Konten dari Pengguna

Antara Kedaulatan dan Perdamaian: Simfoni Geopolitik di Panggung Asia Timur

Jody Pratama Pongtiku
Seorang Pegawai di Kementerian Keuangan dan Mahasiswa di Politeknik Keuangan Negara STAN.
15 September 2024 11:32 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jody Pratama Pongtiku tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un mengawasi uji coba peluncur roket ganda 600 mm baru di lokasi yang dirahasiakan di Korea Utara, 13 September 2024. Korea Utara menembakkan beberapa rudal balistik jarak pendek di lepas pantai timurnya. KCNA via REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un mengawasi uji coba peluncur roket ganda 600 mm baru di lokasi yang dirahasiakan di Korea Utara, 13 September 2024. Korea Utara menembakkan beberapa rudal balistik jarak pendek di lepas pantai timurnya. KCNA via REUTERS
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Apa yang terlintas di benak Anda ketika mendengar kata “Korea Utara”? Selain nama pemimpinnya, Kim Jong-un, hal yang cukup sering terlintas adalah nuklir. Nuklir seakan menjadi ciri khas Korea Utara dalam pagelaran politik internasionalnya. Hal ini juga yang membuat tensi politik di Kawasan Asia, khususnya Asia Timur, menjadi memanas. Jepang dan Korea Selatan yang merupakan negara tetangganya pun terlihat gusar dan murka setiap kali Korea Utara melakukan percobaan persenjataan miliknya. Terbaru, Korea Utara kembali melakukan uji coba terhadap rudal balistik jangka pendek di lepas pantai timur wilayahnya pada tanggal 12 September 2024.
ADVERTISEMENT
Korea Utara telah lama menunjukkan minat besar terhadap teknologi nuklir, dimulai pada tahun 1950-an dengan bantuan Uni Soviet. Pada tahun 1962, mereka mendirikan Pusat Riset Nuklir Yongbyon dan memulai program persenjataan nuklir pada 1980-an. Meskipun meratifikasi Perjanjian Nonproliferasi Senjata Nuklir (NPT) pada 1985, Korea Utara tidak sepenuhnya mematuhi perjanjian tersebut, yang memuncak pada ketegangan tahun 1993-1994 ketika mereka mengancam keluar dari NPT karena tidak setuju dengan inspeksi Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Setelah hampir menyebabkan konflik dengan Amerika Serikat, kesepakatan dicapai untuk menghentikan produksi nuklir. Namun, pada 2003 Korea Utara secara resmi keluar dari NPT dan terus melanjutkan pengembangan persenjataan nuklirnya, melakukan uji coba rudal berhulu ledak nuklir pertama pada 2006 dan telah melakukan enam kali percobaan hingga 2017.
ADVERTISEMENT
Korea Utara mengembangkan aktivitas nuklirnya sebagai respons terhadap ancaman yang dirasakan dari kehadiran Amerika Serikat di Semenanjung Korea. Sejak Perang Dingin, ketegangan antara kedua negara terus berlanjut, terutama karena intervensi Amerika Serikat dalam Perang Korea untuk mencegah penyebaran komunisme. Latihan militer rutin antara Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan, yang diperkuat oleh Trilateral Coordination and Oversight Group (TCOG) sejak 1999 dan diperbarui pada Agustus 2023, semakin memperkuat alasan Korea Utara untuk mempertahankan kedaulatannya melalui pengembangan nuklir. Dalam konteks ini, kebijakan nuklir tidak hanya berfungsi sebagai deterrent, tetapi juga sebagai alat legitimasi politik yang memperkuat citra negara di mata masyarakat domestik dan internasional, menunjukkan bahwa Korea Utara adalah negara yang kuat dan berdaulat yang mampu bersaing dengan kekuatan besar dunia. Meskipun sanksi ekonomi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diberlakukan, ambisi Kim Jong-un untuk mengembangkan peralatan nuklir tetap kuat, bahkan hingga mengamandemen konstitusi untuk menjadikan kebijakan nuklir sebagai hukum dasar negara. Korea Utara juga menyatakan bahwa upaya unifikasi dengan Korea Selatan adalah sebuah “kesalahan” dan merusak Monumen Reunifikasi Korea yang telah dibangun di Pyongyang sebagai bentuk ketidakpuasan.
ADVERTISEMENT
Korea Utara terus memperluas dan memodernisasi program nuklirnya, dengan lebih dari 100 peluncuran misil sejak awal 2022, yang dianggap melanggar sanksi PBB dan menimbulkan kekhawatiran serius terhadap keamanan regional. Amerika Serikat dan sekutunya, termasuk Korea Selatan dan Jepang, melihat kemampuan nuklir Korea Utara sebagai ancaman langsung, bukan hanya sebagai alat deterensi, mengingat pernyataan pemimpin Korea Utara yang menyatakan tentang potensi penggunaan senjata nuklir terhadap negara-negara tersebut. Untuk mengatasi ancaman ini, AS dan Korea Selatan berkomitmen pada kebijakan deterensi yang kuat, termasuk latihan militer bersama yang sering dianggap provokatif oleh Pyongyang. Meskipun ketegangan dengan Korea Utara meningkat, AS juga berupaya mengadopsi pendekatan diplomatik dan sanksi untuk menekan Korea Utara agar menghentikan program nuklirnya, meskipun upaya tersebut sering terhambat oleh ketidakpastian dan ketidakpercayaan antara pihak-pihak yang terlibat. Dukungan internasional dan kerja sama antara negara-negara di kawasan menjadi kunci dalam menjaga stabilitas dan mencegah proliferasi nuklir lebih lanjut.
ADVERTISEMENT
Jepang, China, dan Korea Selatan, mempunyai andil besar dalam perekonomian dunia. Data dari Trilateral Economic Report pada tahun 2023 menunjukkan bahwa gabungan PDB Jepang, Korea Selatan, dan China mencapai sekitar 24,35 triliun USD, yang menyumbang 23,4% dari PDB dunia. Selain itu, kebijakan moneter di kawasan Asia Timur dapat mempengaruhi stabilitas pasar keuangan, perdagangan internasional, dan aliran modal kepada negara-negara yang bergantung pada investasi asing. Misalnya, kebijakan moneter Jepang pada tahun 2024 yang melakukan pemangkasan suku bunga dapat melemahkan nilai tukar Dolar AS, mengingat Jepang adalah salah satu pemegang terbesar obligasi AS. Ketiga negara tersebut juga mempunyai peran besar dalam industri teknologi dan otomotif, dengan Jepang dan Korea Selatan sebagai produsen utama semikonduktor dan kendaraan bermotor, serta China sebagai pusat manufaktur global. Pada tahun 2023, total ekspor teknologi dan otomotif dari Jepang, Korea Selatan, dan China pada tahun 2023 jika digabungkan adalah sekitar $719,78 miliar USD, menunjukkan betapa pentingnya stabilitas di kawasan ini bagi ekonomi global. Eskalasi yang dilakukan Korea Utara berpotensi dapat mengganggu stabilitas perekonomian dunia dan juga menciptakan ketidakpastian pada pasar keuangan dan juga rantai pasokan global, termasuk sumber daya energi seperti minyak dan gas.
ADVERTISEMENT
Indonesia mempunyai hubungan erat dengan kawasan Asia Timur. Banyak warga negara Indonesia yang bekerja di kawasan tersebut. Terungkap ada sekitar 61 ribu WNI yang bekerja di Korea Selatan dan 121 ribu WNI di Jepang di tahun 2024. Hal ini juga perlu menjadi perhatian Pemerintah Indonesia dalam menyelamatkan dan melindungi WNI yang berada di negara-negara tersebut. Indonesia juga dapat memanfaatkan politik bebas aktif dalam menyelesaikan konflik di Asia Timur dengan pendekatan yang proaktif dan diplomatis, seperti memanfaatkan forum East Asia Summit yang dilaksanakan setiap tahun. Dengan pendekatan bebas aktif, Indonesia dapat menawarkan diri sebagai negara penengah yang netral, sehingga meningkatkan peluang untuk mencapai kesepakatan damai. Hal ini pernah dilakukan Indonesia pada tahun 2022 ketika menengahi Rusia dan Ukraina yang bergejolak. Dalam hal ekonomi, Indonesia kemungkinan mengalami dampak yang signifikan pada perekonomiannya. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan realisasi investasi negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Korea Selatan, dan China di Indonesia pada Semester I 2024 merupakan salah satu yang terbesar. Selain itu, ketiga negara tersebut merupakan importir terbesar dalam kebutuhan bahan baku dan barang modal untuk industri dalam negeri. Untuk meminimalkan dampak ekonomi yang diakibatkan dari situasi geopolitik yang memanas, Indonesia perlu menyiapkan kebijakan ekonomi dan moneter yang sesuai, melakukan diversifikasi investasi dan sumber daya sebagai alternatif, serta menguatkan kerja sama dengan negara-negara tetangga untuk memperkuat ketahanan ekonomi dan perdagangan.
ADVERTISEMENT
Korea Utara, dengan program nuklirnya yang kontroversial dan ketegangan yang terus meningkat di Asia Timur, menjadi sorotan utama dalam politik internasional, mempengaruhi tidak hanya keamanan regional tetapi juga stabilitas ekonomi global. Sementara negara-negara tetangga seperti Jepang dan Korea Selatan berupaya mengatasi ancaman ini melalui sanksi dan kerja sama militer, Indonesia memiliki peluang untuk berperan sebagai mediator yang proaktif, memanfaatkan politik bebas aktifnya untuk meredakan ketegangan dan mendorong dialog. Dengan banyaknya warga negara Indonesia yang bekerja di kawasan ini dan ketergantungan ekonomi yang tinggi terhadap investasi dari negara-negara Asia Timur, penting bagi Indonesia untuk mengembangkan kebijakan yang adaptif dan kolaboratif guna menjaga keamanan dan kesejahteraan warganya, serta memperkuat posisi ekonominya di tengah dinamika geopolitik yang kompleks.
ADVERTISEMENT