Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Memiliki Opini Sendiri dan Membebaskan Diri
20 Januari 2025 15:57 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Jody jeremi hadrian ritonga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Kalau pasanganmu tidak punya tinggi 180 cm, maka dia red flag." atau "Kalau pasanganmu tidak melakukan A, berarti dia tidak sayang padamu." Kata-kata seperti ini tentu sudah tidak asing, bukan? Hampir setiap kali kita menscroll layar di reels, TikTok, atau berbagai platform video pendek lainnya, opini-opini semacam ini begitu sering muncul. Setiap menit, kita disuguhi berbagai pandangan yang, tanpa sadar, mulai memengaruhi cara kita berpikir.
Internet ibarat padang rumput hijau yang luas, bebas, dan liar. Kita bisa menemukan banyak hal positif di dalamnya. Namun, tidak dapat disangkal bahwa di tengah hamparan hijau tersebut, tersembunyi serigala-serigala yang siap menerkam ketika kita salah langkah. Begitu pula dengan media sosial. Karena kemudahan orang dalam berpendapat dan minimnya sensor, media sosial menjadi tempat yang dipenuhi beragam opini, baik yang membangun maupun yang merugikan.
ADVERTISEMENT
Mulai dari opini-opini tidak realistis seperti, "Kalau kamu belum mendapat ratusan juta di umur 20, maka kamu adalah sebuah kegagalan." atau "Kalau pasanganmu berbicara dengan lawan jenis, itu sudah pasti selingkuh." Banyak sekali pandangan yang sebenarnya tidak masuk akal dan terkesan kekanak-kanakan tersebar luas. Namun, yang menarik, di media sosial justru kutipan-kutipan semacam itu laku keras. Mereka memiliki pasar dan penikmatnya sendiri, seolah menjadi konsumsi sehari-hari bagi sebagian orang.
Maka dari itu, tidak mengherankan ketika membaca berbagai riset yang membahas dampak media sosial. Salah satunya adalah penelitian berjudul "Hubungan Penggunaan Media Sosial TikTok terhadap Kesehatan Mental Remaja ". Dalam penelitian tersebut, ditemukan adanya pengaruh signifikan antara penggunaan TikTok dengan meningkatnya tingkat kecemasan dan stres pada anak-anak.
ADVERTISEMENT
Selain itu, studi terbaru oleh Mardiana DM dan rekan-rekannya mengungkapkan bahwa 70% Gen Z yang aktif menggunakan TikTok mengalami stres berat. Lalu, apa penyebabnya? Apa yang menjadi faktor utama di balik kegilaan ini?
Stres yang berlebihan ini disebabkan oleh otak kita yang, tanpa sadar, sudah "ditunggangi" oleh konten-konten FYP yang terus beredar di media sosial. Kita sering kali mengikuti tren atau informasi yang sebenarnya tidak kita sukai atau butuhkan. Dengan derasnya arus informasi, otak kita tidak diberi waktu untuk berhenti sejenak dan mencerna apa yang sedang kita konsumsi.
Akibatnya, kita kehilangan kemampuan untuk memilah mana informasi yang relevan dan mana yang hanya ilusi di balik layar biru yang terus menyorot mata kita. Hal ini membuat realitas terasa kabur, menciptakan tekanan tambahan yang akhirnya memicu stres dan kelelahan mental.
ADVERTISEMENT
Lompatan dalam penyebaran informasi telah mengubah cara kita menerima dan memproses pengetahuan. Dahulu, ketika kita ingin mendapatkan informasi, kita harus menunggu berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan. Namun sekarang, informasi mengalir begitu cepat sehingga kita sering kesulitan membedakan mana yang baik dan benar.
Jika sebelumnya kita membutuhkan opini ahli, kita akan pergi ke perpustakaan, membaca buku, atau mewawancarai seseorang yang memiliki keahlian di bidang tertentu. Namun, dengan kemudahan akses informasi saat ini, opini dari siapa saja dapat dengan mudah ditemukan dan dikonsumsi. Ibarat sungai yang tercemar limbah, aliran informasi di media sosial telah bercampur antara yang bermanfaat dan yang menyesatkan. Akibatnya, manusia menjadi semakin bingung menentukan mana yang layak diikuti dan mana yang seharusnya diabaikan.
ADVERTISEMENT
Di dunia akademik, semakin banyak sitasi yang diterima oleh sebuah jurnal, semakin tinggi pula nilai dan penghargaan yang didapatkan, yang biasanya mencerminkan kualitas dan relevansi karya tersebut. Namun, di media sosial, konsep kepercayaan dan bergengsi memiliki mata uang yang berbeda. Di sini, semakin banyak like, komentar, dan repost yang diterima, semakin terlihat bahwa opini seseorang dianggap benar atau valid, meskipun sering kali tanpa bukti yang kuat atau dasar yang jelas.
Inilah salah satu penyebab utama kaburnya garis antara opini yang realistis dan yang tidak. Sebagai contoh, beberapa waktu lalu saya melihat di media sosial seorang penulis muda di bawah usia 25 tahun yang membagikan tips tentang bagaimana cara menjadi kaya raya, mulai dari membuat bisnis hingga strategi lainnya. Orang tersebut menjual mimpi bahwa siapa pun bisa menjadi kaya dengan cara-cara yang dia lakukan.
ADVERTISEMENT
Tentu saja, menjadi kaya itu sangat menarik, siapa yang tidak ingin meraih kekayaan? Namun, influencer tersebut seolah-olah membuat kesan bahwa cara yang dia bagikan adalah satu-satunya jalan menuju kekayaan, dan bahwa jika kamu mengikuti jejaknya, kamu akan otomatis kaya raya. Pertanyaan yang harus kita ajukan secara realistis adalah: "Apakah bisnis adalah satu-satunya cara untuk menjadi kaya?" Apakah saya harus memaksakan diri untuk membuka bisnis yang sama seperti mereka, atau mengikuti instruksi investasi yang mereka tawarkan? Dan yang paling penting, apakah ada jaminan bahwa semua itu akan membawa kebahagiaan dan kekayaan sesuai janji mereka?
Ini adalah contoh pandangan tidak realistis yang sering kali kita temui di media sosial, yang seringkali hanya menyajikan gambaran permukaan tanpa melihat kenyataan yang lebih dalam.
ADVERTISEMENT
Sering kali orang-orang lupa bahwa inti dari hidup adalah mencari kebahagiaan. Memang, uang dapat memberikan kebahagiaan, tetapi itu hanya salah satu sarana untuk mencapainya. Jika uang benar-benar merupakan sumber kebahagiaan yang absolut, tentu orang-orang seperti Bill Gates dan triliuner lainnya akan menjadi orang yang paling bahagia di dunia, bukan? Namun, kenyataannya justru sebaliknya. Banyak orang yang berada di puncak kekayaan justru menghadapi stres yang luar biasa, dan terkadang merasa kosong meskipun memiliki segalanya. Ini menunjukkan bahwa kebahagiaan sejati bukan hanya tentang kekayaan materi, tetapi tentang menemukan makna dan kepuasan dalam hidup.
Maka dari itu, penulis ingin membagikan sebuah ide yang sederhana namun penting: "Miliki opini sendiri dan membebaskan diri." Mulailah hidup untuk hari ini, untuk diri sendiri, tanpa terjebak dalam arus opini orang lain yang sering kali tidak realistis. Penulis ingin menawarkan beberapa solusi praktis untuk membebaskan diri dari "virus" yang mengendalikan pikiran kita melalui FYP, yang sering kali menggerogoti otak, terutama di kalangan Gen Z, namun mungkin juga mempengaruhi banyak kalangan lainnya.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Setelah 30 hari, kalian akan merasa lebih segar dan lebih bertenaga. Kalian baru saja memberikan otak kalian sebuah "gym otak" yang melatihnya untuk mencerna konten dari awal hingga akhir, lalu mengeluarkan apa yang dipikirkan melalui tulisan. Kenapa menulis? Karena secara tidak sadar, ketika kita menulis, isi hati dan perasaan kita akan tertuang dengan sendirinya. Hal ini akan membuat kita lebih jujur terhadap apa yang kita rasakan. Perlahan, ini akan melatih kita untuk tidak mudah terpengaruh oleh opini dan pendapat yang tidak realistis serta tidak berhubungan dengan ketenangan dan tujuan hidup kita.
Silakan dicoba, dan penulis berharap ini bisa membantu kalian dalam memerangi krisis diri yang disebabkan oleh opini-opini yang berseliweran di media sosial!
ADVERTISEMENT
Tujuan hidup adalah menjadi bahagia! Mau 100.000 orang menyukai sebuah postingan yang berisi panduan hidup, jika itu tidak sesuai dengan tujuan kalian, kalian akan merasa acuh tak acuh karena hidup kalian bukanlah hidup milik si pemilik akun influencer itu.