dari kebudayaan hal ini terbukti dengan kemampuan seseorang dalam berbahasa diukur melalui pengetahuannya mengenai suatu budaya dalam suatu masyarakat tempat ia tinggal.
Melalui budaya yang ia pelajari, ia akan dapat dengan mudah menggunakan bahasa sesuai dengan tata cara atau etika berbahasa yang berlaku di masyarakat tersebut. Hal ini sangat relevan dengan apa yang disampaikan oleh Kasper (dalam Coulmas (ed.), 1997: 374-385) membahas tentang etika linguistik (etika berbahasa) penting artinya secara sosial-budaya dan psikologis dalam kehidupan sehari-hari dan untuk proses pembelajaran bahasa.
Secara lebih spesifik, jika kita kaitkan dengan kampanye politik—baik yang dilakukan oleh perorangan sebagai calon legislatif maupun partai—maka hendaknya juga memperhatikan adat, etika, dan budaya setempat dalam menggunakan bahasa ketika kampanye.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, kebudayaan setempat akan erat kaitannya dengan norma-norma kesantunan dan norma-norma adat dan budaya masyarakat setempat. Masyarakat Minangkabau dalam penerapan etika berbahasa mengenal istilah kato nan ampek. Kato nan ampek menjadi titik ukur seorang Minangkabau dalam berbahasa.
Berdasarkan situasi tutur dan hubungan kedekatan antara pembicara dan mitra bicara, maka akan digunakan jenis kato yang berbeda. Adapun kato nan ampek itu adalah kato mandaki, digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua atau yang dituakan.
Ada juga kato mandata digunakan untuk berbicara dengan lawan bicara yang seusia, kato malereng atau berkias untuk pembicaraan antara mertua dengan menantu, dan kato manurun untuk pembicaraan kepada orang yang lebih kecil usia nya dari pembicara.
ADVERTISEMENT
Penggunaan kato nan ampek pun sesungguhnya terlihat dari slogan-slogan yang dikeluarkan oleh para caleg dan parpol. Pilihan-pilihan diksi yang mereka keluarkan ketika membuat baliho menggunakan kata-kata yang sangat persuasif dengan langgam malereang.
Sebagai contoh penggunaan kata ganti orang ketika yang sering menggunakan kata kito (kita), bukan awak, ambo, aden (saya). Karena bagi orang Minang, ketika urusannya sudah menjadi urusan orang banyak, maka pilihan katanya tidak lagi "saya" tapi "kita".