Konten dari Pengguna

Teka-Teki Menjadi Diri Sendiri

Joan Oktavianie
Lulusan pariwisata yang berubah haluan menjadi penulis, sesekali menerjemahkan cerpen Korea. Buku kumpulan cerpen pertamanya, Semerbak dalam Gelap, terpilih sebagai finalis Hadiah Sastra Ayu Utami untuk Pemula, Rasa 2022.
7 April 2025 8:18 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Joan Oktavianie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi memecahkan teka-teki menjadi diri sendiri. Foto: Anna Shvets/ Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi memecahkan teka-teki menjadi diri sendiri. Foto: Anna Shvets/ Pexels
ADVERTISEMENT
Menyebarkan ide untuk menjadi diri sendiri memang mudah, tapi dalam pelaksanaannya, tidak jarang kita salah kaprah juga. Kita malah mengidentikkan diri kita hanya dengan salah satu sisi diri. Entah itu sebagian dari sisi terang, atau sisi gelap kita saja.
ADVERTISEMENT
Seseorang bisa saja mengatakan dirinya tidak mampu memaafkan kesalahan keluarganya lantaran ia mengidentikkan dirinya dengan sifat pendendam. Ia pikir, menjadi diri sendiri artinya sama dengan menjadi seorang pendendam. Maka memaafkan bukanlah hal yang cocok untuknya. Padahal, di dalam semesta kecilnya, ada begitu banyak sisi dirinya yang belum tergali, termasuk sisi dirinya yang pemaaf. Ia hanya belum mengenalinya saja, atau menutup diri untuk mengenali dirinya sendiri. Juga terlalu kaku untuk menerima perubahan.
Saya membayangkan semesta dalam diri seseorang itu bagaikan apartemen yang dihuni banyak sosok (arketipe). Tiap sosok memiliki karakter yang berbeda-beda. Di apartemen saya, ada penghuni yang sensitif dan mudah menangis, terutama ketika dilempari kata-kata kasar. Ada yang sensitif dengan terlalu banyaknya stimulus dan akan marah jika merasa sudah kewalahan. Ada yang tidak tegaan dan terlalu sering mengorbankan dirinya sendiri. Ada yang tukang bertanya dan memberontak. Ada seorang pemimpi yang kaya akan imajinasi, tapi memelihara rasa rendah diri yang akut. Ada pula seorang anak kecil yang pandai menghibur diri, tapi ketika merasa terancam, ia bisa melakukan apa saja. Seekor beruang yang kasar dan agresif melindunginya.
ADVERTISEMENT
Sebagai pemilik apartemen, penting bagi saya untuk mengenali semua penghuni. Biasanya, saya menemui mereka melalui tulisan saya, terutama karya fiksi. Terlepas tulisan itu akan dipublikasikan atau tidak, tulisan itu telah menjadi ruang dan waktu yang sakral bagi pertemuan kami. Semakin sering saya menulis fiksi dan mengamati perkembangan tulisan saya sendiri, semakin kenal pula saya dengan para penghuni.
Meskipun memang, serajin apa pun saya berusaha mengenali mereka, selalu ada saja penghuni baru yang belum saya kenali. Mereka muncul dan memperkenalkan dirinya secara ajaib kepada saya. Seolah-olah, selama ini mereka begitu pandai menyembunyikan diri, atau jangan-jangan, apartemen saya terus memperluas dirinya sendiri. Kamarnya terus bertambah seiring dengan jumlah para penghuni.
Dalam penulisan fiksi, selain terinspirasi oleh figur publik, arketipe mitos, atau seseorang di luar diri, banyak tokoh cerita yang merupakan manifestasi dari arketipe yang hidup di dalam diri penulisnya. Kegelisahan, hasrat terpendam, karakter, kekeliruan berpikir, juga luka batin para tokoh bisa mencerminkan kondisi batin penulisnya, meski tidak selalu. Termasuk mencerminkan sisi gelap yang bahkan tidak disadari penulis. Berbagai peristiwa traumatis atau menyenangkan yang dialami para tokoh fiksi, bisa jadi, merupakan reka ulang dari pengalaman penulis, yang tersimpan rapi di alam bawah sadarnya. Hal ini pun berlaku untuk saya. Entah berapa kali saya menciptakan tokoh yang kesepian dan tersiksa hanya demi mereka ulang trauma masa kecil saya.
ADVERTISEMENT
Ketika saya menghadapi karya sendiri dengan tujuan memperbaiki, secara tidak langsung, saya sedang berlatih mengambil jarak dari diri saya sendiri. Rasanya seperti sedang bermeditasi. Saya menempatkan diri sebagai pengamat. Tidak boleh terlalu dekat dengan karya itu, supaya bisa menilai secara objektif dan menciptakan ruang untuk perbaikan. Dengan memberikan jarak, saya pun mendisiplinkan diri untuk tidak memaksakan para tokoh cerita bergerak sesuai keinginan saya melulu. Saya jadi belajar menghormati pilihan mereka, sesuai karakter mereka.
Tidak jarang pula saya turut tumbuh berkembang bersama para tokoh cerita, yang sering kali merupakan manifestasi dari arketipe di dalam diri saya. Sehingga bisa dikatakan, segala sesuatu yang saya lakukan untuk menulis dan memperbaiki tulisan itu, perlahan memberikan stimulus kepada semua arketipe di dalam diri saya untuk bertransformasi. Salah satunya seperti arketipe pelindung yang baru-baru ini saya temui. Mulanya ia mengambil rupa seekor beruang yang kasar dan agresif. Kini, ia bertransformasi menjadi Wanita Beruang atau Ungnyeo, arketipe mitos dari Korea. Simbol untuk transformasi, kegigihan, dan cinta seorang ibu.
ADVERTISEMENT
Menurut saya, selain mampu untuk terus bertransformasi dan memperbaiki diri, inilah kondisi ideal perihal menjadi diri sendiri: Para arketipe dalam diri seseorang terintegrasi, berikut dengan sisi terang dan bayang-bayangnya, yang direkatkan dan digerakkan oleh Cinta, energi dari Sang Sumber itu sendiri. Pada kondisi ekstrem yang berlawanan, para arketipe ini bisa saling berebut kursi kemudi dan menimbulkan keterpecahan, seperti yang terjadi pada Billy Milligan dalam novel 24 Wajah Billy.
Dengan mengintegrasikan para arketipe, menjadi diri sendiri berarti para arketipe itu memang saya, sekaligus bukan saya. Saya, sebagai kesadaran yang berjarak dari para arketipe ini, bisa memilih arketipe mana yang cocok untuk duduk di kursi kemudi dalam kondisi tertentu. Ketika satu arketipe itu dipilih, bukan berarti arketipe lain tidak lagi menjadi bagian dari saya. Mereka justru sedang bahu-membahu membantu dari belakang kemudi, supaya arketipe yang sedang dipilih itu bisa “bertugas” dengan maksimal. Arketipe yang dipilih itu pun tidak serta-merta sama dengan saya secara keseluruhan. Ia hanya mewakilkan diri saya pada saat itu. Sifatnya hanya sementara.
ADVERTISEMENT
Untuk mengetahui arketipe mana yang sebaiknya tampil dalam kondisi tertentu, kemampuan membaca ruang menjadi amat penting. Tanpa kemampuan itu, saya bisa saja menyerahkan kursi kemudi kepada arketipe yang berpotensi memperkeruh keadaan. Misalnya, ketika seseorang tiba-tiba menghina saya di depan umum, setidaknya saya punya tiga pilihan. Pertama, mengikuti emosi dari penghuni yang sensitif dan menangis di tempat. Kedua, memanggil si anak kecil yang akan melakukan apa pun untuk mempertahankan diri. Atau ketiga, menyerahkan kursi kemudi kepada Wanita Beruang yang akan melindungi dengan cinta seorang ibu.
Saya di masa lalu bisa saja memilih arketipe pertama atau kedua. Bagi saya saat itu, itulah pilihan yang paling masuk akal, atau yang paling mewakilkan diri saya. Namun, pemahaman dan kesadaran saya saat ini menuntun saya untuk memilih arketipe yang ketiga. Sebab ia akan melindungi dengan cinta. Bukan hanya cinta kepada saya, tapi juga kepada orang yang menghina saya.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, sisi saya yang sensitif pun akan sangat berterima kasih. Kita yang sensitif tahu betul. Saat menyakiti hati orang lain, entah sengaja atau tidak, kita akan ikut merasakan sakit hatinya juga. Seperti menyerap atau memindahkan sakitnya ke tubuh kita, bahkan tanpa kita sadari. Yang karenanya, ketika dia sakit, kita juga sama. Bagi saya, untuk menjadi diri sendiri, saya pun perlu mendengarkan sisi diri yang sensitif ini. Mendorong saya untuk belajar melindungi diri tanpa harus menjadi kasar atau balas menyerang orang lain yang berseberangan pendapat dengan saya.
Pada akhirnya, menjadi diri sendiri tidaklah jauh berbeda dengan kesetiaan kita untuk selalu hadir dan mendengarkan semua arketipe yang ada dalam diri. Mau menggali semua sisi diri dan terbuka terhadap perubahan. Sebab kita bukan cuma sisi gelap atau sisi terangnya saja. Kita keduanya, sekaligus bukan keduanya. Maka ketika kita bisa menyimpan dendam, kita juga bisa memaafkan.
ADVERTISEMENT