Konten dari Pengguna

Problematika Gen Z, Generasi yang Selalu Dipandang Spesial

Jihan Afnan
Mahasiswa Sastra Prancis di Universitas Padjadjaran
16 April 2023 18:24 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jihan Afnan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perempuan gen Z. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan gen Z. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bukan rahasia lagi bahwa generasi Z atau gen Z sering kali dipandang “spesial” atau “superior” dibanding generasi lainnya. Apapun yang kami lakukan sebagai gen Z kerap menjadi pusat perhatian dan pembicaraan.
ADVERTISEMENT
Entah apa yang diharapkan dari kami generasi Z, tapi kami selalu dipandang spesial sekaligus lemah di saat yang sama. Seakan gen Z tidak boleh mengalami quarter life crisis yang dialami generasi lainnya.
Sebelum saya membahas persoalan ini lebih lanjut, saya akan sedikit membeberkan latar belakang terlahirnya tulisan ini. Tak lain karena sebuah percakapan antara saya dan salah satu teman saya. Kebetulan saat itu saya baru saja menyuruh dia untuk membaca cerpen buatan saya dan meminta dia memberikan penilaian objektif.
"Kenapa, ya, saya tidak pernah dapat juara 1 di lomba cerpen? Padahal saya sering sekali ikut. Apa saya tulisan saya sejelek itu?" tanya saya.
"Tulisanmu tidak jelek, kok," katanya.
"Masa, sih? Tapi, kenapa saya tidak pernah menang?" tanya saya lagi.
ADVERTISEMENT
"Tulisanmu tidak jelek. Hanya saja... kurang spesial. Begini, mungkin memang tulisannya rapi dan bagus, tapi tidak ada keunikan yang membuatmu pantas mendapat juara," jelasnya.
Percakapan itu tidak berakhir sampai di situ. Tapi pikiran saya terus-menerus terpaku pada adegan itu. Lagi dan lagi. Tiap malam—oke, ini agak berlebihan, tapi, yang jelas—saya sungguh-sungguh terus memikirkan kalimat itu.
Benarkah? Tulisan saya tidak spesial?
Ilustrasi perempuan sedih susah move on. Foto: Shutterstock
Terdapat pertentangan batin dalam hati saya. Terkadang saya akan menepisnya dengan kalimat super percaya diri.
“Ah, tidak, kok. Saya selalu mengusahakan yang terbaik setiap mengikuti lomba. Pendapatnya tidak valid karena dia bahkan jarang membaca cerita pendek atau novel. Dia tidak tahu apa-apa tentang literasi!”
“Ya, sebenarnya, dia benar. Ketika saya ingin melakukan eksperimen atau mengolah ide yang anti-mainstream, saya takut ide tersebut terlalu aneh dan tidak masuk akal,” batin saya di momen lain.
ADVERTISEMENT
Apakah sudah selesai? Tidak. Kemudian hati kecil saya akan menimpalinya.
"Tidak, saya hanya tidak berbakat. Ide unik apa yang saya punya? Tidak ada. Saya menipu diri saya, saya tidak punya bakat menulis cerita fiksi! Saya harus beralih menulis artikel."
Saya pun menulis artikel. Saya meninggalkan dunia fantasi yang sudah lama saya geluti. Apakah saya merasa nyaman? Tidak. Apakah menulis artikel lebih mudah dilakukan? Sekali lagi, jawabannya adalah tidak.
Malam itu saya kembali memikirkan jawabannya baik-baik. Bukan karena kebetulan. Tapi karena pengumuman sayembara cerpen yang saya ikuti baru saja keluar dan saya lagi-lagi tidak memenangkan sayembara itu. Karya saya berada di urutan ke 27 dari 35 karya yang terpilih.
“Tidak ada yang spesial dari tulisan saya. Itukah alasannya?”
ADVERTISEMENT
Jika bisa, saya ingin bertanya kepada juri seperti itu. Saya ingin memastikannya langsung. Saya ingin mendengar cacian, saya ingin mendengar mereka mengatakan secara jelas. Saya ingin mereka memerintahkan saya untuk berhenti mencoba.
Oh, bukan. Saya bukannya putus asa atau pupus harapan, saya hanya ingin tahu apakah saya menghabiskan waktu secara sia-sia di tempat yang bukan tempat saya? Jika memang menulis bukan bidang saya, saya tidak keberatan untuk angkat kaki dan menekuni hal lain.
Oke, cukup membahas tentang diri saya. Sekarang kita kembali kepada kata kunci utama: spesial, anti-mainstream, unik.
Setelah dipikir-pikir, kriteria di atas adalah yang dicari untuk semua jenis pekerjaan, bukan hanya seorang penulis. Lebih tepatnya, di era ini. Saya menyadari dengan jelas bahwa bukan hanya saya satu-satunya anak muda yang merasa ragu dan mengkhawatirkan masa depan.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya saya yang terus menerus kalah atau menerima penolakan. Kami semua, para gen Z, masih berjuang, diam-diam, lelah dan cemas, di jalur kami masing-masing.
“Era kalian adalah yang termudah. Teknologi sudah maju. Pekerjaan bisa dilakukan secara remote. Apalagi yang kalian keluhkan? Di zaman kami...,” kata orang-orang generasi sebelumnya.
Benar, teknologi sudah maju. Benar, kami mendapat keuntungan dari banyaknya peluang mendapatkan pekerjaan dari seluruh dunia. Tapi, era kami bukan era yang mudah. Saya tidak bisa menyetujui pernyataan itu begitu saja.
Kita tidak bisa melupakan bahwa setiap generasi memiliki tantangan sendiri. Untuk kami, angkatan 2000-an, tantangan kami adalah kami dituntut untuk spesial.
Hanya orang-orang dengan kemampuan spesial yang bisa mendapat panggung. Kemampuan spesial yang dimaksud bukan hanya bakat luar biasa, tapi juga privilege kekayaan orang tua, relasi, latar belakang institusi pendidikan, penampilan fisik, popularitas, dan lain lain.
ADVERTISEMENT
Lebih jelasnya, menjadi kompeten atau mengerjakan sesuatu dengan baik sama sekali tidak cukup. Kami tidak diizinkan untuk menjadi kreatif karena semua orang di generasi kami sudah bisa berkreasi. Kami harus sangat sangat kreatif dan inovatif. Kami tidak diizinkan untuk kompeten, kami harus menjadi seseorang yang mengerjakan sesuatu dengan sempurna tanpa kesalahan.
Demi tidak tersalip atau tergantikan, kami harus menguasai lima hal sekaligus. Seorang calon penulis tidak boleh hanya menulis, tapi harus menguasai digital marketing, SEO, social media marketing, insight audience.
Seorang calon guru tidak boleh hanya menguasai satu ilmu, mereka harus mengerti ilmu-ilmu di luar bidangnya, penggunaan teknologi, psikologi, ketahanan mental yang besar menghadapi murid nakal dan gaji tidak masuk akal.
ADVERTISEMENT
Menjadi biasa-biasa saja adalah sebuah dosa bagi kami. Sementara kita semua tahu bahwa tidak semua orang bisa menjadi spesial. Menjadi spesial tidak semudah itu dilakukan. Kata spesial itu sendiri sudah sama artinya dengan seleksi 1 dari 1.000 orang. Itu artinya kamu harus menjadi orang terpilih di antara orang-orang yang terpilih.
Apakah kalian bisa membayangkan bagaimana rasanya? Apakah kalian bisa membayangkan hidup di dunia yang hanya menerima orang-orang spesial untuk berkembang?
"Kamu masih muda, masih punya banyak waktu untuk meraih impianmu. Jangan bersikap pesimistis! Dasar kalian generasi lembek, si paling healing."
Kami tidak malas, kami tidak kurang bekerja keras, kami tidak manja, kami tidak pesimis. Kami hanya mengetahui kenyataan bahwa kami kami tidak spesial. Sementara dunia ini semakin sesak dan semakin kejam dari waktu ke waktu.
ADVERTISEMENT
Kesenjangan antara yang spesial dan tidak spesial terus menerus menampar kami. Tentu saja, kami tidak pernah berhenti berharap. Kami tidak berhenti berusaha. Kami tidak berhenti berdoa.
Untuk kalian orang-orang yang tidak berada di generasi kami, kami hanya ingin kalian tahu bahwa menjadi kami sama sekali bukan hal mudah seperti yang kalian pikirkan.
Tolong, jangan lebih menekan kami dengan ekspektasi tinggi kalian. Pengetahuan tentang kecanggihan dan kemajuan teknologi yang kami miliki tidak serta merta membuat hidup lebih ramah kepada kami. Selalu ada dan akan terus ada seseorang yang lebih kompeten, hebat, dan unik dari kami.
Tolong jangan paksa kami menelan kepedihan hidup orang dewasa secara sekaligus. Dunia yang kami kenal penuh warna sebelum usia 20 tahun tiba-tiba saja menjadi hitam putih ketika kami menyadari ekspektasi kami tidak sejajar dengan realita.
ADVERTISEMENT
Tolong berikan kami waktu untuk beradaptasi perlahan-lahan. Dan, memahami bahwa menjadi tidak spesial mungkin bukan masalah besar.