Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.87.1
Konten dari Pengguna
Kemenangan Joe Biden dan Masalah Papua
24 November 2020 10:21 WIB
Tulisan dari Jimmy Demianus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh : Jimmy Demianus Ijie (Anggota DPR RI F-PDI Perjaungan, Dapil Papua Barat)
ADVERTISEMENT
Calon Presiden dari Partai Demokrat Joe Biden berhasil memenangkan pemilihan presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS) 2020. Ia memperoleh suara sebanyak 290 electoral votes dan mengalahkan pesaingnya, Donald Trump. Di negara demokrasi terbesar di dunia itu, kemenangan Biden bisa menjadi momentum untuk membangun kembali rasa optimisme rakyat AS dalam memperjuangkan aspirasi politik yang diimplementasikan dalam proses pemilu. Hal itu setidaknya terlihat dari meningkatnya angka partisipasi pemilih di AS pada pemilu 2020 dibanding pemilu sebelumnya.
Kemenangan Joe Biden juga diyakini akan mengusung prinsip yang diperjuangkan oleh Partai Demokrat, yaitu terkait isu Hak Asasi Manusia (HAM), terutama menyangkut masyarakat multikultural, lingkungan usaha, kelompok minoritas, dan wilayah konflik. Bahkan tidak tertutup kemungkinan bagi AS untuk ikut campur terhadap negara-negara yang dituding melakukan pelanggaran HAM.
ADVERTISEMENT
Sebagai salah satu negara demokrasi di dunia yang telah meratifikasi instrumen HAM PBB, Indonesia tentu saja harus menyambut dengan baik prinsip yang akan diusung oleh AS di bawah Joe Biden tersebut. Walaupun kita tidak menutup mata masih adanya beberapa isu HAM di Indonesia yang masih menjadi perhatian dunia, seperti isu pelanggaran HAM di Papua.
Jejak Amerika Serikat di Papua
Kita berharap agar presiden Joe Biden kelak mampu meningkatkan keharmonisan hubungan dengan Indonesia yang telah terjalin dengan baik sejak dahulu. Dengan demikian, akan lebih bijak jika nantinya pemerintah AS tidak mempolitisasi isu HAM di Papua sebagai pilihan kebijakan luar negerinya. Mengingat dalam sejarahnya, Amerika Serikat sendiri adalah negara yang paling berperan penting dalam mengintegrasikan Papua (dahulu Irian Barat) ke dalam wilayah NKRI.
ADVERTISEMENT
Seperti yang tercatat dalam sejarah, bahwa pasca konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag Belanda 1949, pemerintah Indonesia berusaha merebut Papua (dahulu irian Barat) yang masih berada di tangan kolonialisme Belanda, atas dasar asas uti posedetis juris. Asas ini pada intinya mengatur bahwa "batas wilayah negara bekas jajahan yang kemudian merdeka, mengikuti batas wilayah sebelum negara tersebut merdeka".
Di saat ketegangan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Belanda memuncak, AS datang sebagai penengah antara pihak Belanda dan Indonesia, melalui perjanjian New York (New York Agreement) tahun 1962. Perjanjian New York itu akhirnya memutuskan Indonesia diberikan kendali atas irian Barat setelah masa transisi singkat yang diawasi oleh PBB. Kemudian, Indonesia diwajibkan untuk menggelar semacam referendum penentuan nasib sendiri bagi rakyat Irian Barat dengan bantuan PBB, paling lambat tahun 1969. Dan referendum yang dikenal dengan sebutan penentuan pendapat rakyat (Pepera) itu sendiri digelar pada tahun 1969, di mana hasilnya sebagian besar rakyat Irian Barat menyatakan bergabung ke dalam wilayah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, pemerintah AS tidak bisa mengelak, bahwa ia adalah negara super power yang paling mendorong Papua masuk menjadi bagian wilayah NKRI, dan memaksa Belanda untuk angkat kaki dari wilayah itu. Pengaruh kekuasaan AS terhadap Indonesia pun semakin besar di masa rezim Orde Baru. Konsep liberalisasi ekonomi membuat Orde Baru membuka pintu lebar bagi investasi asing. PT Freeport adalah salah satu perusahaan tambang AS yang mengambil kesempatan itu untuk memperoleh konsesi lahan yang sangat luas di Irian Barat, dalam mengeruk cadangan emas dan tembaga, sejak tahun 1967 melalui perjanjian bisnis. Perjanjian bisnis ini sendiri berlaku 30 tahun dan bisa selalu diperpanjang.
Melihat begitu kuatnya peran AS dalam integrasi Papua ke dalam wilayah NKRI tersebut, maka sudah seharusnya komitmen tersebut tetap dijaga oleh pemerintahan baru AS di bawah Joe Biden. Dan tidak perlu AS tiba-tiba bertindak bagaikan kampiun penegak HAM di dunia, yang berhak mengintervensi penegakan HAM di setiap negara, termasuk dalam masalah Papua.
ADVERTISEMENT
Rakyat Papua pun sudah relatif pandai dalam melihat mana pihak yang benar-benar tulus membela hak rakyat Papua dan mana pihak-pihak yang hanya bertindak sebagai pahlawan kesiangan. Rakyat Papua tidak bisa lagi dibodoh-bodohi oleh pihak-pihak yang hanya menjadikan isu HAM di Papua sebagai komoditas politik bagi keuntungan mereka sendiri. Apalagi mencoba untuk menjadikan isu HAM sebagai dasar bagi dihembuskannya ide separatisme.
Belajar dari berbagai pengalaman selama ini, rakyat Papua pun akan lebih kritis dalam melihat kebijakan luar negeri AS di bawah Joe Biden yang diperkirakan akan condong pada isu pembelaan HAM itu. Mereka tidak mau terjebak dalam skenario pertempuran kapitalisme global yang hanya memiliki ambisi ekonomi atas kekayaan tanah Papua. Sehingga pada akhirnya tidak akan mengubah nasib rakyat Papua sendiri. Ibaratnya lompat dari mulut buaya lalu masuk ke dalam mulut singa.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itulah, alangkah baiknya, jika Presiden Joe Biden membawa kebijakan diplomasi dalam masalah Papua, dengan prinsip penegakan HAM yang lebih berfokus pada upaya peningkatan kesejahteraan rakyat Papua, dengan berbasis pada pemanfaatan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA). Hal itu lebih baik daripada hanya membawa isu HAM di tataran politik atau elitis. Mengingat, selama ini Papua dan Papua Barat masih menjadi provinsi termiskin di antara provinsi lain di Indonesia. Walaupun selama ini pemerintah Indonesia telah menempuh kebijakan otonomi khusus (otsus) bagi Papua dan Papua Barat.
Dalam peningkatan kesejahteraan berbasis kekayaan alam tanah Papua ini, setidaknya AS di bawah kepemimpinan Joe Biden bisa berperan nyata menjadikan investasi AS di tanah Papua, terutama melalui PT Freeport untuk lebih manusiawi. Bukan hanya menjadikan PT Freeport sebagai mesin pengeruk kekayaan dari tanah Papua untuk diangkut ke negara AS.
ADVERTISEMENT
Namun yang perlu digarisbawahai adalah, bahwa pada dasarnya masa depan Papua tidak ditentukan oleh siapapun presiden AS. Mengingat sejatinya AS adalah negara kapitalis yang akan selalu mencari wilayah-wilayah untuk menanam dan mengakumulasi modalnya. Apalagi antara kapitalisme dan pembelaan terhadap kehormatan HAM akan cenderung kontradiksi. Dan kontradiksi itu setidaknya terlihat dari kenyataan, bahwa investasi PT Freeport selama ini sebenarnya adalah penyumbang terbesar pelanggaran HAM di Papua.