news-card-video
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Analisis Kompetensi Infrastuktur Antara BRI Tiongkok vs PQI Jepang

Jihan Nabillah
International Student of Sriwijaya University
6 Maret 2025 17:56 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jihan Nabillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
www.pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
www.pexels.com
ADVERTISEMENT
Pembangunan infrastruktur merupakan elemen vital dalam pertumbuhan ekonomi dan stabilitas geopolitik global. Dalam dekade terakhir, Tiongkok dan Jepang telah muncul sebagai dua kekuatan utama yang menawarkan pendekatan berbeda dalam pembangunan infrastruktur internasional. Dalam kesempatan ini saya akan mendiskusikan mengenai studi kasus “Belt and Road Initiative” (BRI) yang diusung Tiongkok dan “Partnership for Quality Infrastructure” (PQI) dari Jepang menjadi dua model yang saling bersaing dalam menarik mitra global.
ADVERTISEMENT
Tiongkok melalui Belt and Road Initiative (BRI) telah menunjukkan agresivitas dalam ekspansi infrastrukturnya. Dengan investasi triliunan dolar yang menjanjikan konektivitas yang lebih besar di Asia, Afrika, dan Eropa. Sedangkan Jepang dengan Partnership for Quality Infrastructure (PQI) menawarkan pendekatan yang lebih konservatif dan berbasis standar tinggi. Jepang menekankan pada keberlanjutan proyek, transparansi, dan kerja sama dengan institusi keuangan internasional seperti Asian Development Bank (ADB).
Tujuan artikel ini adalah untuk menganalisis bagaimana kompetisi antara BRI dan PQI mempengaruhi pembangunan infrastruktur global dengan menilai keunggulan dan kekurangan dari masing-masing inisiatif dengan berfokus pada perbedaan strategi dan dampak dari masing-masing inisiatif, terutama bagi negara-negara berkembang yang menjadi target investasi ini, dan bagaimana proyek ini mempengaruhi keseimbangan geopolitik dan ekonomi global dengan menggunakan teori Dependensi (Dependency Theory).
ADVERTISEMENT

ANALISIS BELT AND ROAD INITIATIVE (BRI) DAN PARTNERSHIP FOR QUALITY INFRASTRUCTURE (PQI).

Dua kekuatan utama di Asia, Tiongkok dan Jepang, telah mengembangkan model investasi infrastruktur yang berbeda melalui Belt and Road Initiative (BRI) dan Partnership for Quality Infrastructure (PQI). Persaingan ini tidak hanya mencerminkan pendekatan ekonomi yang berbeda tetapi juga menyoroti dinamika geopolitik di kawasan Asia dan dunia.
Tiongkok, melalui Belt and Road Initiative (BRI), berfokus pada pembangunan infrastruktur skala besar dengan investasi yang masif. Proyek ini mencakup berbagai sektor, seperti jalur kereta api, pelabuhan, dan jalan raya yang menghubungkan Asia, Afrika, dan Eropa.
Sedangkan Jepang, melalui Partnership for Quality Infrastructure (PQI), mengadopsi pendekatan yang lebih konservatif dan berfokus pada keberlanjutan. Jepang berkonsentrasi pada standar kualitas tinggi, transparansi, dan kerja sama dengan Asian Development Bank (ADB). Negara-negara yang mengutamakan regulasi yang ketat dan tata kelola yang baik lebih menyukai metode ini.
ADVERTISEMENT
Meskipun PQI tidak sebesar BRI dalam hal pendanaan dan luas proyek, inisiatif ini dianggap lebih berkelanjutan dalam jangka panjang karena menghindari risiko utang berlebih bagi negara penerima.

KETERGANTUNGAN NEGARA MENERIMA INVESTASI BELT AND ROAD INITIATIVE (BRI) DAN PARTNERSHIP FOR QUALITY INFRASTRUCTURE (PQI) MELALUI TEORI DEPENDENSI

Melalui Teori Dependensi, jelas bahwa proyek infrastruktur seperti BRI dan PQI bukan sekadar investasi ekonomi, namun hal ini menjadi suatu alat politik yang meningkatkan ketergantungan negara penerima terhadap investor utama. Dalam situasi seperti ini, China dan BRI cenderung membangun pola ketergantungan ekonomi yang tinggi.
Banyak negara berkembang yang menerima investasi BRI menghadapi kesulitan dalam membayar utang, memicu apa yang disebut sebagai Debt Trap Diplomacy atau jebakan utang. Ketika mereka tidak dapat melunasi pinjaman, Tiongkok mendapatkan pengaruh lebih besar, baik dalam bentuk konsesi politik maupun kendali atas aset strategis.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh kasus paling terkenal adalah kasus Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka. Pemerintah Sri Lanka menerima pinjaman besar dari Tiongkok untuk membangun pelabuhan ini dengan harapan dapat meningkatkan aktivitas perdagangan dan ekonomi negara. Namun, karena tingginya utang dan rendahnya tingkat keuntungan dari proyek ini, Sri Lanka tidak mampu membayar kembali pinjamannya. Akibatnya, pada tahun 2017, Sri Lanka harus menyerahkan kendali atas pelabuhan tersebut kepada perusahaan Tiongkok dalam perjanjian sewa selama 99 tahun.
Hal ini memperkuat posisi Tiongkok di Samudra Hindia dan menimbulkan kekhawatiran di kalangan negara-negara lain mengenai potensi kehilangan kedaulatan akibat utang yang tidak terkendali.
Sementara itu, Jepang dengan PQI menawarkan pendekatan yang lebih berbasis regulasi dan keberlanjutan. Namun, proyek-proyek yang ditawarkan tetap membutuhkan kerja sama dengan lembaga keuangan Jepang, yang pada akhirnya tetap membentuk ketergantungan, meskipun dalam bentuk yang lebih terstruktur dan berkelanjutan. Negara penerima tetap bergantung pada teknologi Jepang, standar kualitas, dan mekanisme pembiayaan yang ditentukan Jepang.
ADVERTISEMENT
Jepang juga memiliki banyak proyek infrastruktur di Asia Tenggara yang dibiayai melalui Japan International Cooperation Agency (JICA), seperti pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta dan Bandara Internasional New Clark City di Filipina. Dalam proyek-proyek ini, negara penerima mendapatkan pinjaman lunak, tetapi tetap harus mengikuti standar teknis dan regulasi Jepang. Dengan demikian, meskipun pendekatan Jepang lebih transparan dibandingkan Tiongkok, tetap ada ketergantungan terhadap teknologi, sistem pembiayaan, dan tenaga ahli Jepang.
Untuk perbandingan yang lebih dalam, ada pada kasus Indonesia dalam proyek pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang awalnya diperebutkan oleh Jepang dan Tiongkok. Jepang menawarkan proyek dengan standar keamanan tinggi dan teknologi canggih, tetapi dengan skema pembiayaan yang lebih ketat. Namun Indonesia memilih proposal Tiongkok karena tidak menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), melainkan dilakukan melalui skema business-to-business (B2B) antara konsorsium Indonesia dan Tiongkok. Jepang mengharuskan adanya keterlibatan APBN serta pembiayaan berbasis utang dengan jaminan negara, yang dianggap lebih membebani keuangan negara.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, Indonesia memilih proposal Tiongkok karena perkiraan China menjanjikan banyak hal. Misalnya, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung membutuhkan investasi sebesar 86,5 triliun, tetapi pada akhirnya nilainya meningkat menjadi 114,24 triliun.
Dengan demikian, baik BRI maupun PQI menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur dalam skala global tidak pernah bebas dari konsekuensi politik dan ekonomi. Negara-negara berkembang harus menyadari bahwa setiap investasi asing memiliki kepentingan di baliknya, dan tanpa perencanaan yang matang, mereka dapat terjebak dalam struktur ekonomi yang tidak menguntungkan dalam jangka panjang.
Dalam situasi seperti ini, negara-negara yang menerima investasi tidak boleh hanya menjadi korban permainan geopolitik antara Tiongkok dan Jepang. Agar mereka tidak terjebak dalam ketergantungan struktural yang berbahaya, pemerintah negara berkembang harus lebih proaktif dalam menegosiasikan persyaratan investasi dan memastikan bahwa pembangunan benar-benar memberikan manfaat jangka panjang bagi rakyatnya.
ADVERTISEMENT
Ada sejumlah faktor penting yang harus diperhatikan, termasuk diversifikasi sumber investasi, penguatan tata kelola ekonomi domestik, dan transparansi dalam pengelolaan proyek infrastruktur.
Pembangunan infrastruktur yang seharusnya mendorong kemajuan dapat berubah menjadi beban ekonomi yang menghambat stabilitas dan kedaulatan ekonomi nasional jika tidak ada kesadaran akan risiko ketergantungan ini.
Oleh karena itu, paradigma baru dalam menerima investasi infrastruktur harus segera dibangun. Ini tidak hanya tentang memilih BRI atau PQI, tetapi juga tentang bagaimana negara penerima dapat mengontrol jalan mereka sendiri.

REFERENSI

Az Zahro, Z. J., Al-Fadhat, F., & Hamzah, A. P. (2024). Analisis Hubungan Politik Utang Indonesia dan China Untuk Menghindari Debt Trap Diplomacy. Jurnal Akuntansi, Finansial, dan Manajemen (JAFM). Diakses melalui https://dinastires.org/JAFM/article/view/785/591
ADVERTISEMENT
Idris, Muhammad (2021). Ini alasan Jokowi dulu pilih China dan tolak Jepang garap kereta cepat. Kompas. Diakses melalui https://money.kompas.com/read/2021/10/30/063344926/ini-alasan-jokowi-dulu-pilih-china-dan-tolak-jepang-garap-kereta-cepat?page=all#page2
Maulidiyanti, Nadyya. (2021). Analisis Motif Akuisisi Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka oleh Tiongkok Melalui Kerjasama Belt and Road Initiative pada tahun 2017-2019 Berdasarkan Kekuatan Struktural Susan Strange. Repositori Universitas Islam Indonesia. Diakses melalui https://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/29543
Springer. (2020). The quest for infrastructure development from a “market creation” perspective: China’s “Belt and Road”, Japan’s “Quality Infrastructure” and the EU’s “Connecting Europe and Asia. SpringerLink. Diakses melalui https://link.springer.com/article/10.1007/s10368-020-00468-0
Wijaya, Handriyanto. (2020). Aktualisasi Kebijakan China One Belt and One Road di Indonesia Melalui Pembangunan Kereta Cepat Jakarta – Bandung. Jurnal Dinamika Global. Diakses melalui https://ejournal.fisip.unjani.ac.id/index.php/jurnal-dinamika-global/article/view/160/131
ADVERTISEMENT