Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Korupsi Tambang Timah dan Runtuhnya Kepercayaan Publik pada Penegakan Hukum
9 Januari 2025 9:09 WIB
·
waktu baca 10 menitTulisan dari Jihan Maisaroh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemberantasan korupsi selalu menjadi salah satu tema sentral dalam berbagai debat politik Indonesia, termasuk dalam debat calon presiden. Setiap calon pemimpin selalu berjanji untuk berkomitmen dalam pemberantasan korupsi, namun kenyataan di lapangan menunjukkan hasil yang jauh dari harapan, tak lebih dari sekedar retorika kosong belaka. Corruption Perception Index (CPI) Indonesia yang terus merosot hingga peringkat 115 dunia adalah bukti nyata betapa buruknya kinerja pemberantasan korupsi. Sepanjang tahun 2023, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat terdapat 791 kasus korupsi dan menetapkan 1.695 tersangka yang mana ini meningkat jauh dibandingkan tahun sebelumnya. Ditambah lagi data yang dirilis Badan Pusat Statistik yaitu Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) tahun 2024 yang turun menjadi 3,85 dari 3,92 pada 2023. Penurunan ini mencerminkan meningkatnya permisivitas masyarakat terhadap perilaku koruptif, sebuah ironi yang memperlihatkan kesenjangan antara janji pemberantasan korupsi dengan kenyataan di lapangan.
ADVERTISEMENT
Salah satu kasus besar yang menyoroti ketidakberdayaan sistem hukum Indonesia adalah kasus tambang timah yang melibatkan Harvey Moeis, suami dari publik figur Sandra Dewi. Kasus ini menjadi sorotan publik dan sekaligus cermin buram bobroknya sistem hukum Indonesia. Dalam kasus ini, Harvey Moeis berperan mengakomodasi perusahaan-perusahaan untuk menyetujui penambangan timah ilegal dengan dalih kerjasama sewa-menyewa peralatan peleburan timah. Modus lainnya adalah meminta pemilik smelter memberikan sebagian keuntungan dari bisnis ilegal ini dengan mengatasnamakan alasan dana Corporate Social Responsibility (CSR). Dampak dari kejahatan ini sangat besar, dengan kerugian negara mencapai Rp 300 triliun, terdiri dari kerugian akibat kerja sama PT Timah Tbk dengan smelter swasta sebesar Rp 2,265 triliun, kerugian pembayaran biji timah Rp 26,649 triliun, dan kerugian lingkungan Rp 271,1 triliun. Meski dikenai pasal berlapis, termasuk Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang yang masing-masing memungkinkan hukuman maksimal hingga 20 tahun penjara, nyatanya, hanya 6,5 tahun penjara yang mana jauh dari ancaman maksimal seharusnya berlaku. Ini bukan sekadar ironi, ini penghinaan terhadap rasa keadilan.
ADVERTISEMENT
Perlunya Reformasi Sistem Hukum
Diperlukan reformasi mendalam dalam sistem hukum Indonesia untuk memastikan hukuman terhadap koruptor haruslah konsisten dan benar-benar memberikan efek jera yang nyata. Hakim perlu memiliki pedoman yang lebih tegas untuk mencegah keringanan hukuman yang tidak proporsional, terutama dalam kasus korupsi yang merugikan negara dan masyarakat. Penegakan hukum harus berlandaskan prinsip keadilan substantif, memastikan bahwa pelaku kejahatan besar seperti korupsi dijatuhi hukuman yang sebanding dengan kerugian yang mereka timbulkan.
Sayangnya, vonis yang dijatuhkan kepada terdakwa dalam kasus korupsi tambang timah menunjukkan sebaliknya. Hukuman yang dijatuhkan ternyata lebih ringan daripada tuntutan awal yang diajukan oleh jaksa penuntut umum, yang menimbulkan tanda tanya besar mengenai efektivitas sistem hukum kita. Misalnya, Harvey Moeis divonis 6 tahun 6 bulan penjara dengan denda Rp 1 miliar, padahal jaksa menuntut hukuman 12 tahun penjara. Helena Lim menerima hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 750 juta, meskipun tuntutannya adalah 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Suparta hanya divonis 8 tahun penjara dengan denda Rp 1 miliar, meski jaksa menuntut 14 tahun penjara. Reza Andriyansyah dijatuhi 5 tahun penjara dengan denda Rp 750 juta, lebih ringan dari tuntutan yang mencapai 8 tahun penjara. Begitu juga dengan Tamron Tamsil yang hanya dijatuhi hukuman 8 tahun penjara, jauh di bawah tuntutan jaksa yang mencapai 14 tahun. Suwito Gunawan dan Robert Indarto masing-masing divonis 8 tahun penjara, meski tuntutan jaksa untuk mereka adalah 14 tahun penjara. Vonis yang lebih ringan ini semakin menambah pertanyaan tentang konsistensi dan keberhasilan sistem hukum kita dalam menangani kasus korupsi besar seperti ini.
ADVERTISEMENT
Ketimpangan Hukum yang Mencolok
Ketimpangan dalam penegakan hukum ini semakin mencolok jika dibandingkan dengan negara lain seperti China, yang mengeksekusi mati Li Jianping atas kasus korupsi senilai Rp6,7 triliun. Negara China menunjukkan ketegasan luar biasa dalam menghadapi koruptor besar, sementara Indonesia tampaknya memberi perlakuan yang jauh lebih ringan bagi para pelaku kejahatan korupsi yang merugikan negara dalam jumlah yang jauh lebih besar. Ketimpangan ini menambah bukti betapa lemahnya sistem hukum di Indonesia dalam memberikan efek jera terhadap koruptor, memperlihatkan tumpulnya keadilan bagi kasus-kasus yang merusak sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal ini tentu menyulut kemarahan masyarakat karena ketidakadilan yang begitu mencolok. Fakta-fakta lain tentang ketimpangan hukum semakin mempertegas dugaan bahwa keadilan di negeri ini hanya berlaku untuk mereka yang lemah. Kasus yang menimpa Yunius Hermawan, misalnya, menjadi sorotan tajam. Pria asal Indramayu ini divonis 4 tahun penjara karena mencuri sepeda motor setelah kencan di hotel, berdasarkan Pasal 362 KUHP tentang Pencurian. Tindakan Yunius, meski tetap merupakan tindak pidana, hanya merugikan satu individu dan jauh lebih kecil dibandingkan kerugian negara yang mencapai ratusan triliun dalam kasus Harvey Moeis, koruptor yang mencuri ratusan triliun dari negara. Ketimpangan ini adalah tamparan keras bagi rakyat. Ketika hukum begitu tajam untuk mereka yang tak berdaya, tapi tumpul bagi mereka yang berkuasa, wajar jika publik merasa dikhianati. Apakah ini cerminan dari negara yang gagal melawan korupsi? Ketika maling kecil dirantai, sementara maling besar disambut dengan karpet merah, rakyat memiliki alasan kuat untuk marah. Ini bukan sekadar tentang Harvey atau Yunius—ini adalah cerminan suram dari sistem peradilan yang gagal memberikan keadilan sejati bagi rakyatnya.
Ketidakadilan semakin tampak jelas ketika disandingkan dengan kasus Nenek Asyani yang sudah berusia 63 tahun. Saat itu, 2015, panggung hukum kembali riuh seiring mencuatnya parodi kasus remeh-temeh di pengadilan. Majelis hakim menyatakan Nenek Asyani terbukti salah melakukan pencurian 7 batang kayu jati milik PERHUTANI. Divonis 1 tahun penjara dengan denda Rp 500 juta, subsider kurungan 1 hari. Nenek Asyani dijerat Pasal 12 juncto Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Dalam persidangan, sambil meronta-ronta, Nenek Asyani terlihat menangis histeris, bersimpuh, dan memohon kepada majelis hakim agar tidak diadili dan dibebaskan dari hukuman karena Sang Nenek tidak merasa bersalah. Sementara itu, di sisi lain, Harvey Moeis, terdakwa korupsi dengan kerugian negara mencapai tiga ratus triliun rupiah, malah tampak santai dan menunjukkan mimik wajah sumringah di persidangan, bahkan dengan entengnya berpelukan dengan keluarga, bebas bergerak tanpa tangan diborgol. Usai berpelukan, Harvey Moeis bahkan terlihat masuk ke dalam mobil berwarna hitam, meski di depan mobil tersebut adalah mobil tahanan. Perbedaan sikap ini menciptakan ketegangan dalam penegakan hukum, memunculkan pertanyaan besar tentang keadilan di Indonesia, di mana hukum tampak tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.
ADVERTISEMENT
Peran dan komitmen semua lini sangat krusial dalam pemberantasan korupsi, termasuk peran hakim yang bertanggung jawab dalam menjatuhkan hukuman adil dan tegas. Di masa lalu, sosok seperti Artidjo Alkostar, hakim agung di Mahkamah Agung, menunjukkan ketegasan luar biasa. Artidjo dikenal selalu memberikan hukuman berat bagi koruptor, bahkan seringkali menambah hukuman setelah proses banding, dengan tujuan menciptakan efek jera. Ketegasan seperti inilah yang kini dirindukan dan dibutuhkan untuk memastikan hukuman terhadap koruptor tidak hanya menjadi formalitas, tetapi juga memberikan dampak signifikan bagi pencegahan korupsi.
Namun, kondisi saat ini sangat berbeda dengan masa lalu. Dalam sistem hukum yang semakin terpolarisasi, banyak yang merasa bahwa keadilan hanya berpihak pada mereka yang mampu menciptakan viralitas media, bukan pada prinsip hukum yang seharusnya tegak. Kasus-kasus besar, dengan kerugian negara yang mencapai triliunan, malah berakhir dengan hukuman ringan atau bahkan tanpa efek jera sama sekali. Fenomena "no viral, no justice" semakin marak, di mana keberpihakan media dan tekanan publik lebih sering menentukan hasil akhir proses hukum daripada ketegasan yang diharapkan dari aparat penegak hukum. Inilah saatnya untuk kembali menegakkan prinsip keadilan yang tidak bergantung pada viralitas, melainkan pada keteguhan hukum yang jelas, transparan, dan berimbang.
ADVERTISEMENT
Reaksi keras pun muncul dari berbagai tokoh penting di Indonesia yang mempertanyakan arah reformasi hukum serta komitmen negara dalam memberantas korupsi. Tanpa adanya perubahan signifikan, pemberantasan korupsi hanya akan menjadi janji kosong tanpa hasil nyata.
Presiden Prabowo Subianto menegaskan pentingnya penegakan hukum yang tegas terhadap koruptor, dengan menyatakan,
Pernyataan ini memperlihatkan kekhawatiran atas hukuman yang dianggap tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi.
Menyikapi hal tersebut, Menko Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Budi Gunawan, berkomitmen untuk menangani fenomena ketidakadilan ini. Budi menanggapi dengan mengatakan,
ADVERTISEMENT
Komitmen pemerintah ini menunjukkan adanya upaya nyata untuk mengatasi ketimpangan hukum yang sering terjadi, yakni fenomena hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Namun, kritik muncul setelah vonis ringan terhadap Harvey Moeis, terdakwa korupsi tambang timah, yang dinilai mencederai rasa keadilan masyarakat. Ketua Majelis Hakim Eko Aryanto menjelaskan bahwa keputusan tersebut dipengaruhi oleh sikap sopan terdakwa dalam persidangan dan adanya tanggungan keluarga. Meski demikian, Mantan Menkopolhukam Mahfud MD menilai keputusan tersebut
Kritik ini semakin memperlihatkan ketidakpuasan publik terhadap keputusan yang dianggap tidak mencerminkan keadilan yang sesungguhnya.
ADVERTISEMENT
Menanggapi pernyataan Presiden Prabowo, yang menginginkan hukuman yang lebih berat bagi koruptor, Komisi Yudisial bersama pihak terkait turut berperan dalam menyelidiki kemungkinan pelanggaran kode etik dalam proses peradilan ini. Dalam kesempatan lain, Presiden Prabowo menegaskan,
Pernyataan ini menggarisbawahi sikap tegas pemerintah dalam memberikan hukuman yang adil, dengan pengembalian kerugian negara sebagai salah satu prioritas utama.
Dengan adanya upaya keras dari pemerintah dan institusi terkait, diharapkan keadilan dapat ditegakkan dengan lebih adil dan tanpa pandang bulu. Pemerintah berkomitmen untuk memberikan rasa keadilan yang seimbang bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama dalam kasus-kasus besar yang melibatkan kerugian negara yang tidak sedikit.
ADVERTISEMENT
Momentum Perubahan Sistem Hukum Indonesia
Kasus Harvey Moeis menjadi cerminan nyata perlunya reformasi sistem hukum di Indonesia. Untuk mencegah kasus serupa terjadi di masa depan, ada beberapa solusi yang bisa diterapkan diantaranya adalah penegakan hukum yang konsisten dalam artian tidak boleh ada perlakuan istimewa bagi pelaku tindak pidana seperti hukuman yang terlalu ringan atau fasilitas penjara bak hotel bintang lima, terutama jika mereka berasal dari kalangan elit, karena hal ini akan meningkatkan pelaku pidana di indonesia. Selain itu, transparansi dalam proses hukum juga penting dalam penegakan keadilan hukum di Indonesia. Hal ini sangat penting dalam membangun kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum dalam menangani kasus kasus besar di Indonesia. Penguatan lembaga pemberantasan korupsi (KPK) juga merupakan salah satu hal penting dalam menekan angka korupsi. KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi harus menjadi lembaga yang independen dan terbebas dari intervensi politik. Dalam hal ini, penguatan regulasi juga dibutuhkan untuk mengakselerasi pemberantasan korupsi dan membawa dampak signifikan, antara lain melalui pengesahan RUU Perampasan Aset maupun perluasan lingkup LHKPN. Menurut peneliti ICW Lalola Easter menilai efek jera bisa dilakukan dengan cara memiskinkan para koruptor. Salah satu caranya adalah dengan penyitaan aset-aset milik koruptor tersebut.
ADVERTISEMENT
Kasus Harvey Moeis menjadi momentum penting untuk mendorong perubahan fundamental dalam sistem hukum Indonesia. Ketimpangan dan kontradiksi yang mencolok tidak hanya merugikan negara secara ekonomi, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum. Oleh karena itu, semua pihak baik dari pemerintah, lembaga hukum, hingga masyarakat sipil harus bekerja sama dalam menciptakan sistem hukum yang lebih adil, transparan, dan berintegritas. Hanya dengan perubahan mendasar, kita dapat memastikan bahwa keadilan bukan hanya untuk segelintir orang, tapi untuk seluruh rakyat Indonesia. Ini adalah tanggung jawab kita semua. Seruan ini bukan hanya untuk menyelesaikan kasus Harvey Moeis, tetapi juga sebagai langkah awal menuju reformasi menyeluruh. Dengan perubahan yang nyata dan konsisten, keadilan bukan lagi menjadi mimpi, melainkan sebuah kenyataan yang dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT