Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Foto: Wajah Jakarta di Muara Baru
8 Mei 2019 16:19 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Jodi Hermawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Masa depan ibu kota jadi perbincangan hangat akhir-akhir ini. Katanya, ibu kota, akan dipindah. Lagi.
ADVERTISEMENT
Wacana pemindahan ibu kota bukanlah hal baru. Lebih dari setengah abad, pemimpin-pemimpin negeri ini menyebut berbagai opsi untuk dijadikan ibu kota negara selanjutnya. Palangka Raya, Magelang, Malang, sampai Jonggol di Bogor, kerap disebut jadi pilihan.
Namun, pada akhirnya, jangankan tahu akan ke mana—jadi pindah atau tidak pun tak pernah jelas.
Akhir bulan lalu, Presiden Joko Widodo menyelesaikan kesimpangsiuran itu. Jokowi menggelar rapat terbatas dengan beberapa jajaran menteri terkait masa depan ibu kota. Hasilnya, Jakarta akan ditinggalkan.
Jakarta merupakan ibu kota warisan pemerintahan kolonial Belanda. Anggapan itu jadi salah satu alasan mengapa pemerintah ingin memiliki ibu kota sendiri yang benar-benar mencerminkan Indonesia.
Selain itu, beban Jakarta sebagai ibu kota dirasa terlalu berat. Mulai dari status sebagai kota pemerintahan, kota ekonomi, bisnis, dan pendidikan semua tersemat pada Jakarta. Peran tersebut terlalu banyak dan tumpang tindih.
ADVERTISEMENT
Juga: minimnya ruang terbuka hijau, tingginya jumlah (dan pertumbuhan) penduduk, banjir, naiknya permukaan air laut, macet, tidak meratanya pembangunan, juga menjamurnya pemukiman kumuh merupakan masalah abadi Jakarta. Memindahkan ibu kota diharapkan mampu mengurangi beban-beban Jakarta itu.
Beban-beban itu akan sangat terasa apabila anda menjejakkan kaki ke Muara Baru—salah satu pemukiman padat di Jakarta. Perkampungan di pesisir pantai utara itu punya jalan kecil dan berliku macam labirin. Di gang-gang kecil itu, anda bisa temukan anak-anak dekil berlarian; ibu-ibu yang riuh mengobrol dengan tetangganya; sampai laki-laki muda hingga tua yang tak henti-hentinya menyedot kretek.
Motor-motor—kadang pula gerobak dan tempat sampah atau pot yang gagal mempercantik apapun itu—yang tergeletak seenaknya, membuat jalan petak itu makin rumit dan sempit.
Semua itu, masih ditambah dengan aroma yang khas: aroma busuk dan bau amis. Sebabnya adalah tumpukan sampah dan air laut yang naik tak terbendung membuat jalan-jalan kecil tersebut dipenuhi bau yang menyedihkan.
Belum lagi apek asap dari pembakaran sampah di tanah lapang terdekat. Mereka menyatu menjadi wajah bopeng Muara Baru, salah satu wajah bopeng ibu kota. Wajah yang, mungkin, jadi salah satu alasan kenapa Jakarta tak layak lagi menyandang status ibu kota.
ADVERTISEMENT