Toxic Positivity: Kalimat Positif yang Bisa Mengundang Stres

Jihan Husna Anandisya
Mahasiswa Psikologi, Universitas Syiah Kuala
Konten dari Pengguna
29 April 2021 16:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jihan Husna Anandisya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi ketika seseorang sudah banyak memendam emosi negatif yang tak bisa diluapkan karena orang-orang sekitar memaksa dirinya untuk selalu berpikir positif tanpa memikirkan perasaan yang terpendam tadi. (sumber foto: galeri foto pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ketika seseorang sudah banyak memendam emosi negatif yang tak bisa diluapkan karena orang-orang sekitar memaksa dirinya untuk selalu berpikir positif tanpa memikirkan perasaan yang terpendam tadi. (sumber foto: galeri foto pribadi)
ADVERTISEMENT
Ketika kita melihat seseorang atau teman kita sedang bersedih, pasti kita akan memberikan kata-kata semangat untuk mengurangi rasa kesedihan mereka. Beberapa orang yang menerima kata penyemangat tersebut bisa menjadikan itu sebagai motivasi bagi mereka, tetapi sebagian yang lainnya akan merasa semakin sedih atau semakin stres ketika menerima kata penyemangat tersebut.
ADVERTISEMENT
Orang seperti ini bukan berarti mereka tidak membutuhkan kata-kata semangat, justru mereka akan senang ketika melihat ada orang yang peduli kepadanya. Namun, yang mereka butuhkan sebenarnya bukanlah kata-kata seperti itu, melainkan empati dari kita.
Apa sih, toxic positivity itu?
Kalimat toxic positivity merupakan kalimat yang selalu mengajak seseorang yang sedang berada pada suatu masalah untuk terus berpikir positif. Hingga perasaan negatif dari seseorang tersebut terabaikan dan seolah-olah perasaan itu tidak terlalu penting.
Secara umum, toxic positivity adalah ungkapan yang digunakan untuk menggambarkan perilaku menjaga optimisme, harapan, dan suasana yang baik meskipun berada di dalam suatu situasi negatif. Toxic positivity justru dapat menimbulkan dampak emosional, karena kita dipaksa untuk tetap berpikir positif di masa yang penuh tekanan tanpa bisa mencurahkan apa yang kita rasakan.
ADVERTISEMENT
Seorang konselor, Myisha Jackson, menjelaskan bahwa toxic positivity mengajarkan orang lain untuk membungkam setiap pengalaman yang dianggap negatif. Selain Myisha Jackson, seorang presiden psikiatri di RS Muwardi Solo, dr. Jiemi Ardian, juga menjelaskan bahwa setiap orang berhak menunjukkan emosi negatif. Jika emosi ini dipendam agar terlihat baik-baik saja di depan orang, maka akan menyebabkan emosi negatif menumpuk dan kemudian akan memicu stres. Emosi yang ditekan terus menerus bisa menjadi penyebab gangguan psikis, dan yang paling sering terjadi adalah gangguan kecemasan dan depresi.
Terus, kalau ga bisa menggunakan kata-kata positif kita harus ngomong apa?
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, sebagian orang tidak bersemangat ketika diberikan kata-kata motivasi atau kata penyemangat lainnya. Yang mereka butuhkan hanyalah empati. Solusinya adalah dengan mengganti kata-kata tersebut menjadi kalimat yang lebih empati, kalimat yang lebih mengerti perasaan mereka atau bisa juga dengan membiarkan mereka mencurahkan segala emosi negatif kepada kita. Dengan itu, setidaknya sedikit masalah dan beban mereka berkurang.
ADVERTISEMENT
Beberapa contoh kata penyemangat yang menjadi toxic bagi sebagian orang:
“Semangat, ya!”
“Yang sabar, ya!”
“Jangan sedih, masih banyak yang kurang daripada kamu kok”
Nah, kalimat seperti itu bisa diganti menjadi
“Iya, aku mengerti perasaan kamu kok”
“Sudah, gak apa-apa, sedih itu wajar. Kalau kamu merasa gak senang sekarang ayo kita lakukan sesuatu yang bisa membuatmu senang”
“Wajar kok kalau kita sedih, marah, kecewa. Aku tau ini sulit, tapi kalau kamu butuh aku i’m here with you
Solusi lain untuk menghindari toxic positivity adalah dengan mencoba memilih lingkungan sosial yang membuat diri kita bisa lebih berkembang. Dan juga izinkan diri kita untuk merasakan emosi negatif seperti, sedih, kecewa, dan lainnya. Tidak salah dalam merasakan emosi negatif, justru dengan begitu dapat membuat diri kita lebih memahami kondisi kita yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT